Sebagai mantan makelar, saya paham bahwa makelar pasti menginginkan keuntungan untuk kedua belah pihak dan, tentu untuk dirinya sendiri.
Tapi kenyataannya Harvey dan Helena ini sangat cerdas. Jika saya, jaman masih jadi makelar, menerima apa yang disebut komisi jerih payah negosiasi bisnis hanya 1 kali saja tapi Harvey dan Helena menerima rutin sejak tahun 2015 sampai 2022 dengan istilah dana Corporate Social Responsibility (CSR).
Dana CSR ini seharusnya dialirkan kembali untuk kegiatan sosial Perusahaan tapi, mungkin, Harvey dan Helena menyisihkan untuk pribadi sebagai komisi. Alhasil, jumlah yang terkumpul adalah sebesar Rp 420 miliar sesuai dakwaan Jaksa.
Lalu dari mana datangnya angka Rp 300 triliun?
- Kerugian atas kerja sama PT Timah Tbk. dengan smelter swasta: Â Rp. 2,285 triliun.
- Kerugian atas pembayaran bijih timah kepada mitra PT Timah Tbk.: Rp. 26,649 triliun.
- Kerugian ekologis (lingkungan): Rp.271,1 triliun.
Nilai yang terbesar dari tiga point diatas adalah kerugian lingkungan yang mencapai Rp. 271,1 triliun. Ini pula yang ditanyakan Harvey pada pledoinya.
Adalah Ahli Lingkungan IPB, Bambang Hero Saharjo, yang kebetulan Dosen dari teman saya, yang melakukan penghitungan kerugian negara yang timbul akibat kerusakan tersebut.
Beliau dan timnya mengambil sampel dari sisa bekas tambang dan juga vegetasi yang terdapat di atas area tambang tersebut. Dari hasil uji analisa laboratorium maka dipastikan wilayah tersebut sudah rusak. Selain itu juga diadakan rekonstruksi untuk melihat luas wilayah-wilayah yang rusak akibat kegiatan pertambangan tersebut.
"Jadi kami menggunakan citra satelit untuk melihat pergerakan di tahun itu. Misalnya di tahun 2015 itu, mereka di mana saja melakukan aktivitas itu. Kemudian di 2016, di 2017, 2018, 2019, 2020, 2021, 2022," papar Bambang.
"Dan dari situlah kami menghitung berapa luasan per tahun. Sehingga itu kita bisa bangkitkan dengan citra satelit, kita pertunjukan dan pertontonkan, itu bisa dicek," jelasnya. "Jadi ada ecological terganggu ya, kemudian yang kedua adalah enviromental economic yang rusak, dan yang ketiga itu adalah pemulihan yang harus dilakukan".
Nah, angka Rp. 271,1 triliun itu diperoleh dari perhitungan biaya jika Pemerintah akan memulihkan wilayah yang mengalami kerusakan oleh pihak-pihak yang melakukan pertambangan tersebut.