Catatan Ulang Tahun Kompas ke-55
Mengelola sebuah surat kabar di negara berkembang seperti Indonesia menurut Jakob Oetama digambarkan ibarat "berlayar di antara Scyla dan Caribdis".
Itu dituliskan Pemimpin Redaksi harian Kompas tersebut pada sebuah Tajuk Rencana 45 tahun lalu, saat Kompas memperingati ulang tahun ke-10 nya pada 28 Juni 1975.
Jakob Oetama pada saat jaya-jayanya Orde Baru di bawah Soeharto pada 1975 memang sangat sering menuliskan Tajuk dengan bahasa kiasan, simbolis, dan tidak jarang memakai pakai kata-kata bersayap yang tidak langsung pada sasaran. Kalau tidak? Bakal berdering-dering telpon dari penguasa Orde Baru di meja kantor Redaksi Kompas.
Penguasa tengah gencar melarang tulis ini, melarang tulis itu. (Redaksi Kompas pada saat itu masih menempati di sebuah bangunan kuno bekas pabrik obat Konimex di Palmerah Selatan, kini menjadi lokasi Gedung Kompas Gramedia di Jakarta).
Jakob Oetama menyindir dalam tajuknya, betapa sulitnya mengelola surat kabar di negeri yang nasib medianya dipegang oleh penguasa. Selain kudu memegang Surat Izin Terbit (SIT), sebuah surat kabar di era Orde Baru kudu memegang pula Surat Izin Cetak (SIC).
Kudu ada dua-duanya. Kalau salah satu tidak ada atau dicabut penguasa setiap saat? Ya tidak bisa terbit. Maka kata Jakob Oetama, Kompas sudah bertahan 10 tahun terbit (hari ini tepat 55 tahun per 28 Juni 2020) itu sudah berterima kasih, katanya.
Papan tulis Redaksi Kompas pada tahun 1975 penuh tempelan kertas lembaran panjang bertuliskan tangan, berisi berbagai larangan penguasa Orde Baru, apa saja yang tidak boleh diberitakan di koran.
Larangan itu tidak hanya datang dari berbagai otoritas militer, pejabat tinggi seperti Kapuspen ABRI, ataupun pejabat-pejabat militer di tingkat daerah seperti Koramil, Kodim. Tetapi juga rambu-rambu larangan dari pejabat setingkat walikota, bupati.
Catatan-catatan larangan di papan tulis Redaksi itu dituliskan oleh siapa saja penerima telpon di Redaksi Kompas, atau wartawan di lapangan yang mendapat peringatan larangan dari penguasa Orba. Ujung-ujungnya, kalau dinilai terlalu kritis beritanya, pemimpin Redaksi dipanggil menghadap penguasa.
"Scyla dan Caribdis" (Scylla et Carybdis) adalah monster laut versi penyair Yunani Homerus. Kita tak akan menangkap apa makna kiasan yang diungkapkan Jakob Oetama, jika tidak membaca buku Homerus. Apalagi waktu itu belum ada Mbah Google.