Hal serupa meski tidak melalui kasus yang persis sama, juga berulang kali dialami Tempo. Kita tak mungkin melupakan bagaimana kebakaran jenggotnya Teman Ahok ketika media itu mengungkap investigasi dugaan aliran dana yang bersumber dari "anggota kelompok 9 Naga", melalui staf khusus Gubernur Basuki Tjahja Poernama. Begitu pula saat dugaan korupsi yang dilakukan Tuan Guru Bajang dalam kasus pengalihan saham daerah yang dipimpinnya, dan seterusnya, dan sebagainya.
Dengan demikian, ada hal yang jauh lebih penting dan perlu disampaikan, dalam rangka memperingati Hari Kebsngkitan Nasional kali ini. Yakni tentang upaya kita bersama, menyikapi keberadaan dan kehadiran media jurnalistik yang bertekad sungguh-sungguh melakoni aktifitasnya, agar tetap setia menegakkan pilar keempat demokrasi itu.
+++
Sebagai konsekuensi dari pilihan yang secara sadar dan penuh sukacita, telah diambil bangsa Indonesia saat Gerakan Reformasi 1998 berlangsung 21 tahun yang lalu, kita memang masih tertatih-tatih dalam menegakkan dan menyempurnakan pilar-pilar demokrasi lainnya. Yakni lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Proses tambal-sulam tak mungkin dihindarkan. Sebab, jalan yang kita pilih memang tumbuh dan berkembang secara bertahap (reformasi). Bukan revolusi yang berlangsung seketika. Padahal, kita paham dan sangat menyadari, kerusakan yang diwariskan rezim kekuasaan Suharto sebelumnya, telah berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan masif, pada hampir seluruh lapisan birokrasi pemerintahan dan kekuasaan yang ada. Termasuk pula dalam sistem nilai, gaya hidup, dan budaya masyarakat yang selama 32 tahun sebelumnya, hidup berdampingan bersama mereka.
Sesungguhnya kita tak boleh berpura-pura, jika segala sesuatunya seolah telah berlangsung wajar dan masih dalam koridor ideal yang dibayangkan. Sebab, terlalu banyak fakta yang menyatakan berkebalikan. Temuan KPK yang tak kunjung berkesudahan adalah buktinya. Pola kebiadaban korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah disepakati sebagai musuh utama sehingga lembaga itu sepakat kita dirikan, nyatanya hanya bersalin rupa dan bentuk untuk menyesuaikan diri dengan arsitektur kekuasaan yang baru. Bahkan, sejak Suharto dan Orde Baru terguling, keberadaan lembaga anti rasuah yang menjadi harapan besar bangsa tersebut, hampir sepanjang masa diguncang oleh penguasa-penguasa yang bercokol di eksekutif, legislatif, dan yudikatif itu sendiri.
Semua itu telah melahirkan situasi persaingan yang bersifat diametral. Membuka celah bagi merasuknya unsur-unsur yang mengeraskan sikap partisan berlebih. Sehingga perbedaan tak lagi demi kepentingan bersama. Melainkan tujuan sempit yang dilatar belakangi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Betapapun besarnya jumlah pendukung mereka.
Di sanalah sesungguhnya penjelasan gamblang dan terang benderang yang patut kita pahami bersama, tentang keharusan dan kebutuhan tegaknya jurnalistik "sungguhan", sebagai pilar demokrasi keempat. Apalagi ketika tiga pilar yang lain, telah menjadi arena pertempuran terbuka bagi kepentingan-kepentingan sempit yang hanya haus berebut kekuasaan.
Kita semua bukan hanya berkewajiban menjaga dan memelihara, tumbuh dan berkembangnya jurnalistik "sungguhan" yang sehat, profesional, dan diandalkan. Tapi juga memastikan tangan-tangan kotor dan kebusukan pemikiran siapapun, yang secara sengaja maupun tidak, ingin meruntuhkannya. Sebab, hanya pilar keempat itulah yang sejatinya tak bisa kita perebutkan, termasuk oleh mereka yang bertikai ingin menguasai tiga pilar lainnya, yakni lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Pers yang sehat dan berwibawa bukan hanya mampu mendaya-gunakan keunggulan istimewa pemimpin terpilih yang baik, amanah, jujur, dan bekerja keras. Tapi juga untuk memastikannya tak lupa diri, terjebak euforia, maupun disesatkan penggembira yang sibuk memuja-muji di sekelilingnya.
Bagaimana pun, keterpilihan Joko Widodo yang hampir pasti untuk kali kedua memimpin Indonesia, adalah kesempatan terakhir. Hal pertama ini, sangat perlu ditegaskan dan diingat bangsa Indonesia. Kedua, bagaimana pun kemenangannya bukan hanya tak mudah, tapi juga sangat tak indah. Sebab distiribusi masyarakat yang memilihnya, baik secara wilayah maupun kualitas sosial, semakin menunjukkan gejala perpecahan. Hal yang tak boleh dipungkiri merupakan bagian dari ketidak berhasilan --- jika tak ingin mengatakannya gagal --- dari kepemimpinan yang dijalankannya selama 5 tahun belakang kemarin.
Bahwa warisan Indonesia yang diterimakan padanya tempo hari telah porak poranda, adalah satu hal. Tapi tetap sama sekali bukan pembenaran terhadap terjadinya hal tersebut. Sebab, jika tangan mencencang maka bahulah yang memikulnya.