Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Joko Tjandra, Kisah Orde Baru yang Terus Menggelayut hingga Era Joko Widodo

12 Juli 2020   15:07 Diperbarui: 12 Juli 2020   14:57 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko S. Tjandra di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2000, dalam kasus korupsi Bank Bali -- diolah dari dokumentasi Bernard Chaniago/Tempo, pada Majalah Tempo edisi 11 Juli 2020

Tempo minggu ini (edisi cetak beredar Senin besok, 12 Juli 2020), mengangkat kisah ajaib tapi nyata. Buron pengemplang uang negara yang kemarin sempat melenggang bebas.

Otak normal pembayar pajak yang dipungut dari keringat yang dicucurkannya -- kecuali mereka yang memaklumi dan ikut menikmati sepak terjang sang buron -- akan tak sanggup mencerna kenyataan ini.

Majalah itu memberitakan jika Joko Tjandra, koruptor yang kabur sehari sebelum putusan MA atas dirinya dibacakan, hengkang ke Papua Nugini. Di sana dia mendaftarkan diri untuk mendapat KTP setempat, dengan mengganti nama menjadi Joe Chan dan memalsukan tanggal lahir.

Andriana Supandy, Duta Besar RI untuk Papua Nugini dan Kepulauan Salomon, menyatakan pemerintah negara tetangga di timur Papua itu, belum pernah mencabut paspor Joko. Walau sudah mengetahui data palsu yang diberikannya. Malah beberapa waktu lalu sempat diperpanjang hingga 2023.
Artinya, 0-1 untuk Indonesia yang secara konstitusional sudah menyatakan korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi musuh bersama. Tentu ada hal-hal lain yang dipertimbangkan pemerintah sehingga tak berani menegakkan kedaulatan yang diamanahkan UU itu.

***

Joko Tjandra yang menurut kuasa hukumnya melakukan banyak investasi di Malaysia, 3 tahun lalu malah sempat menitip pesan lewat Jaksa Agung negeri jiran tersebut. Disampaikan langsung kepada Muhammad Prasetyo, Jaksa Agung RI saat itu yang sedang menghadiri perhelatan besar para penegak hukum ASEAN dan Tiongkok, di Naning, Cina. Tan Sri Mohamed Apandi Ali, rekan sejawat Prasetyo dari Malaysia, mengajaknya membicarakan soal pembebasan Joko Thandra.

Kali ini gawang Indonesia dibobolkan secara telak. 0-2. Malaysia yang dibanding Papua Nugini, jelas-jelas nemiliki kepentingan bilateral yang lebih besar dengan kita, tak menggubris tekad dan kesungguhan bangsa ini dalam memberantas korupsi. Dari sudut pandang konstitusional yang ditegakkan melalui UU Pemberantasan Korupsi itu, sikap dan langkah Jaksa Agung Malaysia itu, sungguh melecehkan.

***

Sekembalinya ke Indonesia, Prasetyo dipanggil atasannya yang saat itu menjabat sebagai Menko Polhukam, Wiranto. Menurut berita Majalah Tempo, legasi Orde Baru yang hingga periode pertama Joko Widodo kemarin, selalu malang melintang di lingkaran kekuasaan pemerintahan Indonesia, menyampaikan permintaan yang sama.

Kabar yang satu ini seperti gol bunuh diri. 0-3.

***

Saya tak ingin mengulas gol demi gol bunuh diri lain yang membobol gawang kedaulatan bangsa ini. Jika tertarik, Anda bisa membacanya sendiri. Mulai dari silat lidah Kepolisian, Kejaksaan, hingga Kehakiman sehingga Joko Tjandra yang telah buron bertahun-tahun itu melenggang bebas lewat imigrasi. Membuat KTP baru di kelurahan Grogol, Jakarta. Mendaftarkan gugatan Peninjauan Kembali di Pengadilan Jakarta Selatan pada awal minggu kedua, bulan Juni lalu. Bahkan membuat paspor baru yang sempat dikirim ke kediamannya di Simpruk. Meski kemudian dia tak sempat menggunakan dan kembali melenggang di depan hidung Imigrasi tanpa diketahui menggunakan paspor apa.

Mengetahui semua itu, Mahfud MD, Menkopolhukam pada kabinet Joko Widodo hari ini, memang uring-uringan.

Saya tak mengerti. Peristiwa Joko Tjandra yang heboh di tengah kekacauan pemerintah menangani pandemi Covid-19 ini, berkisah tentang kecolongan yang disesalkan, drama konspirasi yang menjijikkan, atau sekedar bahan yang bisa jadi pergunjingan para buzzer mencari rezeki.

Satu hal yang semakin saya yakini. Jujur, baik, dan murah hati memang tak cukup untuk mengurus negara ini. Perlu kecerdasan, nekad, dan bersedia mempertaruhkan diri. Bahkan bila perlu, nyawa sekalipun.

Mardhani, Jilal -- 12 Juli 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun