Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Covid-19 dan Revolusi Masyarakat Sipil

31 Maret 2020   13:41 Diperbarui: 31 Maret 2020   13:50 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screen shot CNN 31-3-2020 dg insert foto Presiden Brazil, Jilal Mardhani

Presiden Brazil, Jair Bolsonaro, resah seperti kepala pemerintahan negara-negara di seluruh dunia. Jangankan Brazil yang belum tergolong maju dan berkecukupan -- kondisinya hampir sama dengan Indonesia -- negara-negara Eropa yang perekonomian dan fasilitas kesehatannya jauh lebih maju pun dilanda panik.

Tapi Bolsonaro tak belajar dari negara-negara yang kini gagap dan terkaget-kaget. Dalam menghadapi ledakan covid-19 setelah sebelumnya meremehkan. Bahkan cenderung mengabaikan. Seperti yang terjadi di Indonesia.

Sebagaimana diberitakan CNN International beberapa saat lalu, Jair Bolsonaro berulang kali menyatakan covid-19 tak ubahnya flu ringan semata. Dia juga tetap berkeras mempromosikan agar aktivitas perekonomian di negerinya tetap berlangsung seperti biasa. Katanya, 'virus ekonomi' jauh lebih mematikan dibanding 'virus corona'.

+++

Seperti banyak kepala negara dunia lain yang rajin menggunakan media sosial untuk mengabarkan kebijakan maupun langkah-langkah yang sedang mereka lakukan, Jair Bolsonaro juga mempublikasikan sikap dan pandangannya mengenai epidemi tersebut lewat akun twitter.

Tapi pengelola layanan 'microblogging and social networking' yang berkantor pusat di San Fransisco (USA) itu, menganggap cuitan-cuitan Jair Bolsonaro bertentangan dengan kebijakan mereka. Di antaranya adalah mematuhi protokol lembaga-lembaga internasional yang diakui dunia. Termasuk WHO (World Health Organization).

Sejak menetapkan covid-19 sebagai wabah global (pandemi), organisasi yang terafiliasi dengan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan bermarkas di Jenewa (Swiss) tersebut, menganjurkan dengan tegas sejumlah upaya yang perlu dilakukan negara-negara di seluruh dunia dalam rangka memutus rantai penularan. Salah satunya adalah 'social distancing', Juga menghindar dari kerumunan. Maksudnya tentu untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kontak fisik antar manusia.

Mereka yang sudah tertular tak selamanya langsung menunjukkan gejala maupun tanda-tanda fisik. Sementara ini, virus yang singgah pada tubuh manusia, memiliki masa inkubasi antara 5-14 hari. Seseorang yang telah mengidap virus tersebut, sangat mungkin terlihat sehat dan tidak mengetahui dirinya telah menjadi 'carrier'. Dalam rangka mengurangi resiko penularan dari mereka itulah, kebijakan 'social distancing' dan 'menghindari kerumunan' yang disampaikan WHO tersebut.

Alih-alih mendukung himbauan organisasi kesehatan dunia itu, Bolsonaro malah memamerkan sikap 'menganggap enteng'-nya. Dia malah mengunggah kalimat maupun foto yang berada di tengah kerumunan rakyatnya. Sambil mempromosikan untuk tetap menjaga denyut perekonomian mereka.

Maka Twitter Inc yang akhir tahun lalu tecatat memiliki 145 juta pengguna aktif per hari tersebut, menggunakan 'kekuasaan'-nya untuk menurunkan atau mencopot cuitan-cuitan 'penguasa' Brazil terkait covid-19 yang mereka anggap tak sesuai dengan kebijakannya.

+++

Kebijakan dan sikap perusahaan microblogging yang berdiri tahun 2006 itu, menunjukkan perkembangan pesat sekaligus lompatan besar upaya memberdayakan masyarakat sipil di dunia. Pemerintahan negara manapun, tak lagi bersifat absolut untuk mengatur dan melakukan sekehendak hati penguasanya.

Di satu sisi, kemajuan teknologi yang mereka hadirkan, memang memberi kemudahan dan keleluasaan siapa saja -- termasuk penguasa pemerintahan -- untuk memanfaatkan layanan yang disediakan. Tapi mereka juga mengembangkan tata-kelola (governance) untuk menghindari setiap peluang yang memungkinkan pihak-pihak tertentu memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan sempit. Bukan demi kebaikan 'umat manusia'

Teknologi internet, bigdata, blockchain, hingga kecerdasan buatan memang sedang berevolusi menggugat kekuasaan pemerintahan negara-negara seluruh dunia yang cenderung lembam terhadap 'kemewahan' masa lalunya. Mereka yang akhir-akhir ini semakin tak mampu membuktikan kodratnya sebagai 'pelayan masyarakat'.

Saya melihat covid-19 ini merupakan bagian dari gejolak semesta untuk menemukan keseimbangan barunya. Termasuk politik dan makna kekuasaan pemerintah. Sebab masyarakatlah yang membutuhkan pelayanan. Bukan pemerintah yang katanya ingin melayani tapi cenderung zalim atas nama 'pelayanan' yang definisikannya sendiri.

Mudah-mudahan kita diberi umur yang cukup untuk menyaksikannya.

Mardhani, Jilal
31 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun