Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korupsi dan Demokrasi di Indonesia Menurut Pandangan Praktis Masyarakat Awam

11 Desember 2018   11:41 Diperbarui: 11 Desember 2018   12:12 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya sudah sejak lama korupsi menjadi masalah di Indonesia. Di zaman pemerintahan Presiden Soekarno pun yang memerintah sejak tahun 1945 hingga tahun 1966 sudah menjadi masalah. Puncaknya adalah di zaman kekuasaan Presiden Soeharto yang memerintah dari tahun 1966 selama 32 tahun hingga tahun 1998. Presiden Soeharto akhirnya "dipaksa" turun oleh gerakan reformasi yang dimotori ratusan ribu mahasiswa yang menduduki Gedung DPR/MPRtahun 1998.

Setelah 53 tahun merdeka yakni setelah era reformasilah sesungguhnya upaya pemberantasan korupsi menunjukkan hasilnya. Perarturan perundang-undangan tentang korupsi dikeluarkan yang dikenal dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Lembaga pemberantasan korupsi pun dibentuk yang dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Berbeda dengan badan di zaman Soekarno dan Soeharto, KPK di zaman reformasi ini benar-benar menunjukkan giginya. Dulu tidak ada yang berani menuduh gubernur melakukan korupsi. Namun dengan adanya KPK, maka gubernur Aceh Abdullah Puteh divonis hukuman penjara 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.  

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, di zaman pemeirntahan Soekarno sudah ada. Tahun 1958 muncul Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian, Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. 

Demikian juga di zaman Pemerintahan Soeharto ada Undang-Undnag Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun masyarakat tahu bahwa aturan itu hanya diterapkan terhadap orang-orang tertentu saja. Para pejabat seperti Menteri, gubernur dan bupati/walikota tidak tersentuh oleh peraturan itu.

Setelah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) diisi oleh para pemikir reformis, maka UU No. 3 Tahun 1971 diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diperbaiki lagi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Dengan undang-undang baru di zaman reformasi inilah masyarakat bisa melihat bahwa pejabat publik tidak bisa lagi melakukan korupsi dan berlindung di bawah peraturan yang ada.

Satu per satu para pejabat mulai masuk penjara karena terbukti memperkaya diri. Mulai dari gubernur, Menteri, direktur jenderal, direktur, duta besar, konsul jenderal, polisi, tentara, anggota DPR, hakim, jaksa, akademisi, pengusaha, pengacara, sudah banyak yang masuk penjara karena dianggap melakukan korupsi. Sebelum era reformasi hal itu tidak mungkin terjadi.

Apa kaitannya dengan demokrasi?

Demokrasi ditandai dengan penentuan pemimpin melalui suara rakyat yang sering dikenal dengan pemilihan umum. Pemilihan presiden tahun 2004 sering dianggap sebagai tonggak sejarah demokrasi di Indonesia karena untuk pertamakalinya dilakukan pemilihan presiden secara langsung yang demnagnkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yodhoyono (SBY). 

Sesungguhnya di awal pemerintahan SBY dunia sering memuji demokrasi Indonesia yang juga semakin bersih dari praktik korupsi. Negara-negara besar seperti AS dan Eropa sudah semakin akrab dengan para pejabat pemerintah Indonesia yang mulai dianggap sejajar dengan pejabat Barat itu.

Namun dengan lahirnya berbagai undang-undang baru terkait pemilihan umum termasuk pemilihan kepala derah, demokrasi Indonesia mulai dirasakan semakin mahal. KPK semakin sering menangkapi pejabat yang dipilih langsung oleh masyarakat. 

Tindakan yang dilakukan pada umumnya menerima suap dari pengusaha hingga menerima uang dari staf untuk diangkat menjadi pejabat.

Dulu ada usulan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dapat membuat sistem agar warga masyarakat biasa dapat dicalonkan menjadi pejabat publik tanpa harus mengeluarkan uang. Bahkan muncul gagasan agar calon independen dimungkinkan tanpa harus melalui partai politik untuk mengurangi biaya tersebut.

Namun sepertinya gagasan itu cepat menguap dan masyarakat tidak terlalu mendukungnya. Masyarakat juga sepertinya sudah makin banyak yang tidak terlalu keras lagi menentang korupsi.

Kini di tahun 2018 ini upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ditandai dengan adanya peraturan yang memadai dan juga lembaga pemberantasan yang kuat yakni KPK. Namun sayangnya undang-undang pemilu tidak buat sejalan dengan upaya pemberatasan korupsi tersebut. 

Akibatnya hampir setiap bulan masyarakat menyaksikan operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap para pejabat publik yang masih tega mengambil uang rakyat mungkin bukan saja memperkaya diri tapi untuk membayar ongkos demokrasi itu.

Semoga ini menjadi bahan perenungan bagi para calon legilastif/pejabat publik dalam pemilu 2019 ini agar tidak ada lagi pejabat yang melakukan korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun