Pada Sidang Kabinet Terbatas kemarin, Joko Widodo menyatakan kecewa soal tol laut. Katanya biaya logistik tetap mahal. Biaya angkut antar daerah yang harus dikeluarkan -- seperti dari Jakarta ke Padang, Medan, Banjarmasin, atau Makasar -- malah lebih mahal dibanding ke luar negeri. Katakanlah dari Jakarta ke Singapore, Hong Kong, Bangkok, atau Shanghai.
Kita tentu bingung.
Sejak terpilih untuk periode kedua kalinya, Joko Widodo semakin sering kecewa pada diri sendiri. Sebab dialah yang memimpin seluruh jajaran pemerintahan Republik Indonesia ini.
+++
Berita 'Presiden kecewa' seolah masuk agenda regular 'kehumasan' beliau. Di sektor perhubungan, sebelumnya dia kecewa terhadap urusan impor barang terkait wabah virus corona yang sedang menjangkiti dunia.
Joko Widodo juga pernah kecewa soal impor gas. Terhadap pembangunan kilang minyak oleh Pertamina yang lamban pun begitu. Kekecewaan lain yang pernah terlontar dan menjadi bahan berita media massa, adalah soal konflik di tempat peribadatan. Diutarakannya sekitar 3 minggu lalu. Sambil berpesan kepada Menkopolhukam dan Kapolri untuk bertindak tegas.
+++
Menyampaikan kekecewaan terbuka tentang sesuatu yang berada di wilayah otoritas kepemimpinan sendiri, adalah pertanda gelisah yang tak biasa. Sepertinya ada keraguan yang begitu besar terhadap jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Mungkin saja mengarah pada keputus asaan.
Kita sering mendengar, tentang argumentasi normatif, bahwa pemilihan dan pengangkatan pejabat yang membantunya -- paling tidak pada jajaran menteri maupun yang setingkat -- sebagai hak prerogatif beliau.
Tapi mengapa seorang Presiden terlihat begitu sulit meminta pertanggung jawaban mereka yang dipilihnya, diangkatnya, dan ditugaskannya pada bidang-bidang terkait?
Padahal, bila perlu, dia bisa mendaprat hingga memecat mereka yang tak becus. Baik gara-gara tak paham kewenangan, tugas, maupun tanggung jawab yang sudah dilimpahkan. Maupun karena tak mampu mengindahkan visinya.
Menyampaikan secara terbuka kekecewaan terhadap jajaran yang dipimpin sendiri, pada wilayah kewenangan yang sepenuhnya di bawah kendalinya, mau tidak mau mengundang sejumlah kecurigaan.
Pertama, seperti yang disampaikan di atas tadi, apakah benar kegelisahannya sudah begitu parah hingga mengarah putus asa?
Sebab, ungkapan tersebut, sedikit banyak akan mempermalukan pimpinan atau pejabat teras yang terkait. Mungkin mereka sudah bekerja mati-matian. Tapi tetap tak berhasil. Bukan tak mungkin pula jika ada alasan berbeda selain soal kebecusan tadi. Hal yang bisa diidentifikasi kalau dia bersedia dan mampu 'mengaudit' anak buahnya. Terkait pemahaman kewenangan, tugas, maupun tanggung jawab yang sudah diserahkan. Setelah itu, baru bisa dimaklumi apakah yang bersangkutan becus atau tidak.
Tapi mungkin pula karena syarat cukup dan perlunya tak pernah beliau penuhi. Atau perintah yang disampaikan bertentangan dengan kewenangan, tugas, maupun tanggung jawab lain yang diberikan. Baik terhadap pejabat yang bersangkutan maupun kepada instansi yang lain. Hal yang menyebabkan mereka yang di bawah bingung sendiri.
Hanya Jokowi yang tahu.
+++
Apakah mungkin Jokowi ingin 'mengadu' kepada sosok-sosok berpengaruh yang mrmpengaruhinya?
Bahwa orang-orang yang dititipkan untuk dipilih dan diangkatnya, tak kompeten. Atau saran -- tentu bukan perintah karena beliau adalah pemimpin tertinggi -- yang diturutinya jadi masalah. Artinya, dia kecewa karena tak berdaya.
Kalau demikian, berarti Joko Widodo tak merdeka. Mungkin ada definisi baru tentang 'prerogatif' yang belum dimaklumi khalayak luas.
Persoalannya, mungkinkah kekuatan-kekuatan hebat itu bersimpati terhadap kekecewaan terbuka yang diutarakan Joko Widodo?
+++
Tapi jangan-jangan Joko Widodo ingin 'curcol' kepada masyarakat luas, terutama mereka yang telah memilihnya kembali kemarin?
Jika demikian, patutlah diduga jika beliau frustasi. Sebab cukup banyak di antara mereka yang semakin tersingkir dari perhatiannya. Seperti masyarakat yang menentang pembiaran yang dilakukannya, ketika kebijakan yang disinyalir melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi, menggelinding kemarin.
Belum lagi pendukung yang mati-matian membelanya tanpa berharap balasan apa pun, lalu terkejut dan kecewa ketika Joko Widodo merangkul lawan sengitnya, Prabowo Subianto. Bahkan membagi-bagikan sejumlah kursi kabinet, kepada sosok-sosok yang dianggap berseberangan, dengan jerih payah beberapa menteri yang pernah membantunya, di era kepemimpinan pertama kemarin.
Semakin sulit dipungkiri, kalau merebak dugaan dimana-mana, soal keberpihakan Jokowi terhadap masyarakat hari ini yang semakin mencerminkan gejala siang dan malam dibanding periode sebelumnya.
Setelah 'drama' KPK yang terang benderang memperlihatkan kata dan lakunya yang tak sama. Joko Widodo mempertontonkan 'neo feodalisme' dalam upaya memggulirkan omnibus law. Masyarakat luas jelas-jelas tak diajaknya serta. Dia justru sibuk berembug dengan segelintir kalangan pengusaha dan politikus. Hal yang nyatanya kemudian melahirkan usulan penuh kontroversi dan ditentang khalayak ramai.
Maka, mengadu kecewa kepada publik yang justru banyak merasakan kekecewaan pada sepak terjangnya pasca terpilih lagi kemarin, adalah pendekatan yang banyak kelirunya dibanding manfaat.
+++
Kembali soal 'kekecewaan mutakhir' berkaitan tol laut, Joko Widodo nyatanya mempertahankan kedua menteri yang mestinya paling bertanggung jawab. Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Maritim dan Investasi. Lalu Budi Karya Sumadi pada posisi Menteri Perhubungan.
Apakah catatan keberhasilan mereka berdua selama periode pertama kemarin -- jika ada -- beliau anggap bisa mengabaikan kegagalan keduanya dalam hal tol laut?
Jika memang demikian, mengapa tak ditegur dan diminta segera berbenah diri saja?
Tentu lebih baik dibanding mengumbar kekecewaan kepada publik yang juga mulai kecewa kepada kepemimpinannya.
+++
Setiap pemimpin mestinya memiliki kemampuan mengevaluasi atau mengaudit kinerja mereka yang dipilih, diangkat, dan diminta membantu.
Kemampuan itu memang berkait erat dengan keluasan wawasan yang dimiliki. Dibalik gagasan yang baik, memang selalu dibutuhkan wawasan yang luas. Hal yang mungkin terjadi setelah kita memiliki penahaman komprehensif terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi maupun dipengaruhinya.
Sebaliknya, gagasan mungkin terbayangkan ciamik semata karena imaji-imaji permukaannya saja. Tanpa kesadaran terhadap implikasi yang bakal berlangsung pada faktor-faktor yang mempengaruhi dan dipengaruhinya.
Setelah 1 tahun menduduki kursi Presiden (4 November 2015), Joko Widodo meluncurkan program tol laut. Dia menjanjikan penurunan biaya logistik hingga 30 persen. Kala itu, berbagai kalangan masyarakat berdecak kagum. Gagasan itu seakan jawaban tentang poros maritim yg dikumandangkannya. Juga harapan untuk mengurangi disparitas wilayah di Nusantara.
Sayangnya, gagasan itu terbukti tak dipertimbangan secara komprehensif dan terintegrasi. Terhadap setiap unsur yang mempengaruhi maupun dipengaruhinya.
Hal itu memang sering berlangsung pada sesuatu yang bersifat impulsif. Kosmetika. Bukan 'inner beauty'.
Mardhani, Jilal
7 Maret 2020
Catatan:
Tulisan ini telah dipublikasikan melalui akun facebook saya dan media online Cek-n-Ricek
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H