Sesungguhnya di awal pemerintahan SBY dunia sering memuji demokrasi Indonesia yang juga semakin bersih dari praktik korupsi. Negara-negara besar seperti AS dan Eropa sudah semakin akrab dengan para pejabat pemerintah Indonesia yang mulai dianggap sejajar dengan pejabat Barat itu.
Namun dengan lahirnya berbagai undang-undang baru terkait pemilihan umum termasuk pemilihan kepala derah, demokrasi Indonesia mulai dirasakan semakin mahal. KPK semakin sering menangkapi pejabat yang dipilih langsung oleh masyarakat.Â
Tindakan yang dilakukan pada umumnya menerima suap dari pengusaha hingga menerima uang dari staf untuk diangkat menjadi pejabat.
Dulu ada usulan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) dapat membuat sistem agar warga masyarakat biasa dapat dicalonkan menjadi pejabat publik tanpa harus mengeluarkan uang. Bahkan muncul gagasan agar calon independen dimungkinkan tanpa harus melalui partai politik untuk mengurangi biaya tersebut.
Namun sepertinya gagasan itu cepat menguap dan masyarakat tidak terlalu mendukungnya. Masyarakat juga sepertinya sudah makin banyak yang tidak terlalu keras lagi menentang korupsi.
Kini di tahun 2018 ini upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ditandai dengan adanya peraturan yang memadai dan juga lembaga pemberantasan yang kuat yakni KPK. Namun sayangnya undang-undang pemilu tidak buat sejalan dengan upaya pemberatasan korupsi tersebut.Â
Akibatnya hampir setiap bulan masyarakat menyaksikan operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap para pejabat publik yang masih tega mengambil uang rakyat mungkin bukan saja memperkaya diri tapi untuk membayar ongkos demokrasi itu.
Semoga ini menjadi bahan perenungan bagi para calon legilastif/pejabat publik dalam pemilu 2019 ini agar tidak ada lagi pejabat yang melakukan korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H