Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita, bahwa keris dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan Belanda.
Dari curi-curi obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar tahu, orang yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, pendiam dan dengan nafas tercekat yang dipanggil Kiaine itu adalah Jenderal Sudirman.
"Saya mendapat kepastian bahwa itu Pak Dirman justru setelah beliau meninggalkan desa kami," tutur Jirah.
Buronan Kelas Wahid
Di rumah warga Nganjuk yang bernama Pak Kedah itu, Sudirman ditemani delapan orang di antaranya Dr Moestopo, Tjokropranolo dan Soepardjo Roestam. Sebanyak 68 orang gerilyawan lainnya, menginap di rumah tetangga-tetangga Pak Kedah.
Selama lima hari berada di desa Bajulan, tutur Jirah, tidak sekalipun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki penduduk dengan mortir.
"Itu berkat keris dan doa-doa Kiaine...," tutur Jirah. Sudirman seolah-olah tahu, tiap kali Belanda akan datang mencarinya.
Belanda, yang menginvasi Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun setelah Indonesia menyatakan merdeka (17 Agustus 1945), selalu gagal mencari buron nomor Wahid Kiaine Sudirman itu.
Sudirman, yang lahir pada Senin Pon 18 Maulud 1846 Jawa atau 24 Januari 1916 di dukuh Rembang, desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga Banyumas Jawa Tengah itu, dibesarkan di Cilacap oleh ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo asisten Wedana di Rembang, Purbalingga.
Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo danj Toeridowati di Cilacap.