Indonesia lahir karena dibayangkan ada'. Tertulis dalam sejarah, sebelum Sumpah Pemuda 1928, pemuda-pemudi Indonesia telah bergerak mengerek kejuangan untuk kedaulatan bangsanya
Tentang nasionalisme dan identitas sebuah bangsa yang berkehendak merdeka, kerap dikaitkan dengan sebuah buku karya Ben Anderson: Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism.
Buku ini memperkenalkan konsep terkenal dalam ilmu politik dan sosiologi, yaitu komunitas terbayang. Buku ini pertama kali terbit tahun 1983 dan diterbitkan ulang pada tahun 1991 dengan bab tambahan dan 2006 dengan revisi lain.
Ben Anderson percaya bahwa sebuah bangsa adalah komunitas yang dikonstruksi secara sosial, dibayangkan oleh orang-orang yang memandang dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut.
Selanjutnya Ben menterjemahkan sebuah yang catatan muncul saat  masa menjelang kemerdekaan dalam buku Perjuangan Kita (Sjahrir ) yang melihat galau fenomena revolusi Demokrasi kaum muda radikal :
Kondisi psikologis kaum muda sekarang ini amat tragis. Penuh kebingungan dan ketidak pastian, karena mereka tidak memahami potensi dan perspektif perjuangan yang mereka lancarkan.
Kegalauan masa sebelum kemerdekaan, berjalan sering waktu. Revolusi Demokrasi beberapa waktu menjadi Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, perjalanan berujung pada Reformasi, menjadi Demokrasi Liberal. Ruang publik menjadi menjadi warna warni. Semua warga kini berbicara. Speak in the same language. Ada yang positip dan ada yang kebablasan.
Rambu warna merah, kuning, hijau, sebagai rule of law seharus merupakan pagar yang menjaga aturan main. Seharusnya di berdayakan sebagai kekuatan untuk memperkuat institusi politik.
Wajar saja, fakta di media massa hanyalah hasil rekonstruksi dan olah pekerja redaksi. Walaupun mereka telah bekerja dengan menerapkan teknik-teknik jurnalistik yang presisi, tetap saja tidak dapat dikatakan apa yang mereka tulis adalah fakta yang sebenarnya. Rekonstruksi itu sangat tergantung pada bagaimana orang di balik media dalam melakukan kerja-kerjanya.
Kekurangan media lama itu, mestinya dapat dilengkapi dengan kehadiran media baru di era ini, dan tentu berdampak baik pada kualitas demokrasi. Sebab, ruang diskursus semakin terbuka, informasi makin mudah diakses dapat lebih mencerdaskan masyarakat dalam menentukan pemimpin. Bukan sebaliknya, menjebak masyarakat dalam kebodohan. Karena itu, jika pelaku media tidak lagi memiliki visi mencerdaskan publik, masyarakat perlu berjuang sendiri untuk saling  bersaing untuk kepentingan kekuasaan.
Demokrasi menjadi bayangan. Teori demokrasi modern menjadi lebih arkulatif, canggih, dulu penduduk biasa disebut " rakyat jelata" adalah suara Tuhan. Kini warga menjadi " kawanan yang bingung"
Teori Demokrasi modern memiliki pandangan bahwa peranan publik---kawanan yang kebingungan dalam istilah Lippman adalah sebagai penonton, bukan partisipan. Muncul dalam pemilu setiap lima tahun dan melegitimasi kekuasaan.
Kekerasan dan pemaksaan  terjadi dalam  bidang komunikasi politik dari sebuah yang berkuasa. Interpretasi  terhadap sebuah gagasan dan citra politik yang dipaksa
kepada masyarakat luas. Kita sebut sebagai distorsi realitas.
John Dewey, pernah menggambarkan, politik sebagai " bayangan yang dirajut di tengah masyarakat oleh kelompok yang sangat berkuasa dan berpengaruh". Dia memperingatkan bahwa " pudarnya bayangan tidak akan mengubah substansi".
Dunia Citra dan dunia politik sudah setua sejarah politik itu sendiri. Dunia citra sebagai mekanisme aktif. Kearah pembingkaian dunia realitas. Serba bayangan.
Kita belum lama melewati  dua pemilu, Pilpres dan Pilkada. Kedua peristiwa tersebut masih kita rasakan sebagai dibawah Demokrasi dalam bayangan dan prosedural.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H