Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Keliru Memahami Kekeliruan

4 Juli 2018   11:41 Diperbarui: 4 Juli 2018   12:32 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Pameran Tisna Sanjaya di Galeri Nasional (pribadi)

Sombong terhadap hal-hal yang kita beriman padanya, adalah perlu dan harus. 

Kata mereka, kesombongan demikian tak merugikan siapapun kecuali diri sendiri. Padahal, bagi Anda yang mengimaninya, kesombongan tersebut tak mungkin menyebabkan derita atau kehilangan apa pun. Jadi, mereka bohong. Anda tak bakal rugi.

Sebaliknya Anda malah beruntung. Justru layak sumringah, bangga, dan bahagia terhadap iman yang perlu disombongkan itu. 

Keimanan memang soal harga diri. 

Tentu saja Anda layak sombong jika ada yang mempertanyakan keimanan itu dengan nada melecehkan. Apalagi kepada mereka yang coba-coba menggugatnya. 

Bukan hanya tak perlu. Anda bahkan sama sekali tak boleh ragu.  Sebab --- sekecil atau seringan apapun keraguan itu --- sesungguhnya Anda hanya pura-pura dan sok beriman saja. 

Singkat kata: keraguan menyombongkan keimanan itu adalah pertanda Anda termasuk golongan kaum munafik.

Karena iman adalah keyakinan yang mutlak. Tanpa keraguan, kompromi, negosiasi, atau kesepakatan apa pun. 

Titik. 

Artinya, Anda harus sepenuh hati, dan dengan segenap jiwa raga, menegakkan keimanan. Jangan biarkan bengkok karena apapun. Apalagi sampai membiarkannya roboh hingga terserak berkeping-keping.

Keimanan memang ranah pribadi. Jadi, Anda pun harus menghargai iman yang diyakini orang lain. Sepanjang tak mengganggu kemerdekaan Anda untuk mengimani hal-hal yang diyakini. 

Sebaliknya, Anda sesungguhnya munafik jika ingin memaksakan yang lain beriman pada keyakinan Anda. Biarkanlah mereka. Tak usah risau. Tak perlu galau. Keimanan Anda sama sekali tak mungkin bisa mereka pengaruhi. Sebab, merekapun harus menghormati keimanan Anda.

Jika Anda beriman tentang korupsi sebagai prilaku yang merugikan hak orang lain maka jangan sesekali melakukan dan mengampuninya. Anda justru diperbolehkan --- bahkan wajib --- memeranginya hingga tumpas. Seandainya pun sampai harus meregang nyawa, kematian Anda termasuk kategori syahid yang amat dimuliakan siapapun yang seiman. Termasuk oleh Tuhan yang tak menciptakan kita untuk saling mengkhianati di dunia fana ini.

Jadi, sangatlah lucu dan tak masuk akal jika prilaku korupsi yang Anda imani keburukannya itu, justru berlangsung di depan mata kepala sendiri. Bahkan bersikap pura-pura tak mengetahui dan menyingkir darinya pun, tak boleh. Jika demikian, Anda sesungguhnya munafik. Munafik tak kenal ringan, sedang, dan berat. Ia adalah cacat absolut yang membuktikan Anda bohong pada iman sendiri. 

Iman terhadap kebiadaban korupsi --- sebagaimana pula terhadap toleransi beragama, kesetaraan gender, keberadaan nafsu manusia, hak terhadap perlindungan hukum yang berkeadilan, kewajiban negara terhadap warga maupun sebaliknya, tugas pokok dan fungsi pemerintah, dan seterusnya --- merupakan kesepakatan kita untuk hidup bersama dan berdampingan dalam suatu Negara. 

Sedemikian pentingnya untuk dimaklumi dan dipatuhi --- oleh siapa pun --- sehingga kita perlu menuangkannya dalam dasar-dasar hukum yang berlandaskan konstitusi bernegara.

Jadi, undang-undang dan segenap peraturan konstitusional adalah keimanan kolektif yang harus kita junjung tinggi, hormati, dan patuhi. Tanpa keraguan, kompromi, negosiasi, atau kesepakatan apa pun.

Inilah persoalan utama bangsa kita hari ini. Dimana-mana, merata pada hampir seluruh lapisan manusianya, terjangkit "iman baru" yang bermutasi sejalan dengan sejarah peradabannya yang keliru: "permisifitas" alias "seni memaklumi kekeliruan". 

Tobat sesungguhnya berlangsung seketika. Bukan proses tawar-menawar yang sejatinya cuma untuk menghalalkan yang haram. 

Jadi, jika memang ingin menyelenggarakan pertobatan Nasional, pastilah berlangsung "gaduh", kawan!

Mengapa harus galau dengan kegaduhan? 

Kita bukan hanya boleh, tapi justru wajib sombong dalam menegakkan keimanan itu. Meski gaduh sekalipun. Khususnya terhadap mereka yang ingin menggugat, melecehkan, bahkan mengelabuinya! 

Sebab hidup ini adalah waktu. 

Selamat ulang tahun Amerika,
Jilal Mardhani, 4 Juli 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun