Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pertumbuhan Ekonomi, Antara Fakta dan Ilusi

24 September 2018   13:29 Diperbarui: 27 September 2018   16:58 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi begini: PPh 25/29 Orang Pribadi (OP) tahun 2016 diproyeksikan naik hingga hampir 6 kali lipat angka 2015. Kemungkinan besar karena "wishful thinking" saat program tax amnesty.

Realita-nya PPh 25/29 OP 2016 malah turun 36 persen dibanding 2015. Tahun 2017 meningkat hingga 44 persen tapi sesungguhnya nilai yang diperoleh (IDR 7,8T) masih lebih kecil dibanding 2015 (IDR 8,3T).

Sebetulnya aneh juga karena APBN 2017 masih mencantumkan nilai cukup besar dalam PPh 25/29 OP tersebut (IDR 20T) walaupun turun sekitar 31% dibanding 2016 (IDR 28,8T) yang sebelumnya melonjak tajam dari tahun 2015 itu.

Akibatnya, realisasi 2016 dan 2017 hanya 18 dan 39 persen dari APBN(P) yang ditetapkan. Tentu ini mencerminkan "perencanaan" yang sangat sembrono.

Menurut hemat saya ada jejak Bambang Brodjonegoro di sana. Tapi sayangnya Sri Mulyani mungkin belum sempat membenahi konsep perencanaannya.

jm-180924-pajak-2015-2017-002-5ba885c66ddcae22306926b7.jpeg
jm-180924-pajak-2015-2017-002-5ba885c66ddcae22306926b7.jpeg
jm-180924-pajak-2015-2017-003-5ba88664aeebe15a2347b0f8.jpeg
jm-180924-pajak-2015-2017-003-5ba88664aeebe15a2347b0f8.jpeg
jm-180924-pajak-2015-2017-004-5ba88685aeebe178c357039a.jpeg
jm-180924-pajak-2015-2017-004-5ba88685aeebe178c357039a.jpeg
+++

Gambaran tak menggembirakan juga terlihat melalui PPh 21. Kita maklumi pajak tersebut adalah yg dipungut perusahaan terhadap karyawan dan disetorkan ke negara.

Pertumbuhannya terlihat seret. Salah satu disebabkan peningkatan nilai PTKP sekitar 50% dari sebelumnya. Jadi, dari IDR 114,5T (2015), perolehan PPh21 turun jadi IDR 109,2T pada 2016 (APBNP IDR 129,3T) lalu naik sedikit jadi IDR 117,8T pada 2017 (APBNP IDR 148,1T).

Perlu diingat, sejak tahun 2009, pekerja dengan upah minimum, praktis tidak memiliki kewajiban membayar pajak. Sebab penerimaan mereka jika di-setahun-kan di bawah nilai PTKP (pendapatan tidak kena pajak) yang terus meningkat (2008-2009: 450% | 2012-2013: 53% | 2014-2015: 48% | 2015-2016: 50%).

Fenomena perolehan PPh 21 sejak 2015 hingga 2017 ini --- meski terjadi peningkatan pada nilai PTKP --- antara lain mencerminkan tidak terjadi atau seretnya kenaikan pendapatan di antara pekerja kelas menengah. Demikian pula penyerapan lapangan pekerjaannya. Bahkan sebagian mungkin terkena PHK akibat situasi ekonomi yang sesungguhnya morat-marit dan lesu ini.

jm-180924-pajak-2015-2017-005-5ba8863212ae947f1c1708a5.jpeg
jm-180924-pajak-2015-2017-005-5ba8863212ae947f1c1708a5.jpeg
jm-180924-pajak-2015-2017-006-5ba886d3677ffb45ca4327b4.jpeg
jm-180924-pajak-2015-2017-006-5ba886d3677ffb45ca4327b4.jpeg
+++

Kenaikan PTKP yg mengurangi PPh 21 maupun 25/29 diasumsikan Pemerintah akan meningkatkan pendapatan PPN karena masyarakat akan membelanjakannya. Tapi kenyataan yangg ada, PPN dalam negeri 2015-2016 malah turun dari IDR 280T ke IDR 273T.

+++

"Wishful thinking" juga terlihat pada PPh 25/29 Badan. Seperti yg disampaikan Prof Anwar Nasution, memang terlihat "besar pasak dari tiang". Perolehannya thd anggaran dari 2015-2017 adalah 84, 46, dan 86 persen. 

Begitu pula PPh final yg bagi UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah yakni yang memiliki peredaran bruto Rp 4,8 miliar atau kurang) baru-baru ini nilainya diturunkan dari 1% ke 0,5 persen. Sebelumnya, untuk menggenjot sektor properti yang lesu, Pemerintah juga menetapkan penurunan PPh penjualannya dari 5% menjadi 2,5 persen.

Sepanjang 2015-2017 PPh Final ini justru menurun dari IDR 120T, 117T, hingga 106T. Padahal APBNP terus naik dari IDR 127T, 146T, hingga 157T.

+++

Itu sebab Farid Gaban menyatakan ada "penyesatan" pada angka-angka pertumbuhan ekonomi tersebut. Baik dari kubu patahana maupun rivalnya. Sebab, refleksinya pada perolehan pajak tidak terlihat.

Jika ingin lebih teliti, penyeimbang penurunan yg disebut di atas justru terlihat pada PPh 22 dan PPh 26 yang diantaranya disumbangkan oleh impor dan tenaga kerja asing.

+++

Saya sampaikan fakta-fakta ini agar kita semua tak "baper" setiap kali ada informasi yg dirasakan tak sesuai "harapan subyektif" masing-masing.

Saya paham Sri Mulyani berjuang mati-matian mengendalikan keuangan kita yang tersandera banyak hal. "She is doing her best." Semua ini menunjukkan betapa "kesepian"- nya beliau mengelola dan berinovasi di sana.

Jokowi adalah sosok langka yang sangat baik bagi Indonesia. Tapi jangan biarkan beliau terjerumus lebih dalam pada sejumlah penyesatan indikator-indikator yg selalu disajikan.

"The devil in the detail". Saya percaya laporan keuangan yg berbentuk Neraca dan Laba-Rugi selalu menjadi sesuatu untuk #katakanyangsebenarnya.

Oh ya, ulasan saya di atas berdasarkan laporan kinerja Direktorat Jenderal Pajak tahun 2016 dan 2017.

Saya sedang membedah LKPP ( Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, audited) 2004-2017 utk memahami lebih jauh soal postur keuangan kita. Diantaranya untuk menelisik keterkaitkannya dengan absurditas program BPJS Kesehatan yang sekarang banyak mengorbankan rumah sakit dan tenaga medis di seantero Nusantara.

Jangan sebut saya baru nyinyir sekarang. Sebab sejak awal pemerintahan Joko Widodo --- melalui sejumlah rekan yg ada di sekitar kekuasaannya --- saya telah berulang kali mengingatkan perlunya "helicopter view" untuk menyikapi semua kerjanya secara menyeluruh (comprehensive) dan terpadu (integrated).

Ingat,

PERTAMA, Indonesia harus tetap tegak berdiri siapapun presidennya. Bagi saya Indonesia Raya adalah segala-galanya.

KEDUA, apa yang dikerjakan oleh pemerintahan Joko Widodo kemarin --- terutama dalam hal pembangunan berbagai infrastruktur --- adalah penting dan harus. Bagi yang memahami keuangan, beliau sesungguhnya sedang mempersiapkan asset. Tapi dalam "neraca" tentunya sebagian masih dicatatkan sebagai "work in progress" alias "pekerjaan yang dalam penyelesaian". Sementara sebagian yang lain dicatat sebagai "biaya yang dibayar dimuka". Efektifitas kedua pos pencatatan tersebut tentu belum bisa diukur. Sebab belum tuntas diselesaikan sehingga dapat dimanfaatkan.

Seharusnya, berbagai pembantu beliau yang menangani berbagai bidang terkait --- mulai dari Perindustrian, Perdagangan, Perhubungan, BUMN, hingga Pendidikan dan Tenaga Kerja --- bahu membahu mempersiapkan berbagai hal yang pelu agar ketika "asset-asset" tersebut selesai dapat betul-betul dimanfaatkan secara optimal.

Disinilah sebetulnya "persoalan yang menjerat bahkan menjegal" Joko Widodo selama ini. Sebab, beliau selalu disandera berbagai kepentingan picik, sempit, dan busuk banyak pihak yang memiliki posisi tawar politik terhadapnya.

KETIGA, situasi kritis yang kita hadapi saat ini --- termasuk pengaruh lingkungan global yang terus dguncang oleh kebijakan Trump yang penuh kejutan sekaligus merepotkan; juga berbagai disrupsi yang dihadirkan pesatnya perkembangan teknologi digital pada berbagai aspek kehidupan klasik kita --- harus ditangani secara berkelanjutan dan gotong-royong.

Joko Widodo sebaiknya kita berikan kesempatan untuk meneruskan segala sesuatu yang telah dimulainya. Tapi juga perlu kita pastikan agar tak ada lagi manuver politik sesat yang terus menerus mengganggunya. Maka berhati-hatilah dalam memilih wakil rakyat yang duduk di Gedung DPR dan DPRD tahun 2019-2024 nanti. Kita dapat berperan "memperbaiki" mereka jika kompak mendahulukan kepentingan bangsa dan negara.

Jangan pilih wakil dari 13 partai yang masih mengusung eks-koruptor!

KEEMPAT, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kegigihan Prabowo Subianto yang sejak Pemilu 2004 setia mencalonkan diri meskipun gagal --- juga kepada Sandiaga Uno yang meninggalkan kursi Wakil Gubernur DKI untuk menjadi calon wakilnya --- sebaiknya jangan pilih mereka.

Perubahan puncak kekuasaan akan diikuti oleh perubahan susunan orang-orang terdekat di sekitarnya. Kemungkinan masuknya berbagai kepentingan sempit dan picik yang baru, sangat besar. Kita akan semakin mundur jauh ke belakang.

KELIMA, Joko Widodo tak perlu menunggu. Terpilih lagi atau tidak, segeralah susun Platform Indonesia Baru untuk mendaya-gunakan sebagian besar pembangunan yang hampir tuntas itu. Jalankan saja Revolusi Mental yang dulu dicita-citakan secara masif dan terstruktur. Bongkar dan siapkan sistem birokrasi yang sesuai dengan perkembangan zaman hari ini dan masa depan.

Jilal Mardhani, 24-9-2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun