Jika diperluas hingga kawasan metropolitannya (termasuk Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), porsi DBH PPh (OP) yang disalurkan ke sana mencapai 58,3 persen.
Coba bandingkan dengan Bandung yang cuma memperoleh 0,2 persen. Seandainya diperluas hingga Bandung Raya pun (mencakup Cimahi dan Bandung Barat), porsinya hanya 0,4 persen. Tak sampai 7,5% dari perolehan DKI Jakarta.
+++
Saat ini, setiap orang pribadi yang belum menikah, baru memiliki kewajiban membayar pajak, jika pendapatan setahunnya lebih dari Rp 54 juta. Hingga jumlah tersebut dan di bawahnya, disebut pendapatan tidak kena pajak (PTKP).
Jika sudah berkeluarga, nilai PTKP lebih besar. Masing-masing anggotanya (istri dan anak) berhak senilai Rp 4,5 juta. Mereka yang berpenghasilan sekitar UMR (upah minimum regional) dipastikan tak punya kewajiban membayar.
Artinya, penghasilan rata-rata masyarakat Bandung dan sekitarnya jauh lebih kecil dibanding mereka yang terdaftar sebagai warga metropolitan Jakarta. Sebagian besar tentu tak menyumbangkan PPh yang menjadi bagian DBH di atas tadi.
Sebaliknya, warga ibu kota, meskipun tentu tidak semua dan hanya sebagian kecil saja, adalah kelompok yang berpenghasilan tinggi dan kaya raya. Sebab, dari kewajiban PPh pasal 21, 25, dan 29 yang mereka bayarkan, mampu menyumbang wilayah Jakarta dan sekitarnya Rp 12,9 triliun dari Rp 22,1 triliun yang dibagikan Negara kepada seluruh Indonesia.
+++
Masyarakat berpenghasilan tinggi, tentu memiliki pengeluaran rata-rata yang jauh lebih besar. Badan Pusat Statistik (BPS, SUSENAS 2018) merilis, 55-66% pengeluaran rata-rata dari 80% penduduk Indonesia, digunakan untuk makanan.
Sebagian besar sisanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari lain, seperti listrik, transportasi, dan kebutuhan rumah tangga. Pengeluaran rata-rata per kapita per bulan mereka bervariasi antara Rp 378.350 hingga Rp 1.220.650.
Kelompok 20% sisanya, memiliki pengeluaran rata-rata Rp 2.592.000 per kapita per bulan. Hanya sekitar 39% diantaranya yang digunakan untuk belanja makanan.