— untuk ITB, seluruh perguruan tinggi dan pusat-pusat pengembangan cerdik-cendikia, serta masyarakat jurnalistik Indonesia.
Saya kerap meradang, setiap kali suatu media jurnalistik "sungguhan", dituding berpihak dengan "sadar dan sengaja", ketika ada yang meragukan obyektifitas maupun akurasi berita yang mereka sajikan.
Sebelum menguraikan lebih lanjut, sebaiknya perlu dijelaskan terlebih dahulu, tentang kata-kata yang diberi tanda petik di atas.
Berpihak dengan "sadar dan sengaja" adalah tuduhan yang sangat serius. Hukumnya, haram untuk dilakukan oleh media jurnalistik mana pun. Sama sekali tak diperkenankan. Keraguan terhadap obyektifitas maupun akurasi pemberitaan, boleh bahkan semestinya. Semua itu mungkin saja terjadi. Disebabkan oleh kecerobohan, kelalaian, atau bahkan ketidak-sempurnaan pengetahuan mereka. Hal yang manusiawi dan dapat dimaklumi. Meski pun tak menggugurkan tanggung jawab yang bersangkutan.
Seperti menyikapi suatu pembunuhan. Hukuman yang dijatuhkan jika hal itu dilakukan dengan sadar dan sengaja, sama sekali tidak bisa dipadankan dengan kejadian yang berlangsung karena khilaf dan tak disadari. Pada yang terakhir, terdapat ruang pembelajaran. Agar berlangsung proses evaluasi dan upaya penyempurnaan, sehingga kejadian yang sama tak berulang kembali.
Siapapun pasti berang, jika ada yang dengan penuh kesadaran dan sengaja, melakukan kesalahan yang merugikan pihak lain. Bahkan, dalam hal pemberitaan yang disajikan media jurnalistik, dampaknya akan berlangsung terstruktur, sistematis, dan masif terhadap masyarakat luas.
Tapi kemarahan yang sama, pantas pula ditujukan kepada mereka yang semena-mena menuding, obyektifitas maupun akurasi berita yang diragukannya, tersebab oleh sesuatu yang memang sengaja dan dengan sadar dilakukan oleh media jurnalistik yang mengabarkan. Tudingan yang disampaikan tanpa dasar dan bukti meyakinkan, setara dengan "pembunuhan yang dilakukan dengan sadar dan sengaja". Hal yang sama sekali tak bisa dibenarkan.
Maka saya dan kita semua, patut kecewa terhadap sikap picik dan culas yang demikian. Sebab daya rusaknya memang struktural, berlangsung sistematik, dan terjadi secara masif.
+++
Soal jurnalistik "sungguhan", memang cukup pelik menjelaskannya.
Pertama, ada pengaruh perkembangan teknologi yang menyebabkan diversifikasi media penyampainya. Setelah teknologi komunikasi berkembang, selain berita yang tersaji dalam bentuk laporan tertulis, terbukalah peluang penyajian berita dalam bentuk suara (radio). Lalu dalam wujud gambar yang bergerak (televisi).
Teknik atau tata cara menyampaikan pun turut mengalami revolusi. Kehadiran media yang menggunakan audio, lalu video, memungkinkan metode penyampaian secara langsung pada saat kejadian (real time). Tanpa perlu melakukan penundaan (live). Bagi kalangan jurnalistik, peluang diversifikasi medium menyampaikan kabar tersebut, juga menuntut lompatan aktualisasi profesionalime mereka. Prasyarat maupun kriteria terhadap prosedur kerja memproduksi berita hingga tata cara penyajiannya, perlu dikaji dan dikembangkan lebih lanjut. Bukan semata didorong kemudahan yang ditawarkan teknologi. Tapi juga dalam rangka mempertahankan prinsip maupun standar jurnalistik itu sendiri.
Lalu muncullah hal yang kedua. Sebab, penyertaan teknologi acap berkorelasi dengan kemampuan permodalan untuk menyelenggarakannya. Jurnalistik yang sejatinya "berjarak" dari nilai dan manfaat komersial, berada pada posisi yang tak mudah. Sebab, untuk memenuhi investasi dan pembiayaan operasionalnya, mereka dituntut mengelola aspek finansial yang besar dan jauh lebih rumit, agar menguntungkan dan berkelanjutan.
Kemampuan menghindar dari campur tangan pemodal dengan segala kepentingannya, merupakan hal yang tak mudah bagi media jurnalistik. Terutama untuk mempertahankan marwah profesinya. Sebagaimana bangsa-bangsa yang lain --- termasuk di negara asal mula aktifitas jurnalistik maupun teknologi medianya pertama kali ditemukan dan berkembang --- Indonesia juga pernah berupaya mengembangkan, merumuskan, dan mempertahankan dasar-dasar kebijakan, agar tuntutan kebutuhan modal tersebut tak sampai mencederai, mengganggu, bahkan sekedar mempengaruhi kredibilitas, independensi, serta peran dan fungsi jurnalistik lainnya.
Kita pahami hal ideal tersebut tak mudah dipenuhi. Bahkan sebaliknya, campur tangan investasi dan dukungan finansial pada industri jurnalistik Indonesia, hampir sebuah keniscayaan dan berlaku umum. Sangat sedikit, bahkan hampir tak ada, media yang mampu melepaskan diri dari jerat maupun pengaruhnya.
Menurut saya, Tempo dan Kompas adalah bagian dari segelintir media jurnalistik yang hingga hari ini tetap mempertahankan independensinya, dalam mengambil peran pilar keempat demokrasi. Mereka selalu berada di jalan yang sepi di tengah hiruk-pikuk dan keriuhan sekelilingnya. Tak bersahabat dengan kawan, tapi juga tak bermusuhan dengan lawan. Memelihara jarak yang cukup terhadap kawan maupun lawan, agar dapat menyajikan kabar yang berimbang, tidak memihak, apa adanya, dan akurasi yang terpelihara.
Jurnalistik bukan penghakiman. Tugas dan kewajibannya, adalah menyajikan (menjurnal) fakta secara jujur, berimbang, dan bertanggung jawab. Tidak berpretensi sebagai pakar dari topik yang sedang menarik perhatian, diliput, dan kemudian diberitakannya. Bukan pula saluran "an sich" untuk mempertahankan pendapat atau argumen yang searah. Tugasnya adalah memaparkan keadaan maupun kejadian apa adanya, agar mencerahkan dan memperluas wawasan pembaca, pendengar, maupun pemirsa, terhadap apa yang (sedang) berlangsung di sekitarnya.
Sebagian kalangan mungkin menyetarakan jurnalistik dengan publisistik. Tapi menilik kata dasarnya, jurnalistik sejatinya dipisahkan batas yang demikian tipis --- tapi amat tegas --- dengan publisistik.
Publisistik terasa lebih dekat dengan urusan publikasi dalam konteks komunikasi yang lebih luas. Tak sekedar menjurnal fakta-fakta yang melatar belakangi, maupun mempengaruhi, suatu peristiwa. Di sana terdapat celah, bagi peran dan campur tangan pihak yang paling berkepentingan, dengan publikasi yang dilakukan.
+++
Hari ini, memang lebih banyak media yang dikuasai pemodal, yang juga menguasai sejumlah lini bisnis, yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas. Bahkan tak sedikit diantara penguasa kapital itu yang memiliki kepentingan politik praktis dan berkelindan dengan beragam bentuk kekuasaan. Sesuatu yang patut memicu kecurigaan publik, terhadap independensi dan kemuliaan kerja jurnalistik, pada media yang dikuasainya.
Bahwa sejauh ini, pemerintah (baca: Negara) gagal mengupayakan pembatasan keterlibatan hingga campur tangan para pemodal besar terhadap media jurnalistik, adalah satu hal. Tapi sepatutnya kita bijaksana mencermati mereka yang bersusah payah mempertahankan kemandiriannya, seperti yang telah dibuktikan Kompas dan Tempo selama berpuluh tahun, walaupun rezim kekuasaan bergonta-ganti.
Apa lacur, kemerdekaan mengemukakan pendapat dan berserikat yang kita peroleh paska Reformasi 1998, justru semakin kerap menghadirkan fenomena diktator mayoritas dan tirani minoritas. Umumnya terkait dengan keyakinan agama. Sejak kekuasaan Suharto dan Orde Baru berakhir, berapa kali kita menyaksikan intimidasi kalangan yang mengatas namakan agama tertentu --- kebetulan pula mayoritas --- terhadap media yang memberitakan hal yang dianggap merugikan, atau sekedar dianggap menyinggung perasaan mereka?
Kebebasan mengemukakan pendapat masa kini, juga acap disikapi berlebih oleh kalangan partisan yang mendukung kekuatan politik tertentu. Termasuk pada mereka yang merasa sejalan dengan pemerintah yang berkuasa. Kepicikan dan kemiskinan wawasannya, acap tercermin pada sikap, laku, dan ucapan yang dilontarkan. Mereka kerap merasa tak cukup hanya dengan sekedar meradang, ketika menganggap media jurnslistik berpihak pada kubu lawannya. Tapi juga kerap menghasut dan melontarkan tudingan membabi-buta, soal independensi dan akurasi media tersebut, meskipun tanpa dilatar belakangi fakta yang memadai.
+++
Menjelang pemilihan Presiden tahun 2019 kemarin berlangsung, sebagian kalangan pendukung Joko Widodo tak dapat menerima kenyataan, ketika Litbang Harian Kompas melansir hasil penelitian jajak pendapatnya. Berbeda dengan lembaga-lembaga riset yang lain, saat itu Kompas menyatakan suara yang berpihak kepada Joko Widodo mengalami penurunan, meski masih tetap unggul dibanding Prabowo-Sandi.
Ketika itu, serta merta latar belakang pribadi pemimpin redaksinya, diungkit. Digunakan sebagai pembenaran atas tuduhan mereka yang menyatakan media jurnalistik yang saya anggap "sungguhan" tersebut, berpihak. Beliau kebetulan memang putri salah satu tokoh penting yang berada di lingkungan kekuasaan Suharto dulu. Sementara suaminya, juga tercatat sebagai pengurus teras pada organisasi yang diketuai Prabowo Subianto. Hal yang mereka abaikan saat melontarkan tudingan kejam itu adalah, pemimpin redaksi bersangkutan telah bekerja puluhan tahun di sana, bahkan sejak awal mula beliau berkarir saat Suharto masih berkuasa dulu. Bahwa Kompas adalah media jurnalistik yang telah teruji dalam rentang waktu cukup panjang sehingga layak terpuji dalam proses pemilihan jajaran redaksi dan eksekutifnya, seolah tak dipertimbangkan lagi sama sekali.
Kita teringat politik identitas dan bumi hangus rezim Orde Baru, yang hingga kini masih kerap mengemuka, ketika berhadapan dengan komunisme. Meskipun kemerdekaan berserikat dan menyatakan pendapat sesungguhnya telah ditegakkan paska Reformasi 1998 lalu. Strategi sesat dan pengalaman buruk tersebut, mestinya jangan dipelihara dan tak digunakan lagi.

Voila!
Setelah pemungutan suara telah sungguh-sungguh berlangsung dan proses penghitungan resminya mendekati akhir, sejauh ini, hasil dari sistem penghitungan suara yang dilakukan KPU --- sebagaimana pula berbagai penelitian yang menggunakan metode hitung cepat dan exit poll usai pemilihan pada lebih dari 830 ribu TPS kemarin --- hasil sementaranya menunjukkan bahwa perolehan suara Joko Widodo jauh lebih mirip dengan jajak pendapat Kompas yang menghebohkan tempo hari itu.
Padahal, berbagai lembaga survey lain yang waktu itu juga melakukan hal yang sama, justru terlihat "terlalu keliru" ketika serempak menyatakan keunggulan Joko Widodo.
Lalu, bisakah kita menuntut pertanggung jawaban --- paling tidak secara moral --- terhadap mereka yang secara serampangan telah melontarkan tudingan kejamnya kepada Harian Kompas 2 bulan yang lalu itu?
Begitu sulitkah kita memahami pengrusakan terstruktur, secara sistematis, dan berlangsung masif, pada tingkat kepercayaan publik terhadap pilar keempat demokrasi --- yang dalam jalan sepi kesendiriannya --- justru terus-menerus diguncang modernisasi dan disrupsi kapitalisme itu?
Hal serupa meski tidak melalui kasus yang persis sama, juga berulang kali dialami Tempo. Kita tak mungkin melupakan bagaimana kebakaran jenggotnya Teman Ahok ketika media itu mengungkap investigasi dugaan aliran dana yang bersumber dari "anggota kelompok 9 Naga", melalui staf khusus Gubernur Basuki Tjahja Poernama. Begitu pula saat dugaan korupsi yang dilakukan Tuan Guru Bajang dalam kasus pengalihan saham daerah yang dipimpinnya, dan seterusnya, dan sebagainya.
Dengan demikian, ada hal yang jauh lebih penting dan perlu disampaikan, dalam rangka memperingati Hari Kebsngkitan Nasional kali ini. Yakni tentang upaya kita bersama, menyikapi keberadaan dan kehadiran media jurnalistik yang bertekad sungguh-sungguh melakoni aktifitasnya, agar tetap setia menegakkan pilar keempat demokrasi itu.
+++
Sebagai konsekuensi dari pilihan yang secara sadar dan penuh sukacita, telah diambil bangsa Indonesia saat Gerakan Reformasi 1998 berlangsung 21 tahun yang lalu, kita memang masih tertatih-tatih dalam menegakkan dan menyempurnakan pilar-pilar demokrasi lainnya. Yakni lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Proses tambal-sulam tak mungkin dihindarkan. Sebab, jalan yang kita pilih memang tumbuh dan berkembang secara bertahap (reformasi). Bukan revolusi yang berlangsung seketika. Padahal, kita paham dan sangat menyadari, kerusakan yang diwariskan rezim kekuasaan Suharto sebelumnya, telah berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan masif, pada hampir seluruh lapisan birokrasi pemerintahan dan kekuasaan yang ada. Termasuk pula dalam sistem nilai, gaya hidup, dan budaya masyarakat yang selama 32 tahun sebelumnya, hidup berdampingan bersama mereka.
Sesungguhnya kita tak boleh berpura-pura, jika segala sesuatunya seolah telah berlangsung wajar dan masih dalam koridor ideal yang dibayangkan. Sebab, terlalu banyak fakta yang menyatakan berkebalikan. Temuan KPK yang tak kunjung berkesudahan adalah buktinya. Pola kebiadaban korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah disepakati sebagai musuh utama sehingga lembaga itu sepakat kita dirikan, nyatanya hanya bersalin rupa dan bentuk untuk menyesuaikan diri dengan arsitektur kekuasaan yang baru. Bahkan, sejak Suharto dan Orde Baru terguling, keberadaan lembaga anti rasuah yang menjadi harapan besar bangsa tersebut, hampir sepanjang masa diguncang oleh penguasa-penguasa yang bercokol di eksekutif, legislatif, dan yudikatif itu sendiri.
Semua itu telah melahirkan situasi persaingan yang bersifat diametral. Membuka celah bagi merasuknya unsur-unsur yang mengeraskan sikap partisan berlebih. Sehingga perbedaan tak lagi demi kepentingan bersama. Melainkan tujuan sempit yang dilatar belakangi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Betapapun besarnya jumlah pendukung mereka.
Di sanalah sesungguhnya penjelasan gamblang dan terang benderang yang patut kita pahami bersama, tentang keharusan dan kebutuhan tegaknya jurnalistik "sungguhan", sebagai pilar demokrasi keempat. Apalagi ketika tiga pilar yang lain, telah menjadi arena pertempuran terbuka bagi kepentingan-kepentingan sempit yang hanya haus berebut kekuasaan.
Kita semua bukan hanya berkewajiban menjaga dan memelihara, tumbuh dan berkembangnya jurnalistik "sungguhan" yang sehat, profesional, dan diandalkan. Tapi juga memastikan tangan-tangan kotor dan kebusukan pemikiran siapapun, yang secara sengaja maupun tidak, ingin meruntuhkannya. Sebab, hanya pilar keempat itulah yang sejatinya tak bisa kita perebutkan, termasuk oleh mereka yang bertikai ingin menguasai tiga pilar lainnya, yakni lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Pers yang sehat dan berwibawa bukan hanya mampu mendaya-gunakan keunggulan istimewa pemimpin terpilih yang baik, amanah, jujur, dan bekerja keras. Tapi juga untuk memastikannya tak lupa diri, terjebak euforia, maupun disesatkan penggembira yang sibuk memuja-muji di sekelilingnya.
Bagaimana pun, keterpilihan Joko Widodo yang hampir pasti untuk kali kedua memimpin Indonesia, adalah kesempatan terakhir. Hal pertama ini, sangat perlu ditegaskan dan diingat bangsa Indonesia. Kedua, bagaimana pun kemenangannya bukan hanya tak mudah, tapi juga sangat tak indah. Sebab distiribusi masyarakat yang memilihnya, baik secara wilayah maupun kualitas sosial, semakin menunjukkan gejala perpecahan. Hal yang tak boleh dipungkiri merupakan bagian dari ketidak berhasilan --- jika tak ingin mengatakannya gagal --- dari kepemimpinan yang dijalankannya selama 5 tahun belakang kemarin.
Bahwa warisan Indonesia yang diterimakan padanya tempo hari telah porak poranda, adalah satu hal. Tapi tetap sama sekali bukan pembenaran terhadap terjadinya hal tersebut. Sebab, jika tangan mencencang maka bahulah yang memikulnya.
Saudaraku sebangsa dan setanah air,Sebelum popor senjata dan sepatu lars turun tangan --- hal yang pasti tak mendatangkan kebaikan bagi siapa pun --- maka hanya jurnalistik "sungguhan" yang sehat dan berwibawa lah yang pantas mengawal perjalanan kita.
Bangkitlah Indonesia yang kupuja, kubanggakan, dan kucintai.
Jilal Mardhani, 20 Mei 2019

- Ilustrasi gambar adalah dokumentasi milik Erik Prasetya pada buku album kenangan berjudul "Eros & Reformasi" yang saat ini masih dipamerkan di Kedai Tempo, Utan Kayu. Foto mengabadikan almarhum Ging Ginanjar --- wartawan, aktivis, yang dipenjara oleh rezim Suharto--- usai mengikuti sidang di pengadilan Jakarta Timur tanggal 20 Mei 1998 yang membebaskannya.
- Dua ilustrasi lainnya, masing-masing adalah salinan halaman pertama harian Kompas saat memberitakan hasil jajak pendapat mereka yang menyatakan turunnya elektabilitas Joko Widodo pada tanggal 20 Maret lalu. Ilustrasi lain adalah surat pembaca Majalah Tempo edisi minggu ini yang memuat permintaan maaf redaksi atas kekeliruan pengutipan nama salah seorang profesor ITB. Majalah tersebut, pada beberapa edisi sebelumnya, telah melakukan kekeliruan mencantumkan nama dan profesi guru besar ITB yang diaku seseorang yang hadir saat Prabowo mendeklarasikan kemenangan di Jl. Kertanegara, Jakarta, meskipun awak media mereka sebelumnya telah berupaya memperoleh konfirmasi dari sejumlah petinggi kubu tersebut, yang hadir di sana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI