Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Akar Persoalan ITB dan Indonesia

3 Juli 2020   09:42 Diperbarui: 3 Juli 2020   10:50 1643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengeluaran dan Konsumsi Rata-rata Penduduk Indonesia, Maret 2018, SUSENAS, BPS

Kampus itu merupakan pabrik yang menghasil komponen penting dari berbagai bisnis yang terpusat di Jakarta. Sebagian mereka berpenghasilan di atas rata-rata dan membayar pajak.

Dengan sistem seperti sekarang ini, mustahil Bandung mampu menawarkan sesuatu yang menarik bagi pengembangan inovasi yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Sebab, Jakarta menawarkan berbagai kelebihan dan keistimewaan yang tak mampu disediakan Bandung. Termasuk bagi alumni ITB. 

Jika diumpamakan sebagai pabrik, kampus Ganesha memang menghasilkan produk-produk yang bernilai tambah tinggi tapi tak bisa dinikmati oleh mereka maupun kotanya. Sebagian lulusannya banyak yang bernilai istimewa di padang maupun kolam orang lain. Tapi bukan di ITB dan sekitarnya.

Hal ini mungkin bisa menjelaskan berbagai persoalan yang menjadi 'branding' ITB dan alumninya

+++

Kita harus mengakui, Reformasi 1998 sesungguhnya gagal mewujudkan cita-citanya dalam mendistribusikan peluang dan kesempatan ke daerah-daerah. Bahkan ke Bandung dan Jawa Barat sendiri yang merupakan kawah candradimuka bagi berbagai sumber daya unggul yang banyak berkiprah dalam perkembangan dan inovasi ekonomi.

Kebijakan yang memberi keleluasaan bagi daerah untuk mengkapitalitasi haknya terhadap DBH yang bersumber dari pajak -- meskipun tetap menggunakan jenis dan besaran yang ada sekarang -- akan membuka peluang terhadap berbagai terobosan kreatif yang dapat dilakukan untuk menarik minat investasi.

Keleluasaan yang dimaksud, misalnya dalam mengalihkan hak penagihan kepada pemerintah daerah yang selanjutnya memiliki kewajiban melakukan 'transfer ke pusat' atas jatah mereka.

Saat ini, pemerintah daerah berada pada posisi pasif dan hanya menunggu 'jumlah jatah' yang ditetapkan pusat. Sehingga perjalanannya menjadi begitu panjang sebelum dapat dimanfaatkan. 

Hal tersebut tentu akan berkebalikan ketika hak penagihan ada pada mereka. Teknologi yang tersedia hari ini telah memungkinkan dan menyebabkannya lebih mudah.

Apalagi jika jenis dan besaran pajak yang menjadi hak daerah lebih diperluas. Setidaknya terhadap cukai rokok. Saat ini, 98% dari ratusan triliun yang dikumpulkan, menjadi hak pemerintah pusat. Itu sebabnya, realisasi transfer daerah tahun 2019 atas cukai hasil tembakau, secara Nasional hanya berjumlah Rp 3,1 triliun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun