Tulisan ini saya persembahkan untuk memperingati perjalanan 100 tahun Pendidikan Tinggi Teknik di Indonesia
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan telah mempublikasikan realisasi transfer ke daerah dan dana desa untuk tahun 2019 kemarin. Jumlahnya sebesar Rp 811,3 triliun. Hampir 13% diantaranya adalah Dana Bagi Hasil yang berjumlah Rp 104 triliun.
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan amanah UU 33 tahun 2004. Produk hukum yang lahir setelah Reformasi 1998 untuk menampung aspirasi penguatan otonomi daerah.
Hasil yang dibagi dengan daerah (provinsi, kota, dan kabupaten) bersumber dari 2 kelompok besar. Sumber daya alam yang dieksploitasi, serta pajak. Daerah yang tak lagi memiliki sumber daya alam tentu tak memiliki kemewahan ini. Seperti umumnya kota-kota besar. Bagi hasil sumber daya alam paling banyak dinikmati di luar Pulau Jawa.
Bagi hasil dari sumber daya alam paling banyak dinikmati daerah di pulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Sebesar Rp 61,7 triliun dari Rp 104 triliun di atas, berasal dari sumber daya alam yang dihasilkan daerah-daerah di Indonesia.
DBH yang bersumber dari pajak dan cukai berjumlah Rp 42,3 triliun atau sekitar 40,7 persennya. Meski hanya 5,2% dari jumlah transfer ke daerah dan dana desa, hal ini akan menarik untuk kita gunakan dalam mencermati 100 tahun perjalanan ITB.
+++
Bagi hasil pajak, bersumber dari 3 kelompok, yakni pajak penghasilan yang bersumber dari orang pribadi (PPh pasal 21, pasal 25, dan pasal 29), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan cukai hasil tembakau.
Tahun 2019 kemarin, porsi masing-masing terhadap keseluruhan DBH pajak, adalah 52,2% atau Rp 22,1 triliun dari PPh (OP), 40,4% atau Rp 17,1 triliun dari PBB, lalu sisanya 7,4% atau 3,1 triliun dari cukai.
Nah, dari Rp 22,1 triliun dana bagi hasil yang bersumber dari pajak orang pribadi tersebut, 53,7% dialokasikan untuk DKI Jakarta yang penduduknya cuma 3,9% Nasional.
Jika diperluas hingga kawasan metropolitannya (termasuk Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), porsi DBH PPh (OP) yang disalurkan ke sana mencapai 58,3 persen.
Coba bandingkan dengan Bandung yang cuma memperoleh 0,2 persen. Seandainya diperluas hingga Bandung Raya pun (mencakup Cimahi dan Bandung Barat), porsinya hanya 0,4 persen. Tak sampai 7,5% dari perolehan DKI Jakarta.
+++
Saat ini, setiap orang pribadi yang belum menikah, baru memiliki kewajiban membayar pajak, jika pendapatan setahunnya lebih dari Rp 54 juta. Hingga jumlah tersebut dan di bawahnya, disebut pendapatan tidak kena pajak (PTKP).
Jika sudah berkeluarga, nilai PTKP lebih besar. Masing-masing anggotanya (istri dan anak) berhak senilai Rp 4,5 juta. Mereka yang berpenghasilan sekitar UMR (upah minimum regional) dipastikan tak punya kewajiban membayar.
Artinya, penghasilan rata-rata masyarakat Bandung dan sekitarnya jauh lebih kecil dibanding mereka yang terdaftar sebagai warga metropolitan Jakarta. Sebagian besar tentu tak menyumbangkan PPh yang menjadi bagian DBH di atas tadi.
Sebaliknya, warga ibu kota, meskipun tentu tidak semua dan hanya sebagian kecil saja, adalah kelompok yang berpenghasilan tinggi dan kaya raya. Sebab, dari kewajiban PPh pasal 21, 25, dan 29 yang mereka bayarkan, mampu menyumbang wilayah Jakarta dan sekitarnya Rp 12,9 triliun dari Rp 22,1 triliun yang dibagikan Negara kepada seluruh Indonesia.
+++
Masyarakat berpenghasilan tinggi, tentu memiliki pengeluaran rata-rata yang jauh lebih besar. Badan Pusat Statistik (BPS, SUSENAS 2018) merilis, 55-66% pengeluaran rata-rata dari 80% penduduk Indonesia, digunakan untuk makanan.
Sebagian besar sisanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari lain, seperti listrik, transportasi, dan kebutuhan rumah tangga. Pengeluaran rata-rata per kapita per bulan mereka bervariasi antara Rp 378.350 hingga Rp 1.220.650.
Kelompok 20% sisanya, memiliki pengeluaran rata-rata Rp 2.592.000 per kapita per bulan. Hanya sekitar 39% diantaranya yang digunakan untuk belanja makanan.
Tingginya pendapatan rata-rata masyarakat ibukota memungkinkan mereka membelanjakan uangnya untuk berbagai kemewahan yang tidak termasuk kebutuhan pokok.
Hal tersebut kemudian dapat menjelaskan mengapa Pendapatan Asli Daerah DKI Jakarta mencapai 30% Nasional. Atau jika dilihat dari nilai rata-rata per kapitanya pada tahun 2019 (Rp 4,8 juta), 12 kali provinsi Jawa Barat (Rp 400 ribu).
Semua itu kemudian menjelaskan, mengapa 91% dana nasabah seluruh Indonesia yang berjumlah Rp 6.207 triliun, berada di bank-bank Jakarta (Distribusi Simpanan Bank Umum, LPS, April 2020).
+++
Lalu apa hubungannya dengan ulang tahun ITB yang ke 100?
+++
Sebagian sumber daya manusia yang menjadi bagian untuk menghasilkan putaran uang ribuan triliun rupiah itu, adalah para alumni yang ditempa dan mengenyam pendidikan di kampus Ganesha.
Kampus itu merupakan pabrik yang menghasil komponen penting dari berbagai bisnis yang terpusat di Jakarta. Sebagian mereka berpenghasilan di atas rata-rata dan membayar pajak.
Dengan sistem seperti sekarang ini, mustahil Bandung mampu menawarkan sesuatu yang menarik bagi pengembangan inovasi yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Sebab, Jakarta menawarkan berbagai kelebihan dan keistimewaan yang tak mampu disediakan Bandung. Termasuk bagi alumni ITB.
Jika diumpamakan sebagai pabrik, kampus Ganesha memang menghasilkan produk-produk yang bernilai tambah tinggi tapi tak bisa dinikmati oleh mereka maupun kotanya. Sebagian lulusannya banyak yang bernilai istimewa di padang maupun kolam orang lain. Tapi bukan di ITB dan sekitarnya.
Hal ini mungkin bisa menjelaskan berbagai persoalan yang menjadi 'branding' ITB dan alumninya.
+++
Kita harus mengakui, Reformasi 1998 sesungguhnya gagal mewujudkan cita-citanya dalam mendistribusikan peluang dan kesempatan ke daerah-daerah. Bahkan ke Bandung dan Jawa Barat sendiri yang merupakan kawah candradimuka bagi berbagai sumber daya unggul yang banyak berkiprah dalam perkembangan dan inovasi ekonomi.
Kebijakan yang memberi keleluasaan bagi daerah untuk mengkapitalitasi haknya terhadap DBH yang bersumber dari pajak -- meskipun tetap menggunakan jenis dan besaran yang ada sekarang -- akan membuka peluang terhadap berbagai terobosan kreatif yang dapat dilakukan untuk menarik minat investasi.
Keleluasaan yang dimaksud, misalnya dalam mengalihkan hak penagihan kepada pemerintah daerah yang selanjutnya memiliki kewajiban melakukan 'transfer ke pusat' atas jatah mereka.
Saat ini, pemerintah daerah berada pada posisi pasif dan hanya menunggu 'jumlah jatah' yang ditetapkan pusat. Sehingga perjalanannya menjadi begitu panjang sebelum dapat dimanfaatkan.
Hal tersebut tentu akan berkebalikan ketika hak penagihan ada pada mereka. Teknologi yang tersedia hari ini telah memungkinkan dan menyebabkannya lebih mudah.
Apalagi jika jenis dan besaran pajak yang menjadi hak daerah lebih diperluas. Setidaknya terhadap cukai rokok. Saat ini, 98% dari ratusan triliun yang dikumpulkan, menjadi hak pemerintah pusat. Itu sebabnya, realisasi transfer daerah tahun 2019 atas cukai hasil tembakau, secara Nasional hanya berjumlah Rp 3,1 triliun.
Saat ini, bagi hasil atas pajak orang pribadi yang diberikan hanya 20 persen. Terdiri dari 8% untuk pemerintah provinsi dan 12% untuk pemerintah kabupaten/kota.
Seandainya pemerintah daerah juga memiliki kemewahan hak atas pajak penghasilan badan maupun PPN (2 komponen utama yang menghasilkan pendapatan negara hari ini), ruang gerak kreativitas dan inovasi pemerintah daerah bersama masyarakatnya -- tentunya termasuk ITB dan kampus lain di Bandung -- untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, akan semakin terbuka lebar.
Bagaimana pun, ketimpangan yang tergambar jelas dari DBH maupun jumlah tabungan masyarakat di atas, perlu dan harus dipecahkan dulu. Niscaya berbagai persoalan yang selama ini hanya berputar-putar dan jalan ditempat, akan berpeluang untuk kita pecahkan bersama. Termasuk inflasi 'brand' ITB yang sudah menjadi rahasia umum dan dapat kita rasakan bersama itu.
In harmonia progressio. Panjang umur ITB tercinta.
Mardhani, Jilal -- 3 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H