Awal September 2020 lalu, Republik ini heboh dengan pro-kontra soal rencana Sertifikasi Ulama oleh Kementrian Agama. Netizen yang maha benar dengan segala kekurangannya malah mengkait-kaitkan dengan masalah Sertifikasi Halal dari MUI. Alhasil dunia medsos sempat kacau balau dengan silang pendapat mereka karena sudah merembet kemana-mana. Sesuatu yang diblow-up di medsos, hasilnya luar biasa memang.
Saya sih ngga' peduli sebenarnya tapi berhubung saya lagi ditugaskan oleh Big Bos untuk mendapatkan Sertifikasi Halal untuk Perusahaan tempat saya bekerja maka beberapa kicauan di Twitter coba saya luruskan berdasarkan data-data dan aturan perundangan yang saya pahami, Alhamdulillah beberapa Netizen sedikit-sedikit memahami tentang aturan Sertifikasi Halal tersebut.
**
Awal mula ide untuk mendapatkan Sertifikasi Halal ini dilontarkan oleh Big Bos saya yang notabene berkewarganegaraan Jepang pada tahun 2018.
Kaget juga mendengarnya saat itu karena sebagai orang Jepang dan di Perusahaan PMA Jepang yang hanya memproduksi Packaging (Kotak Boks) untuk produk-produk elektronik, kok kepikiran dengan Sertifikat Halal ya?
Big Bos menjelaskan bahwa suatu saat visi kita akan berubah dengan memproduksi Packaging untuk makanan, obat-obatan dan kosmetik. Nah jika isi produknya (makanan/obat-obatan/kosmetik) Halal, masa Packingnya (Boksnya) tidak Halal? Walaupun Packaging-nya tidak bisa dimakan tapi akan lebih sempurna jika keseluruhan produk tersebut dijamin Halal, tegasnya.
Sebagai bawahan yang beragama Islam, Saya jadi semangat punya Bos futuristik kayak gini. Walaupun ujung-ujungnya untuk kepentingan bisnis tapi visi yang jauh kedepan ini patut dihargai.
Setelah itu kemudian saya mulai mencari informasi tentang bagaimana caranya untuk mendapatkan Sertifikat Halal untuk dua buah Pabrik besar yang berada di daerah Kabupaten Bekasi, Jawa Barat dan di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Pada 31-Jan-2019, saya juga menyempatkan diri untuk mampir ke LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) di Bogor untuk berdiskusi tentang rencana Sertifikasi Halal ini. Sambutan dan penjelasan para staff LPPOM MUI sungguh memuaskan sehingga kamipun paham dengan apa yang harus kami lakukan.
Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, akhirnya saya memutuskan untuk mengadakan Training Halal secara in-house (didalam pabrik) sebagai salah satu persyaratan Sertifikasi Halal dengan mendatangkan Trainer dari Indonesia Halal Training & Education Center (IHATEC) dari MUI. Dengan demikian jumlah pesertanya bisa kami tentukan sendiri. Jika ikut training di IHATEC Bogor maka biaya training akan lebih mahal.
Training itu sendiri diadakan pada 21 - 22 Mei 2019 pas pada saat bulan puasa. Tapi bulan puasa tidak menghalangi kegiatan ini, malah kami merasa mendapatkan berkah Ramadhan.Â
Setelah merasa punya ilmu yang cukup maka kamipun membuatkan detail Prosedur untuk proses Produk Halal agar bisa diimplementasikan pada proses Produksi untuk memperoleh Produk yang menggunakan bahan baku bebas najis atau babi dari lingkungan kerja yang bebas najis pula, berdasarkan persyaratan Standar Jaminan Halal (SJH 23000)/Halal Assurance System (HAS 23000).
![Sumber: Doc Pribadi/gambar asli: halalmui.org](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/09/22/books-5f696aa7dd394366bb5272b2.jpg?t=o&v=770)
Tapi supaya lebih afdol, saya pun menyambangi kantor BPJPH di Lapangan Banteng Jakarta untuk menanyakan lebih lanjut tentang prosedur perubahan tata cara Sertifikasi Halal. Sayangnya kantor BPJPH saat itu belum siap, mereka masih beberes.Â
Walaupun demikian sudah ada staff yang siap menjelaskan ke konsumen yang datang. BPJPH ini berfungsi sebagai pintu masuk dan keluarnya Sertifikasi Halal, sedangkan untuk proses Sertifikasi Halal sendiri masih diserahkan ke LPPOM MUI, sesuai pasal 7 dan 10 UU No.33/2014 tersebut.
Baiklah, walaupun ada penundaan yang diakibatkan perubahan aturan ini tapi proses Sertifikasi Halal untuk Pabrik kami tetap harus berjalan terus sampai akhirnya pada bulan Februari 2020, kami mendapatkan jadwal Audit Halal yang akan diadakan pada 2 April 2020 (site: Bekasi) dan tanggal 8 April 2020 (site: Pasuruan).
Tapi apa daya, setelah semua persiapan dilakukan, sekitar seminggu sebelum Audit atau tepatnya pada 24 Maret 2020, ada email yang masuk dari Team Audit LPPOM MUI yang menyatakan bahwa Audit terpaksa ditunda sampai waktu yang tidak dapat ditentukan karena Pandemi Covid-19. Sebab untuk Perusahaan baru, Audit harus bersifat onsite (datang langsung ke lokasi) sedangkan pada masa PSBB, hal tersebut termasuk yang dilarang.
Sejak saat itu, saya menugaskan salah satu staff untuk monitoring dan komunikasi rutin dengan pihak LPPOM MUI sambil memantau kondisi terkini dan kemungkinan dilakukannya Virtual Audit.Â
Waktu yang terbuang cukup lama sekitar 5 bulan tanpa kejelasan. Pihak LPPOM MUI beralasan bahwa mereka lebih mendahulukan konsumen yang melakukan perpanjangan Sertifikat dibanding Sertifikasi baru dan kebetulan Perusahaan kami juga termasuk didalam golongan "lain-lain" sehingga tidak masuk skala prioritas seperti makanan atau obat-obatan.
Alhamdulillah setelah sekian lama menunggu dan rutin berkomunikasi.. akhirnya ada jawaban dari LPPOM MUI bahwa Perusahaan kami dapat di Audit melalui sistem Audit Virtual yang dinamakan MoSA (Modified On Site Audit = Audit On-Site Termodifikasi) dengan menggunakan aplikasi Microsoft Teams. Sebenarnya aplikasi yang digunakan bisa disesuaikan dengan kesepakatan antara Auditee dan Auditor dan kami lebih familiar menggunakan Microsoft Teams dibandingkan Zoom.
Audit virtualpun berlangsung pada 9 - 10 September 2020. Hari pertama Audit dilakukan di pabrik cabang Bekasi dan Audit hari kedua di pabrik cabang Pasuruan.
Audit virtual tentu saja lebih melelahkan dibandingkan Audit biasa (on-site) karena kecepatan mempersiapkan, scan dan upload dokumen untuk ditunjukan kepada Auditor sangat menentukan dan juga kami harus mengadakan "live show" karena Auditor minta diperlihatkan suasana Pabrik pada saat proses Produksi sedang berjalan, juga proses Warehouse, Transportasi dan lain-lain. Jadinya berasa seperti Youtuber yang sedang shooting. Untungnya kami didukung Team IT yang mumpuni sehingga tidak ada kendala yang berarti selama Audit Virtual berlangsung.
Ada satu catatan yang menarik diberikan oleh Auditor kepada kami terkait penggunaan Kuas untuk pengeleman. Kebetulan masalah kuas juga sedang trending topic di dunia maya.Â
Kuas yang kami gunakan berinitial E buatan Cina dan berbahan bristle. Sebenarnya bristle sendiri bukan berarti bulu babi tapi secara umum dapat berarti sebagai rambut atau serat yang kaku dan ini memang bisa dari rambut mahluk hidup (manusia atau binatang) atau tumbuhan seperti ijuk. Auditor minta kami untuk investigasi apakah bristle yang dimaksud adalah ijuk atau bulu hewan?Â
Setelah kami menanyakan kepada Supplier, ternyata Supplier tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Oleh karena itu saya pun ambil keputusan untuk mencari Kuas yang berbahan imitasi seperti nylon atau filament (kawat halus) dan jika memungkinkan punya Sertifikat Halal.
Tidak berapa lama team Purchasing kami mendapatkan Kuas yang bersertifikat Halal. Tentunya saya harus cross check nomor Sertifikat tersebut melalui website LPPOM MUI tapi ternyata disana tidak ditemui nomor tersebut. Lalu saya tanyakan ke LPPOM MUI melalui email. Tak berapa lama kami mendapatkan jawaban dan saya diarahkan ke MUI Yogya yang menerbitkan Sertifikat tersebut.
MUI Yogya juga tidak memerlukan waktu lama untuk mengkonfirmasi Sertifikat tersebut bahkan juga mengirimkan daftar Produk dan Produsen yang telah mendapatkan Sertifikasi Halal dari MUI Yogya edisi bulan September 2020. Untuk service by email atau WA saya berani kasih bintang 5 (dari skala 5) untuk LPPOM MUI Pusat maupun daerah karena kecepatan dan keterbukaan informasinya walaupun ada baiknya informasi terpusat di LPPOM pusat sehingga tidak sulit mencarinya.
Auditor LPPOM MUI juga menjalankan fungsinya secara profesional dan detail. Mereka mengaudit sesuai dengan Standar Jaminan Halal 23000 yang menjadi acuan, tidak menyimpang dari itu sehingga Audit berjalan dengan baik. Saat ini kami masih menunggu hasil Audit dan Semoga hasilnya pun baik.
**
Sementara itu diluar sana Netizen masih mempermasalahkan MUI sebagai regulator Sertifikasi Halal. Mereka menganggap MUI sebagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang tidak berhak mengeluarkan fatwa Halal.
Sekedar meluruskan.. jika kita baca lagi UU No.33/2014 maka MUI sudah ditetapkan sebagai regulator Sertifikasi Halal. Karena itu jika ingin menggugat, ya harus menggugat Undang-Undangnya.
![Sumber: istimewa](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/09/22/mui-5f697028dd3943503c6b30a2.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI