Mohon tunggu...
Jimmy Haryanto
Jimmy Haryanto Mohon Tunggu... Administrasi - Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Pecinta Kompasiana. Berupaya menjadi pembelajar yang baik, karena sering sedih mengingat orang tua dulu dibohongi dan ditindas bangsa lain, bukan setahun, bukan sepuluh tahun...ah entah berapa lama...sungguh lama dan menyakitkan….namun sering merasa malu karena belum bisa berbuat yang berarti untuk bangsa dan negara. Walau negara sedang dilanda wabah korupsi, masih senang sebagai warga. Cita-cita: agar Indonesia bisa kuat dan bebas korupsi; seluruh rakyatnya sejahtera, cerdas, sehat, serta bebas dari kemiskinan dan kekerasan. Prinsip tentang kekayaan: bukan berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang sudah kita berikan kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beda antara Mimpi Pejabat dan Rakyat di Atas Danau Toba

29 September 2017   08:42 Diperbarui: 30 September 2017   14:50 3494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: kemenpar.go.id

Pesawat Garuda akan membawaku mendarat di Bandara Silangit. Udara cerah kiranya membuatku dapat melihat keindahan danau yang konon terbentuk karena letusan gunung berapi Toba sekitar 70.000 tahun lalu.

Begitu dahsyatnya letusan gunung itu sehingga lava yang dimuntahkannya hingga ke India dan Afrika. Kemudian air berkumpul di tempat rendah itu sehingga terbentuklah Danau Toba yang kedalamannya bisa mencapai 600 meter dan luasnya 300 ribu hektar itu.

Agar tidak menjadi danau mati, maka mengalir pula Sungai Asahan yang kedalamannya sampai 50 meter dan membawa air danau Toba ke laut di Selat Malaka dekat kota Tanjung Balai. Karena mempunyai air terjun Siguragura dan Tangga, maka sebelas perusahaan Jepang bersatu membuat pembangkit tenaga listrik Asahan. Setelah 30 tahun, tahun 2013 proyek itu "dibeli" pemerintah Indonesia dengan harga sekitar enam triliun rupiah dan kini dikelola oleh PT INALUM.

Para ahli gunung berapi dunia di AS masih mempelajari letusan Gunung Toba itu hingga sekarang.

Waktu masih kecil aku sering berenang di danau Toba dekat desa Lumban Silintong, kampung kakekku. Tepatnya hanya bermain-main di pantai yang dangkal karena aku tidak bisa berenang. Airnya jernih dan hangat sungguh menyenangkan dengan batu-batu kecil di dasar danau.

Ikan mujair, ikan lele, ikan mas, ikan porapora, ikan bulanbulan atau asaasa, dan ikan Batak banyak di danau itu dulu.

Setelah bekerja seharian di sawah dan mandi di sumur di sawah sambil menahan dingin, maka nasi dengan sayur daun singkong dan ikan asin bakar sudah disiapkan nenek. Itu sudah mewah bagi kami. Menu siang malam setiap hari tidak pernah berganti.

Setelah lulus perguruan tinggi yang baik, aku telah lalui semua samudera dan kunjungi semua benua dengan pekerjaan yang baik pula.

Tak kutahu berapa lama aku di Toba, karena aku hanya ingin mengunjungi ibuku yang kini hanya bisa terbaring di tempat tidurnya.

Aku sungguh bersyukur di kala ibu yang hanya sempat lulus sekolah dasar masih sehat sempat mengunjungiku selama enam bulan di Kota New York. Dia datang bersama ayah saat itu.

Niat pemerintah saat ini ingin mengangkat wisata Danau Toba. Tak tanggung-tanggung ada tiga bandara yakni Kuala Namu di Medan, Silangit dekat Siborongborong dan Sibisa dekat Parapat.

Banyak yang bermimpi tentang Danau Toba. Presiden Jokowi bermimpi agar Danau Toba bisa menarik turis asing seperti Bali. Menteri Pariwisata Arief Yahya bermimpi agar Danau Toba bisa seperti Monaco. Dubes RI di Argentina Jonny Sinaga bermimpi agar Danau Toba bisa seperti Bariloche di Argentina. Dubes RI Hotmangaraja Panjaitan di Paris bermimpi agar Danau Toba bisa seperti Danau Jenewa di Swiss. Menteri Luhut Panjaitan bermimpi agar masyarakat di sana bisa hidup bahagia dan ramah terhadap para pengunjung.

Mimpiku hanya sederhana: agar masyarakat di sekitar danau Toba bisa hidup lebih baik sedikit, dan bukan jadi penonton apalagi korban, saat para turis membanjiri Danau Toba. Tidak lagi hanya makan nasi dan ikan asin yang dibakar (gulamo natinutung) setiap hari seperti diriku di masa kecil. 

Danau Toba, 27 September 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun