Mohon tunggu...
Andri S. Sarosa
Andri S. Sarosa Mohon Tunggu... Insinyur - Instruktur, Trainer, Konsultan Sistem Manajemen + Bapak yang bangga punya 5 Anak + 1 Istri

Insinyur lulusan Usakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dari Mana Datangnya Rp. 300 Triliun?

2 Januari 2025   16:16 Diperbarui: 2 Januari 2025   16:16 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Helena Lim dan Harvey Moeis (Sumber: mediakepri.co.id)

Dunia perkorupsian Indonesia digegerkan dengan vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang menjatuhkan vonis 6 tahun 6 bulan penjara kepada Harvey Moeis sehingga memunculkan beragam reaksi di masyarakat.

Tidak hanya masyarakat bahkan Presiden Prabowo pun menyayangkan bahwa rampok 300 triliun tapi vonis hanya sekian tahun dan tak ingin koruptor dihukum ringan.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada masyarakat, tokoh-tokoh dan Presiden, saya sedikit menyampaikan fakta secara sederhana berdasar literasi di media-media termasuk Kompas dan kenapa vonisnya begitu ringan.

Majelis Hakim tentu sudah mempelajari kasus ini secara komprehensif (keseluruhan) dan mempertimbangkan berbagai aspek hukum sebelum menjatuhkan vonis ini.

Apakah Harvey terbukti menerima uang korupsi sebesar Rp 300 triliun? ... Ternyata tidak!

Dalam surat dakwaan Jaksa, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut (hanya) menikmati uang negara Rp 420 miliar.

"Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000," papar Jaksa.

Ujung-ujungnya vonis yang dijatuhkan kepada Harvey adalah pidana hukuman badan 6 tahun dan 6 bulan penjara, dan dijatuhkan pidana denda Rp 1 miliar serta pembayaran uang pengganti Rp 210 miliar. Nilai uang Rp 210 miliar ini adalah (sepertinya) hasil dari Rp 420 miliar dibagi dua bersama Helena Lim.

Dan selain itu masih ada 16 tersangka lain yang peranannya lebih besar dibanding Harvey Moeis, diantaranya petinggi PT Timah Tbk. dan para petinggi Perusahaan yang bekerja sama dengan PT. Timah Tbk. dalam mengelola bisnis tambang timah.

Peran Harvey seperti apa?

Boleh dibilang peranannya sebagai makelar dalam kerja sama kegiatan pertambangan di Bangka Belitung antara beberapa Perusahaan yang diwakilinya dengan PT Timah Tbk.

Sebagai mantan makelar, saya paham bahwa makelar pasti menginginkan keuntungan untuk kedua belah pihak dan, tentu untuk dirinya sendiri.

Tapi kenyataannya Harvey dan Helena ini sangat cerdas. Jika saya, jaman masih jadi makelar, menerima apa yang disebut komisi jerih payah negosiasi bisnis hanya 1 kali saja tapi Harvey dan Helena menerima rutin sejak tahun 2015 sampai 2022 dengan istilah dana Corporate Social Responsibility (CSR).

Dana CSR ini seharusnya dialirkan kembali untuk kegiatan sosial Perusahaan tapi, mungkin, Harvey dan Helena menyisihkan untuk pribadi sebagai komisi. Alhasil, jumlah yang terkumpul adalah sebesar Rp 420 miliar sesuai dakwaan Jaksa.

Lalu dari mana datangnya angka Rp 300 triliun?

  • Kerugian atas kerja sama PT Timah Tbk. dengan smelter swasta:  Rp. 2,285 triliun.
  • Kerugian atas pembayaran bijih timah kepada mitra PT Timah Tbk.: Rp. 26,649 triliun.
  • Kerugian ekologis (lingkungan): Rp.271,1 triliun.

Nilai yang terbesar dari tiga point diatas adalah kerugian lingkungan yang mencapai Rp. 271,1 triliun. Ini pula yang ditanyakan Harvey pada pledoinya.

Adalah Ahli Lingkungan IPB, Bambang Hero Saharjo, yang kebetulan Dosen dari teman saya, yang melakukan penghitungan kerugian negara yang timbul akibat kerusakan tersebut.

Beliau dan timnya mengambil sampel dari sisa bekas tambang dan juga vegetasi yang terdapat di atas area tambang tersebut. Dari hasil uji analisa laboratorium maka dipastikan wilayah tersebut sudah rusak. Selain itu juga diadakan rekonstruksi untuk melihat luas wilayah-wilayah yang rusak akibat kegiatan pertambangan tersebut.

"Jadi kami menggunakan citra satelit untuk melihat pergerakan di tahun itu. Misalnya di tahun 2015 itu, mereka di mana saja melakukan aktivitas itu. Kemudian di 2016, di 2017, 2018, 2019, 2020, 2021, 2022," papar Bambang.

"Dan dari situlah kami menghitung berapa luasan per tahun. Sehingga itu kita bisa bangkitkan dengan citra satelit, kita pertunjukan dan pertontonkan, itu bisa dicek," jelasnya. "Jadi ada ecological terganggu ya, kemudian yang kedua adalah enviromental economic yang rusak, dan yang ketiga itu adalah pemulihan yang harus dilakukan".

Nah, angka Rp. 271,1 triliun itu diperoleh dari perhitungan biaya jika Pemerintah akan memulihkan wilayah yang mengalami kerusakan oleh pihak-pihak yang melakukan pertambangan tersebut.

Reklamasi lahan bekas tambang  di Bangka Belitung (Sumber: Kompas.Com/Pemdes Namang)
Reklamasi lahan bekas tambang  di Bangka Belitung (Sumber: Kompas.Com/Pemdes Namang)

Pertanyaan lanjutannya adalah apakah Pemerintah mau mengeluarkan biaya Rp. 271,1 triliun untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang rusak tersebut?

  • Jika mau: maka kerugian negara (total) Rp 300 triliun akan terwujud.
  • Jika tidak: maka Rp. 271,1 triliun tidak tampak wujudnya.

Sebab, mohon maaf nih, rasanya jarang-jarang Pemerintah menutup suatu pertambangan yang masih aktif lalu kemudian memperbaiki lingkungan agar kembali seperti semula. Selain biayanya pasti besar, Indonesia juga masih membutuhkan hasil tambang timah.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun