Dalam minggu yang berakhir hari ini, tepatnya sejak Rabu lalu, saya mendapat kabar 3 rekan yang saya kenal baik, dan juga mengenal saya secara pribadi, berpulang ke Rahmatullah terkait Covid-19.
Pertama, almarhum mas Amir Sambodo pada tanggal 24 Maret 2020. Kemudian, almarhum Ahmad Djuhara, Ketua IAI, pada tanggal 27 Maret 2020. Terakhir siang tadi, almarhum bang Haposan Panjaitan, tanggal 29 Maret 2020 ini.
Saya tak mengetahui persis, apakah mereka menjadi bagian dari daftar 114 korban meninggal dunia akibat infeksi virus-corona yang resmi dicantumkan pada website Kementerian Kesehatan.
Begitu pula informasi yang disajikan portal Kawal Covid 2019 yang sebetulnya jauh lebih informatif. Di sana memang disampaikan informasi sebagian besar pasien yang sedang dirawat. Tapi kedalaman data yang disediakan tak memungkinkan kita untuk mengidentifikasi lebih jauh.
Siang tadi, tentu saya terkejut ketika mendapatkan kabar almarhum Haposan Panjaitan meninggal dunia. Seperti terhadap kedua rekan lain yang mendahului sebelumnya -- mas Amir Sambodo maupun mas Ahmad Djuhara -- saya menuliskan sejumlah catatan untuk mengenang almarhum.
Setelah selesai dan mempublikasikannya di media sosial pribadi, baru saya sadari jika dalam waktu kurang dari sepekan ini, telah 3 teman yang saya kenal dan mengenal saya, semestinya masuk dalam daftar korban yang meninggal dunia Covid-19 di Indonesia.
Siang tadi, data statistiknya belum diperbaharu. Masih tercatat sebayak 103 orang yang meninggal dunia. Malam ini, jumlahnya menjadi 114. Artinya, jika 3 rekan saya tersebut termasuk di dalam catatan resmi itu, sebanyak 2,63% (3/114) korban meninggal dunia Covid-19 di Indonesia kebetulan saya kenal.
Tapi persentasi kebetulan itu sungguh mengusik. Sebab, jika dilakukan ekstrapolasi sederhana terhadap jumlah penduduk Indonesia, seolah 7.129.036 orang diantaranya, saya kenal sekaligus mengenal saya pribadi. Angka tersebut diperoleh dari 2,63% dikalikan 271.066.000 jiwa penduduk Indonesia yang diproyeksikan pada tahun 2020 ini.
Tentu mustahil jika saya mengenal dan dikenal oleh 7.129.036 penduduk Indonesia. Bahkan mengenal 5 ribu orang saja -- mulai dari sanak keluarga, teman-teman sejak kecil hingga kolega hari ini -- rasanya tak mungkin.
Itulah sebabnya, jumlah pertemanan (friends) pada setiap akun di media sosial facebook, dibatasi maksimal hanya 5 ribu. Hampir dapat dipastikan, seseorang yang memiliki 5.000 teman di facebook, kemungkinan besar tak mengenal seluruhnya secara personal.
+++
Kembali pada angka prosentasi teman-teman yang telah berpulang dengan dugaan terkait Covid-19 di atas tadi, besar kemungkinan jumlah kasus yang positif tertular SARS-CoV-2 di Indonesia, jauh lebih besar dibandingkan angka 1.285 yang dilaporkan sore tadi.
Berbagai kalangan memang sering menyatakan bahwa statistik yang disajikan pemerintah tersebut, kemungkinan hanya menampilkan 'puncak gunung es' semata. Hal tersebut terkait dengan kemampuan prasarana dan sarana kesehatan yang kita miliki untuk mengindentifikasi angka yang sebenarnya.
Secara sederhana, saya tak mampu menghindar dari dugaan sebagaimana yang berikut ini.
Jika kemampuan saya untuk mengenal dan dikenal teman maksimal hanya 5 ribu orang -- sementara 3 diantaranya telah meninggal dunia dengan dugaan terkait Covid-19 -- apakah tingkat kematian yang sama berlaku bagi 271.061.000 penduduk Indonesia yang diproyeksikan tahun 2020 ini
Dengan kata lain, terbuka pemikiran tentang jumlah yang meninggal dunia dan diduga terkait Covid-19 hari ini, sesungguhnya mencapai 162.637 jiwa. Angka tersebut diperoleh dengan membagi 271.061.000 penduduk Indonesia yang diproyeksikan tahun 2020, dengan asumsi 5 ribu teman yang saya kenal dan mengenal saya, kemudian dikalikan angka kematian 3 orang untuk setiap 5 ribu teman tadi.
Tentu saya tak ingin mempercayai logika statistik yang terlalu sederhana itu.
Tapi begitu pun, jika saya hanya mempercayai kemungkinannya pada angka 10 persen, bukankah jumlah kematian akibat Covid-19 tersebut berarti bisa mencapai 16.264 jiwa?
Kemungkinan 10% tersebut dengan mempertimbangkan penduduk Jabodetabek saat ini sebanyak 30 juta jiwa dan hampir seluruh 5 ribu teman saya berada di sana.
+++
Seandainya dugaan tersebut benar, apakah terdapat 16.150 kematian yang tak tercatat di Jabodetabek saat ini?
Tentu saja tidak.
Angka kematian sebanyak itu, tentu mudah dilacak para kepala daerah di kawasan Jabodetabek dan -- jika benar -- semestinya telah menjadi berita yang menghebohkan saat ini.
Akan tetapi, mungkinkah jumlah kematian Covid-19 akan meningkat ke angka tersebut di kemudian hari, dari masyarakat yang tak saya kenal maupun mengenal saya?
Saya sungguh tak mengharapkannya. Tapi secara statistik, bukan tidak mungkin terjadi.
+++
Hal yang pasti, perbandingan tingkat kematian berdasarkan mereka yang saya kenal tersebut, menguatkan dugaan bahwa angka-angka statistik korban Covid-19 hari ini sebagai 'puncak gunung es' semata. Jika tes massal yang memungkinkan hasil 'true positive' sungguh-sungguh mampu kita lakukan, kemungkinan jumlah yang terpapar saat ini, berpuluh bahkan beratus kali lipat dari angka 1.285 yang tercatat sore tadi. Perkiraan tersebut didasari angka CFR (case fatality rate) yang terjadi di Indonesia.
Kita tentu berharap, angka CFR sebesar 8,87% hari ini, bukan yang sebenarnya. Tapi jika CFR Indonesia berada pada kisaran yang dialami China (4%), jumlah kasus dengan tingkat kematian seperti yang diperkirakan di atas, bisa mencapai kisaran 400 ribu orang.
Mungkinkah?
Begini,
Pada tanggal 14 Maret 2020 lalu -- 2 minggu sebelum hari ini -- jumlah kasus di seluruh dunia masih tercatat 145.686 dengan jumlah kematian mencapai 5.436 jiwa.
Per tanggal 28 Maret kemarin -- sesuai catatan yang disajikan worldometers/info -- jumlah kasusnya telah meningkat menjadi 4,5 kali lipatnya, atau 663.079 kasus.
Jumlah kematiannya, malah hampir 6 kali lipatnya. Kemarin tercatat telah menelan korban meninggal dunia 30.857 jiwa.
Menyikapi fakta dunia itu, sebaiknya memang kita tak perlu buru-buru menafikan. Sebaliknya, sangatlah patut jika kita bersama-sama lebih bijaksana dan meningkatkan kehati-hatian dalam rangka memotong rantai penularannya.
Jagalah diri masing-masing dengan mematuhi seluruh himbauan yang disampaikan pemerintah. Setidaknya, dengan berupaya mengurangi resiko tertular, kita sudah mendukung kerja keras yang sedang mereka lakukan untuk berupaya mengatasi musibah ini. Betapa pun lamban dan keliru langkah awal yang sepatutnya dulu dilakukan.
Pesan utama dari tulisan ini adalah untuk mengingatkan kita semua, betapa besar kemungkinan bencana yang bakal kita hadapi. Semua itu harus kita hadapi bersama. Tak ada jalan yang lain.
Mardhani, Jilal
29 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H