+++
Menurut hemat saya, dimulai dari pasal 3 UU 40/2004 itu, bangunan hukum yang berkembang kemudian justru mengalihkan "kewajiban Negara" untuk memberikan pelayanan jaminan sosial kesehatan tersebut --- sebagaimana diamanahkan UUD 1945 pasal 34 ayat 2 --- menjadi "kewajiban masyarakat yang terdaftar sebagai peserta" untuk bergotong-royong mendanai penyelenggaraannya.
Termasuk Pemerintah yang ditugaskan menanggung iuran mereka yang tergolong penerima bantuan, dan mendaftarkannya.
Kemungkinan berangkat dari hal tersebut, langkah Pemerintah selanjutnya cenderung berkutat pada perumusan bagaimana melaksanakan kewajiban kepesertaan masyarakat dan tata cara mereka mendapatkan pelayanan. Sebab semua itu akhirnya berujung pada soal pembiayaan dan pengelolaan anggaran.
Bukan pada upaya peningkatan kualitas dan mutu pelayanannya sendiri.
Hal yang sesungguhnya tak dikuasai atau dimiliki penuh oleh pemerintah. Baik dalam hal fasilitas maupun tenaga medis yang dibutuhkan. Dengan kata lain, nuansa kekuasaan yang berlindung di balik undang-undang maupun peraturan --- yang menurut hemat saya di atas telah "direduksi" tadi --- menyebabkan pemilik fasilitas maupun tenaga medis yang terlibat, dihadapkan pada posisi yang sangat dilematis. Bahkan dalam beberapa hal, semangat dan standar pelayanan profesi yang selama ini mereka pegang teguh, turut terpojokkan.
Adalah kemampuan keuangan untuk menyelenggarakan layanan jaminan sosial itu yang menjadi kendala utama. Pendekatan yang ditempuh justru menambah beban kewajiban pada masyarakat --- yang menjadi pegawai pemerintah maupun swasta --- melalui iuran sebesar 5% yang dihitung relatif dari pendapatan (upah) yang diterima setiap bulan.
Hal tersebut sama dengan menambah beban kewajiban "pajak" kepada masyarakat. Bahkan kepada mereka yang selama ini sesungguhnya dibebaskan untuk membayar. Sebagaimana dimaklumi, penerima upah minimum di Indonesia saat ini, tidak akan memiliki kewajiban membayar pajak penghasilan karena jumlah yang diperolehnya setahun masih berada di bawah ketentuan Pendapatan Tidak Kena Pajak atau PTKP (lihat Grafik Peluang PKP: UMP vs PTKP).
Iuran BPJS Kesehatan yang diwajibkan kepada mereka justru tak mengindahkan ketentuan PTKP tersebut. Siapapun yang menerima upah dari pihak yang mempekerjakannya secara tetap, termasuk penerima upah minimum, diwajibkan membayar sebesar 5 persen dari gaji dan tunjangan tetapnya. Bahkan bagi mereka yang menerima pendapatan di bawah UMP, tetap dikenakan tarif dari pendapatan yang dihitung setara dengan UMP.
Kita pahami jika lebih dari 80% sumber pembiayaan Negara hari ini berasal dari pajak yang dikumpulkan pemerintah. Penambahan beban kewajiban pada pemberi kerja tersebut di atas tentunya akan menambah beban biaya perusahaan sebesar 4% dari biaya pegawai yang selama ini dikeluarkan. Konsekuensinya akan mempengaruhi laba yang kemudian menjadi dasar perhitungan PPh 25 dan PPh 29. Secara teoritis hal tersebut tentu akan mempengaruhi penerimaan Negara.