Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Korupsi Berjamaah, Sebuah Studi Kasus

28 Juli 2018   23:35 Diperbarui: 29 Juli 2018   19:15 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Milan Sladek | Kilas Balik | 2008 | Teater Salihara | foto Witjak Widhi Cahya

Ketika itulah RCTI menugaskan saya untuk membenahi. Tujuan utamanya adalah membalikkan laporan keuangan (PT Sindo Citra Media) yang merugi menjadi biru alias menguntungkan. Hal yang sama sekali tak mudah bahkan sangat kompleks. Mulai dari strategic proposition hingga pengembangan produk, dari brand development hingga rekayasa ulang business process, bahkan juga menyangkut pada struktur organisasi, sistem kepangkatan, jenjang karir, hingga formula renumerasinya. Untuk semua hal tersebut, saya mengajak serta 3 asisten khusus untuk membantu persiapan hingga pelaksanaan proses transformasi yang diperlukan. Direktur Keuangan RCTI juga ikut turun gunung bersama kami.

Meski demikian, kali ini bukan soal kerumitan aspek dan lingkup penugasan itu yang akan dibahas. Uraian lebih lanjut di bawah ini mencoba menggambarkan upaya transformasi yang pernah dilakukan pada salah satu bagian kecil dari program Nuansa Pagi. Saat itu, tayangan 'informasi' yang mengudara mulai jam 06:00 selama 2 jam tersebut, memiliki 'segmen wawancara' dengan tokoh-tokoh penting Indonesia. Pada bagian inilah ulasan yang akan disampaikan. Lebih spesifik lagi, sorotan utamanya adalah pada upaya pengendalian, pencegahan, hingga pemberantasan korupsi-kolusi-nepotisme yang berjangkit di sana.

Siaran Langsung

Hampir semua pejabat di masa itu menanti giliran untuk diwawancarai RCTI. Setelah stasiun itu mengudara, hampir seluruh masyarakat yang berada di wilayah jangkauan siarnya menjadi pemirsa setia. TVRI memang tak dilirik lagi. Laporan mingguan Nielsen, lembaga pemeringkat yang menyediakan hasil survei kepermisaan di sejumlah kota besar waktu itu, hanya mencatat 1-2 persen masyarakat yang masih setia menyaksikan lembaga penyiaran milik pemerintah tersebut.

Wawancara di layar RCTI berpeluang besar disaksikan para pengambil keputusan yang berpengaruh di republik ini. Termasuk orang nomor satu yang berkuasa kala itu, Suharto. Artinya, kesempatan bagi pejabat-pejabat yang diwawancara untuk 'mengkomunikasikan' hasil jerih payah yang telah dilakukan, maupun gagasan-gagasan yang sejalan dengan petunjuk Bapak Presiden.

Maka segmen tayangan tersebut membuka sejumlah peluang yang menguntungkan pribadi yang bertugas mewawancarai. Selain kedekatan personal dengan pejabat yang ingin diwawancara, jamak dimaklumi amplop 'uang lelah' yang biasanya menjadi buah tangan bagi awak yang bertugas.

Produksi segmen dialog tersebut kemudian menjadi area seksi yang dikuasai sosok-sosok tertentu. Relevansi materi yang dibahas saat wawancara dengan berita yang sedang hangat, menjadi perhatian, dan dibicarakan publik, acap kali bukan sebagai pertimbangan utama. Pelaksanaannya pun selalu dilakukan dengan rekaman. Artinya, wawancara dan pengambilan gambar dilakukan di kantor pejabat yang bersangkutan.

Seringkali hal-hal yang ditayangkan kemudian menjadi membosankan. Lebih menyerupai program ke-humas-an sang pejabat. Segmen dialog itu tentu semakin memperburuk kinerja Nuansa Pagi yang sebagian besar materi tayangnya sudah disiarkan melalui Seputar Indonesia sore sebelumnya.

Kami kemudian mengubah kebijakan dasarnya. Pertama, segmen dialog hanya boleh dilakukan melalui siaran langsung. Artinya, dengan keterbatasan perlengkapan dan teknologi saat itu, pejabat yang diwawancara harus hadir di studio. Kedua, materi yang perlu didalami melalui dialog langsung itu, harus relevan dengan tajuk berita yang sedang dikembangkan.

Ketiga, narasumber yang boleh diundang adalah Menteri atau pejabat yang setingkat. Bahkan level eselon di bawah Menteri pun --- seperti Direktur Jenderal dan sejenisnya --- tidak diperkenankan. Kecuali kondisi mendesak atau menyangkut hal khusus, seperti Menteri yang menjadi atasannya sedang berada di luar kota atau beliau tak menguasai detail teknis dari topik yang akan dibahas.

Rapat Redaksi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun