"Di Indonesia yang lebih dominan adalah BUMN. Hampir semua sektor didominasi BUMN/BUMD: listrik, gas, air bersih, pertambangan, minyak mentah, kilang minyak, perbankan, asuransi, konstruksi, bandara, pelabuhan, kereta api, jalan tol, pompa bensin, pupuk, dan konstruksi | BUMN juga cukup besar di beberapa jenis usaha seperti garam, semen, baja, semen, gula, perkebunan, penangkapan ikan, maskapai penerbangan, angkutan laut, dan angkutan darat | Tak ketinggalan, negara ikut merambah bisnis perhotelan, perdagangan, properti, konsultan bisnis, sekuritas, pusat perbelanjaan, industri kaca, industri perkapalan, dan banyak lagi" - Faisal Basri
Sepintas, simpulan tersebut melegakan. Indonesia ternyata tak dikuasai asing atau aseng. Demikianlah fakta yang terungkap dari data (UNCTAD, World Investment Report Database) yang dikutip Faisal Basri dalam artikelnya "Apakah Benar Perekonomian Indonesia Dikuasai Asing?".
Tapi ada kalimat penutup yang menarik pada tulisan Dosen Senior pada Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia tersebut :
"Indonesia lambat laun mengarah ke kapitalisme negara."
+++
Ketika negara menguasai kegiatan usaha --- apalagi pada sektor-sektor stategis yang terkait hajat hidup orang banyak --- sepatutnya kita berharap hal tersebut mendatangkan kebaikan.
Terhadap kepentingan rakyat luas, penguasaan tersebut berpeluang untuk menegakkan keadilan sosial. Intervensi pemerintah selaku "nominee" (lembaga sah yang mewakili kepemilikan) Negara pada usaha tersebut, sangat dimungkinkan. Sebab dia tak sepenuhnya harus tunduk pada hukum pasar. Kemampuan masyarakat luas selaku konsumen akan menjadi pertimbangan penting dan utama agar manfaatnya dapat dinikmati bersama.
Contohnya Pertamina.
Negara melalui Pemerintah yang berkuasa melakukan kebijakan "satu harga" dari Sabang hingga Marauke. Subsidi silang yang sesungguhnya menggerus potensi laba perusahaan, dapat diikhlaskan sekaligus ditegaskan pelaksanaannya. Atas nama keadilan sosial.
Hukum pasar yang sejatinya tak mengenal kata subsidi, boleh diabaikan. Sebab secara bisnis, penjualan premium di Wamena pada harga eceran yang sama dengan di Jakarta, tak mungkin dilakukan. Dengan kata lain, penjualan bensin di Papua yang menggunakan harga yang sama dengan Bandung memang pasti merugikan Pertamina.
Jika ditelisik lebih rinci, di masa yang lalu, "nominee" badan usaha milik Negara itu kemungkinan besar memang mengabaikan sebagian pemilik sejati perusahaan yang tinggal di wilayah terpencil. Kebutuhan melayani masyarakat di sana yang tercermin dari biaya logistik dan distribusi, kelihatannya memang tak dimasukkan dalam perhitungan harga jual. Sebab, biaya tersebut sejatinya bervariasi. Bergantung pada letak geografis masing-masing konsumen. Jadi, laba bersih per satuan penjualan di masing-masing wilayah pasar, pasti bervariasi.
Bergantung jarak dan volume penyerapannya.
Sebetulnya, sangat mungkin penjualan bensin di ujung timur pulau Madura --- atau kota Sigli yang terletak 112 kilometer di selatan Banda Aceh --- secara satuan juga merugi karena biaya yang harus dikeluarkan Pertamina untuk mengelola logistik dan pendistribusiannya ke sana, ditambahkan dengan harga pokok per liter, lebih besar dibanding harga penjualan eceran yang ditetapkan.
Tapi kedua daerah tersebut terpisahkan jarak yang sangat mudah dijangkau pusat kekuasaan. Pejabat yang dulu ditempatkankan pemerintah di perusahaan tersebut, menutup matanya atas kerugian penjualan di sana. Toh secara agregat, ketika harga minyak dunia sedang rendah tak melonjak seperti sekarang, penjualan bahan bakar penugasan itu tetap masih menguntungkan.
Presiden Joko Widodo yang sejak awal pemerintahannya menaruh perhatian lebih terhadap kehidupan masyarakat di sana, segera menyadari kekeliruan itu. Maka atas nama keadilan sosial bagi masyarakat di sana, selaku pemimpin tertinggi pemerintah Indonesia yang merupakan "nominee" pada badan usaha milik Negara itu, beliau segera menetapkan kebijakan harga eceran sama dan memerintah pelaksanaannya. Sebagaimana perumpamaan di ujung timur pulau Madura maupun Sigli yang terletak lebih dari 100 kilometer di selatan Banda Aceh di atas, Pertamina harus bersedia menanggung biaya subsidi yang dikeluarkan.
Pertamina tak boleh menganggap dirinya perusahaan komersial penuh dan seenaknya menetapkan tingkat keuntungan dari penjualan bahan pokok yang dibutuhkan seluruh masyarakat. Dia adalah milik Negara yang dimiliki seluruh rakyat Indonesia. Tak pantas jika ada sebagian kecil diantaranya tak menikmati kemewahan yang sama dengan yang lain. Toh kebijakan tersebut tak menyebabkan badan usaha itu merugi. Apalagi bankrut. Hal yang terjadi --- ketika harga beli minyak mentah yang menjadi bahan bakunya memang lebih rendah dulu --- keuntungan yang semestinya diperoleh hanya berkurang sedikit dan perlu diikhlaskan Negara.
Dalam hal ini, kapitalisme Negara pada BUMN Pertamina seperti yang ditengarai Faisal Basri, memang tepat sasaran dan bermanfaat --- jika dan hanya jika --- "nominee" dari pemegang sahamnya bersikap "amanah".
+++
Persoalannya tak semua terjadi demikian. Peluang penyelewengan sebagai "nominee" pemegang saham pada badan-badan usaha yang dimiliki Negara, sejatinya selalu terbuka lebar dan menggoda. Itu sebabnya terkuak kabar dugaan penyuapan yang dilakukan Emirsyah Satar, terkait pengadaan pesawat dan mesinnya dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C saat dia memimpin PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Begitu pula yang terjadi pada proyek pembangkit listrik di Sumatera yang menyeret sejumlah petinggi Golkar hingga Idrus Marham mengundurkan diri dari jabatan Menteri Sosial beberapa saat sebelum dikenakan rompi orange KPK.
Diberitakan oleh Majalah Tempo edisi awal September 2018 kemarin bahwa pekerjaan yang berada di bawah kewenangan PT PLN (Persero) tersebut --- badan usaha strategis lainnya milik Negara --- merupakan "jatah" partai bermasalah warisan Orde Baru tersebut.
Kita semua memahami betapa banyak kasus penyelewengan yang berlangsung di lingkungan badan-badan usaha yang menjadi bagian dari kapitalisme negara selama ini. Bukan iktikad penguasaannya yang jadi persoalan. Tapi tentang ketentuan, tata laksana penetapan, hingga mandat yang dihibahkan kepada "nominee" yang mewakili Negara selaku pemegang saham di sana.
Sangat patut dikhawatirkan jika "kapitalisme negara" tersebut juga merambah pada usaha-usaha yang tidak memiliki nilai strategis dan telah menjadi domain persaingan pasar sempurna. Seperti perusahaan-perusahaan konstruksi, perhotelan, perumahan, pusat perbelanjaan, dan seterusnya.
Selain pada usaha-usaha strategis yang sungguh-sungguh berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas, Pemerintah yang mewakili negara seyogyanya berperan untuk menggairahkan perkembangan usaha dan persaingan yang sehat berlangsung di tengah masyarakat.
Kapitalisme Negara di tengah Indonesia yang semerawut ini, justru menjadi "pelumas" utama yang menggairahkan persaingan politik untuk saling memperebutkan kekuasaan secara semakin jorok dan tak beradab. Sebab, menduduki kekuasaan berarti membuka akses terhadap "nominee" pemegang saham pada badan-badan usaha milik Negara. Sementara kepiawaian dalam tata kelola pemerintahan demi kepentingan seluruh bangsa dan Negara --- yang selama ini terbengkalai hingga dirasuki budaya korupsi, kolusi, nepotisme yang akut --- tak kunjung terbenahi.
Termasuk memastikan usaha-usaha strategis yang dimiliki dan dikuasai Negara betul-betul difungsikan dan berprilaku untuk kepentingan seluruh masyarakat luas, dari Sabang hingga Marauke, dari Miangas hingga Rote.
Bagaimanapun Joko Widodo tak selamanya menjadi Presiden Republik Indonesia.
Jilal Mardhani, 13 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H