Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Covid-19, Selamat Jalan Amir Sambodo

25 Maret 2020   02:13 Diperbarui: 25 Maret 2020   02:10 2576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RIP Amr Sambodo, Dok. Jilal Mardhani

Selasa pagi kemarin, seorang kawan berkirim pesan di grup media sosial alumni, "Amir Sambodo meninggal dunia".

Tanggapan pertama yang muncul, "Sakit apa?"

Dijawab oleh rekan lain yang mungkin telah mengetahui kabar itu, "Covid."

+++

Saya kenal mas Amir, juga kembarannya Umar, saat masih duduk di bangku SMA. Indekost mereka berdua yang saat itu sudah kuliah di ITB, terletak di belakang sekolah saya. Teman sekelas sekaligus sahabat saya, juga mondok di tempat yang sama. Sehabis jam pelajaran, sebelum pulang, saya kerap mampir di sana.

Perjumpaan akrab kami yang terakhir berlangsung sekitar 2 tahun lalu. Mas Amir mampir di gerai Circle K yang terletak di Jl. Pakubuwono, Jakarta. Saya kebetulan berbelanja di sana juga. Sambil menunggu putri bungsu yang sedang latihan di lapangan olahraga Jl. Patiunus.

Kami kemudian bersenda-gurau sambil bertukar cerita. Kurang lebih 15 menit. Sementara keluarganya menunggu di kendaraan yang terparkir di halaman depan. Setelah itu, untuk beberapa waktu, saya dan mas Amir sering berbagi informasi dan menanyakan kabar satu dengan yang lain.

Kesibukan masing-masing membuat komunikasi kami terhenti. Walaupun sesekali, dalam sejumlah perhelatan, masih sempat bertemu. Dari kejauhan, setidaknya saya dan mas Amir masih sempat saling melambaikan tangan.

Selasa pagi kemarin, beliau telah mendahului kita semua. Menyusul puluhan korban lain dari Indonesia yang diduga terjangkit wabah virus SARS-CoV-2 yang sedang mendunia.

+++

Covid-19 (Corona Virus Disease 2019) ini memang tak pandang bulu. Cara kerjanya misterius. Seluruh manusia di muka bumi ini dimusuhinya. Jabatan dan harta tak mampu menjadi penawar. 

Bahkan mereka yang berkecimpung di dunia kesehatan dan mendedikasikan diri untuk menolong korbannya. Jika lengah, dia segera menyerang tanpa ampun. Koran Tempo hari ini memberitakan 7 dokter yang telah meninggal dunia. Juga sejumlah perawat.

Tadi malam beredar kabar salah seorang eksekutif dari perusahaan konsultan keuangan terkemuka yang menjadi korban Covid-19 ke sekian.

Sekitar 2 minggu yang lalu, dia merasa tak sehat dan memutuskan bekerja dari rumah. Kemudian memeriksakan diri ke ahli THT di salah satu rumah sakit. Seminggu kemudian, karena merasa belum sembuh, dikunjunginya dokter ahli di rumah sakit yang lain.

Empat hari setelahnya, dia merasa semakin tak nyaman. Lalu mengunjungi ahli penyakit dalam di rumah sakit lainnya lagi. Hasil pemeriksaan menunjukkan ada bercak putih di paru-parunya. Maka dirujuklah ke rumah sakit yang telah ditetapkan untuk menangani Covid-19. Kemudian didiagnosa pneumonia.

Bercak putih di paru-parunya semakin banyak. Batuk-batuk hingga mengeluarkan bercak darah. Tapi untuk mendapatkan layanan oksigen-pun tak mudah. Batuknya semakin intens dan dadanya terasa sesak. Akhirnya dipasang ventilator. Tapi dia tak mampu bertahan dan akhirnya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa pada sore 2 hari yang lalu.

+++

Sebelum berita kepergian mas Amir Sambodo, sejumlah media mengabarkan berita duka yang lain. Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Ekektronika (ILMATE), Harjanto, wafat kemarin malam sekitar jam 21:30.

Beberapa saat setelah kabar mas Amir Sambodo meninggal tadi, beredar foto seremoni yang menunjukkan kehadirannya bersama almarhum Harjanto pada salah satu perhelatan beberapa waktu silam. 

Selain mereka berdua, di sana tampak pula Ketua Umum GAIKINDO (Yohannes Nangoi), Menteri Perindustrian (Agus Gumiwang), Direktur Jenderal Perhubungan Darat (Budi Setiyadi), dan Ketua Penyelenggara GIICOMVEC 2020 (Rizwan Alamsjah).

+++

Siapa pun memang tak boleh lengah. Meski sekejap. Kondisi tubuh harus terus-menerus terjaga. Jangan sampai lelah berlebihan yang menyebabkan daya tahan kita menurun. Sebab, hal itu akan meningkatkan resiko tertular. Apalagi jika sudah memiliki penyakit bawaan.

Himbauan paling populer dan diyakini paling ampuh saat ini, adalah membatasi interaksi. Sedapat mungkin tak bersentuhan dan diupayakan pada jarak aman (1-2 meter) dengan yang lain. Terutama agar tak terkena cairan yang muncrat dari mulut. Sebab salah satu penyebaran virus yang paling hebat ditengarai dari sana.

Covid-19 ini memang telah merampok segalanya dari kehidupan kita. Keamanan, kenyamanan, kegembiraan, keleluasaan, hingga kemerdekaan yang sesungguhnya. Kita menjadi was-was terhadap segala hal. Bahkan untuk menjalankan ibadah sekali pun.

Sedemikian egoisnya Covid-19 sehingga kita harus menyingkirkan perhatian dari hal lain yang sesungguhnya tak kalah penting.

+++

Tapi nun jauh di utara sana, sebuah negara komunis yang penduduknya paling banyak di dunia -- tahun ini tercatat sebesar 1,4 milyar -- telah lebih dulu mengarungi 'neraka' itu.

Akhir tahun kemarin, 31-12-2019, pemerintah daerah Wuhan, Cina, melaporkan sejumlah kasus pneumonia yang belum diketahui penyebabnya. Para peneliti mereka kemudian mengidentifikasi kaitannya dengan virus yang kemudian hari disebut sebagai SARS-CoV-2.

Pemerintah Cina kemudian melaporkan kasus meninggal dunia pertama yang diakibatkan oleh virus tersebut pada tanggal 11 Januari 2020. Korbannya adalah seorang pria berusia 61 tahun yang merupakan pelanggan salah satu pasar di sana. Tapi yang bersangkutan juga tercatat menderita tumor di perut dan sakit liver yang kronis.

Tanggal 20 Januari, WHO mencatat sejumlah kasus pertama yang merebak di luar Cina. Yakni, Jepang, Korea, dan Thailand. Sehari kemudian Amerika juga mencatatkan kasus pertamanya di Washington. Korban diketahui baru kembali dari Wuhan, Cina.

Tanggal 23 Januari, atau 23 hari sejak kasus pertama, pemerintah Cina mengeluarkan kebijakan menutup kota Wuhan yang berpenduduk 11 juta jiwa. 

Kebijakan tersebut kemudian berlanjut ke sejumlah kota lain di sekitarnya, yakni Huanggang dan Ezhou. Lalu di 11 kota yang terletak di propinsi Hubei, kawasan kedua yang terbanyak mencatatkan kasus Covid-19.

Kebijakan yang setidaknya mempengaruhi kehidupan 57 juta penduduk kota-kota yang di karantina itu, akhirnya membuahkan hasil. Jumlah kasus baru yang dikonfirmasi positif terjangkit mulai melambat sejalan dengan peningkatan pasien yang dinyatakan sembuh. 

Kondisi mereka pun berangsung pulih sehingga merencanakan untuk membuka kebijakan 'lockdown' di Wuhan pada tanggal 8 April yang akan datang. Sejumlah kota lain seperti yang terdapat di Hubei, telah lebih dulu mereka longgarkan.

Kebijakan ketat yang tentunya menyakitkan bagi warga kota-kota yang di lockdown. Hingga saat ini, jumlah kasus di Cina tercatat sekitar 81 ribu kasus. Hingga tanggal 23 Maret kemarin, korban meninggal dunia mencapai 3.277 jiwa. Sementara itu, lebih dari 90% yang sudah dinyatakan pulih.

+++

Kebijakan penutupan wilayah dan larangan berpergian bagi penghuninya -- seperti yang dilakukan pemerintahan Cina tersebut -- memang bukan pilihan yang mudah. 

Tapi keraguan berbagai pemerintah di negara-negara lain untuk mengambil kebijakan yang sama, telah menyebabkan peningkatan korban yang jauh lebih dramatis dibanding Cina.

Jumlah korban meninggal dunia yang tercatat di Italy hingga kemarin (6.077 kasus), sudah hampir 2 kali lipat angka yang dicatatkan Cina. Spanyol saja mencatat 2.331 kasus atau lebih dari 70 persen Cina. Iran yang baru mencatatkan kasus pertama tanggal 19 Februari lalu, sudah membukukan 1.812 korban meninggal atau 55% dari Cina.

Akibat perkembangan kasus di berbagai negara tersebut berkembang semakin tak terkendali, kini satu per satu mereka menerapkan kebijakan lockdown. Mula-mula Italia (10-3-2020, 39 hari sejak kasus pertama). Kemudian disusul Spanyol (14-3-2020, 43 hari setelah kasus pertama). Lalu Perancis (16-3-2020, 52 hari sejak kasus pertama). Mulai kemarin Inggris pun menerapkannya (23-3-2020, 52 hari sejak kasus pertama).

Negara tetangga kita, Malaysia dan Filipina juga sudah menerapkan kebijakan serupa. Singapore sejak 2 korban meninggal 3 hari lalu, juga memutuskan menutup negerinya dari pelancong jangka pendek.

Bagaimana pun, keputusan lockdown yang sudah diambil 16 negara di dunia itu -- meskipun jauh terlambat dibanding langkah yang dilakukan Cina sebelumnya -- tidak terlepas dari statistik jumlah korban yang tertular hingga meninggal dunia di negara masing-masing.

+++

Korban di Indonesia juga terus berjatuhan. Saya lebih cenderung memperhatikan jumlah korban meninggal dunia yang diduga karena Covid-19 ini. Sebab, angka pertumbuhan kasus positif kemungkinan tidak menggambarkan yang sebenarnya. Sebab sumberdaya dan fasilitas kita memang terbatas.

Mas Amir, selamat jalan. Beristirahatlah dengan tenang. Semoga salah dan khilafmu diampuni Allah SWT, dan amal ibadahmu diterima Nya. Semoga kami semua -- terutama keluarga yang kau tinggalkan -- diberi kekuatan untuk menghadapi segala cobaan ini.

Mardhani, Jilal
25 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun