Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Syarif Hidayat, Teknologi Rendah Hati, dan Ventilator Indonesia

24 Juli 2020   01:57 Diperbarui: 24 Juli 2020   01:50 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai alumni, saya memang pernah diminta -- lalu bersedia --  mencantumkan nama pribadi pada sebuah petisi untuk menyatakan penolakan terhadap Din Syamsuddin. Saat yang bersangkutan 'dicalonkan' menjadi anggota Majelis Wali Amanat, ITB, beberapa waktu lalu.

Faktanya beliau kemudian terpilih.

Menyatakan pendapat adalah hak pribadi siapa saja. Bahwa kemudian tidak digubris atau kalah suara, adalah satu hal. Kemudian yang berlaku berbeda dengan keberatan yang disampaikan, adalah hal lain. Sebagaimana ketika Joko Widodo dan pasangan yang mendampinginya, terpilih memimpin Indonesia hari ini. Padahal hampir setengah pemilih, tak menghendaki mereka. Tapi sebagai masyarakat yang beradab, menghormati proses demokrasi, dan mematuhi hukum yang berlaku, semua pihak mesti menerima kenyataan tersebut.

Hal yang sangat mengecewakan pada sebagian masyarakat berpendidikan yang mengaku sebagai alumni ITB, nama saya kemudian berulang kali mereka catut, pada dokumen yang menyatakan tuntutan agar Din Syamsuddin dicopot dari kedudukannya pada Majelis Wali Amanat (MWA-ITB). 

Bagaimana pun, hal itu sungguh tak pantas, menyedihkan, sekaligus memalukan. Apalagi, pada dokumen Siaran Pers tanggal 16 Juli 2020 yang salinannya saya peroleh, ada nama-nama yang sudah tak dicantumkan lagi di sana. Padahal pada dokumen sejenis yang beredar sebelumnya dan tak pernah saya setujui juga itu, sosok yang kini bekerja di lingkungan Istana Kepresidenan tersebut, namanya masih ada.

Jika penyusun Siaran Pers yang membajak nama saya di sana, bisa melakukan konfirmasi kepada sang pejabat sehingga namanya tak ikut dicantumkan lagi, mengapa hal yang sama tak dilakukan juga kepada diri saya atau yang lain?

Saya menolak Din Syamsuddin ketika akan dicalonkan menjadi anggota Majelis Wali Amanat. Tapi saya tidak pernah dihubungi -- apalagi memberikan pesetujuan -- terhadap pernyataan yang meminta MWA ITB dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, untuk segera memberhentikan Prof.Dr. M. Din Syamsuddin sebagai anggota MWA ITB.

***

Akhir-akhir ini, di tengah kegamangan dan kekacauan pemerintah menangani pandemi Covid-19 -- juga berbagai absurditas tata kelola yang terjadi di berbagai sektor kegiatan mereka -- issue 'kadrunisasi' sering mengemuka kembali.

Jika hal tersebut merupakan 'cara' untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas kekecewaannya yang semakin meluas -- yakni terhadap kompetensi pemerintah dalam menjalankan fungsi sesuai dengan tugas dan tanggung-jawab yang mereka emban -- tentulah sangat patut untuk kita sesali. Bahkan amat pantas dikutuk bersama.

Cara dan upaya 'kadrunisasi' tersebut -- baik dalam rangka menutupi ketidak mampuan dalam melakoni tugas pokok dan fungsi, maupun untuk 'membungkam' suara-suara kritis yang berkumandang semakin nyaring -- sesungguhnya hanya menyempurnakan perpecahan semata. Justru di tengah situasi sekarang, bangsa ini mestinya semakin bersatu dan saling tolong-menolong. Agar kita bersama-sama dapat menghadapi dan menyelesaikan persoalan pelik terkait wabah pandemi virus corona yang sedang berlangsung.

Fenomena di atas, jika benar digunakan sebagai 'cara' dan 'upaya' sebagaimana dijelaskan tadi, mestinya sangat layak menjadi perhatian pemimpin tertinggi negara ini. Membiarkan, apalagi jika turut menciptakan, narasi 'kampungan' tersebut berkembang, adalah kekeliruan yang sangat tak patut. Terlebih lagi jika suasana kebatinan serupa, masih dibiarkan merajalela di lingkungan pendidikan tinggi seperti ITB.

Sebab Presiden adalah milik seluruh bangsa Indonesia.

***

Syarif Hidayat, adalah rekan saya yang berprofesi sebagai dosen di ITB. Dia bersama sejumlah teman-temannya yang bernaung di lingkungan jamaah Masjid Salman, menginisiasi upaya inovatif untuk mengembangkan ventilator. Mereka turut berperan dalam penanggulangan wabah Covid-19 yang sedang kita hadapi ini.

Upaya dan kerjanya, boleh dikatakan berlangsung atas swadaya masyarakat. Meski yang bersangkutan tercatat sebagai salah seorang dosen senior di kampus Ganesha, pengembangan produk teknologi yang disebut Venti I tersebut, digarap bersama dengan sejumlah perguruan tinggi yang ada di Bandung. Seperti Unpad, Itenas, UPI, dan sejumlah politeknik maupun kampus swasta lainnya.

Saya menghubungi Syarif secara khusus. Untuk mendengar lebih jauh perjalanan yang mereka lakukan. Suka maupun dukanya. Tapi yang paling penting, 3/4 dari 1000 unit ventilator yang akan mereka selesaikan, telah tersebar dan digunakan di berbagai rumah sakit Indonesia. Mulai dari Sabang hingga Marauke.

Hal yang dilakukan Syarif, memang bukan berlangsung sebagai inisiatif ITB. Tapi dia menyerahkan kelima paten yang dikembangkan sebagai kekayaan intelektual kampus tempatnya menimba ilmu dan mengabdi hingga hari ini. Atas budi baik dan hadiah yang dipersembahkan Syarif dan kawan-kawan, lembaga pendidikan teknologi yang kemarin baru merayakan seabad kelahirannya itu, sedang mempersiapkan proses komersialiasi industri ventilator tersebut, bersama Panasonic, PMA asal Jepang yang di Indonesia bermitra dengan kelompok usaha Rachmat Gobel.

Konon, sejumlah pemesanan sudah disampaikan dari beberapa negara. Di antaranya Kuwait, Arab Saudi, Iran, dan Swedia. Lucunya, dia pernah dihubungi Kedutaan Singapore yang juga ingin memesan. Untuk memenuhi pemintaan bantuan dari masyarakat Indonesia.

***

Inisiasi tersebut dimulai Syarif dan kawan-kawan di 'bengkel' Masjid Salman, sekitar minggu ketiga bulan Maret lalu. Kurang-lebih 2 bulan kemudian, mereka telah lolos dari sejumlah tahap yang ditetapkan sehingga dapat mengantongi izin edar dari Kementerian Kesehatan.  

Syarif menyebut capaian mereka sebagai keberhasilan dari filosofi 'teknologi rendah hati'. Semua itu tak terlepas dari  'kerendah-hatian' mereka untuk menyadari 'kemiskinan' bangsanya yang masih begitu tergantung dari produk-produk asing. Meskipun untuk hal-hal yang merupakan kebutuhan dasar dan digunakan secara masif oleh masyarakatnya.

Mendengar dan memahami secara sungguh-sungguh hal yang dibutuhkan konsumen, juga merupakan bagian penting dari filosofi 'teknologi rendah hati' yang dimaksudkannya. Lalu belajar dan berusaha menyerap hal-hal yang berkembang di lingkungan sekitar. Terutama yang berkaitan dengan ekosistem di mana teknologi yang dikembangkannya bakal berperan.

Itulah sebabnya, sejak awal mula, pengembangan yang mereka lakukan sudah melibatkan ahli-ahli kedokteran dari Unpad. Bidang keahlian yang memang tak dimiliki rekan-rekannya dari ITB. Hal yang kemudian justru memuluskan produk inovasi mereka melalui tahap-tahap pengujian yang dibutuhkan -- kalibrasi, keamanan, ketahanan, hingga aspek kliniknya -- sebelum mengantungi izin edar.

***

Pasca Reformasi 1998, issue keagamaan selalu mengemuka dalam kontestasi perpolitikan kita. Terlepas dari alasan apapun, kohesivitas masyarakat kita pada kenyataannya memang semakin terkoyak. Pemilihan Presiden kemarin adalah puncaknya. Implikasinya merambat ke berbagai pelosok kehidupan. Termasuk lingkungan kampus. Tidak terkecuali ITB.

Hal yang menyedihkan, perbedaan pandangan yang terjadi justru bergeser -- atau mungkin digeser -- ke arah saling meniadakan. Bukan dalam rangka menawarkan yang terbaik bagi seluruh bangsa. Dengan tetap menghormati keberagaman yang ada di tengahnya.

Ketika berlangsung kontestasi politik kemarin, persaingan sengit memang acap berlangsung 'off-side'. Seperti kehadiran kelompok yang ingin menegakkan paham khilafah yang menafikan keberagaman bangsa ini.  

Hal demikian tentu tidak dapat dibenarkan dan perlu dihentikan. Tapi membiarkan atau menjadikannya 'ketakutan' yang berlarut-larut, lalu menggunakannya sebagai 'hantu' pamungkas terhadap apapun yang berbeda dengan selera maupun keinginan kekuasaan, tentu saja merupakan kekeliruan besar. Termasuk gerakan 'kadrunisasi' yang setiap kali mengemuka, segera membara seperti minyak yang tersambar api. Walau untuk urusan remeh-temeh seperti tidak islaminya panganan klempon yang disinggung pihak yang ingin mempopulerkan dagangan buah kurmanya kemarin.

Kita tak bisa menutup mata jika keterbelahan yang berlangsung di tengah bangsa ini, juga sudah begitu merasuk di lingkungan kampus-kampus. Hal yang menyebabkan kegamangan birokrasinya setiap kali berhadapan dengan gagasan maupun inovasi yang berkembang di tengah mereka.

Apa yang telah dilakukan Syarif Hidayat, sahabat saya yang aktif di lingkungan Masjid Salman itu, semestinya menyadarkan kita semua, atas keliru yang kebablasan selama ini. Pertikaian selama kontestasi kemarin, sesungguhnya sudah berakhir ketika Presiden dan Wakil Presiden terpilih, ditetapkan dan resmi bertugas. 

Sehingga mereka dapat memimpin bangsa ini dalam semangat persatuan dan kesatuan yang seharusnya. Bukan terus dipojokkan agar gamang dan terkesan kikuk. Seolah harus terus-menerus memilih antara yang kemarin mendukung dengan yang bukan.

Apalagi dalam situasi luar biasa pandemi virus corona yang sedang kita dan seluruh masyarakat dunia hadapi hari ini.

Syarif dan kawan-kawan mampu mengembangkan gagasannya untuk turut ambil bagian dalam menyelesaikan persoalan tersebut, berkat gotong-royong masyarakat yang berhasil mengumpulkan Rp 12,5 miliar modal kerja yang mereka gunakan. Baik dari korporasi maupun perorangan. Mereka justru membantu Negara. Bukan membebaninya.

Menjelang akhir perbincangan kami, saya bertanya padanya, siapa gerangan konsumen pertama yang menggunakan inovasi ventilator yang mereka kembangkan.

Syarif berfikir sejenak untuk mengingat-ingat. Lalu katanya, 

"Rumah sakit Advent yang di Jl. Cihampelas!"

Saya menyaksikan perasaan 'surprise' sekaligus bahagia pada wajah Syarif yang muncul di layar handphone sore tadi. Mungkin dia tak pernah menyangka pertanyaan itu meluncur.

"Saya ingat, saat itu, pasien dokter Unpad yang turut bekerja bersama kami, sedang dirawat di sana dan membutuhkan ventilator", katanya sebelum kami mengakhiri perbincangan tadi.

Mardhani, Jilal
24 Juli 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun