Sebaliknya, Anda sesungguhnya munafik jika ingin memaksakan yang lain beriman pada keyakinan Anda. Biarkanlah mereka. Tak usah risau. Tak perlu galau. Keimanan Anda sama sekali tak mungkin bisa mereka pengaruhi. Sebab, merekapun harus menghormati keimanan Anda.
Jika Anda beriman tentang korupsi sebagai prilaku yang merugikan hak orang lain maka jangan sesekali melakukan dan mengampuninya. Anda justru diperbolehkan --- bahkan wajib --- memeranginya hingga tumpas. Seandainya pun sampai harus meregang nyawa, kematian Anda termasuk kategori syahid yang amat dimuliakan siapapun yang seiman. Termasuk oleh Tuhan yang tak menciptakan kita untuk saling mengkhianati di dunia fana ini.
Jadi, sangatlah lucu dan tak masuk akal jika prilaku korupsi yang Anda imani keburukannya itu, justru berlangsung di depan mata kepala sendiri. Bahkan bersikap pura-pura tak mengetahui dan menyingkir darinya pun, tak boleh. Jika demikian, Anda sesungguhnya munafik. Munafik tak kenal ringan, sedang, dan berat. Ia adalah cacat absolut yang membuktikan Anda bohong pada iman sendiri.
Iman terhadap kebiadaban korupsi --- sebagaimana pula terhadap toleransi beragama, kesetaraan gender, keberadaan nafsu manusia, hak terhadap perlindungan hukum yang berkeadilan, kewajiban negara terhadap warga maupun sebaliknya, tugas pokok dan fungsi pemerintah, dan seterusnya --- merupakan kesepakatan kita untuk hidup bersama dan berdampingan dalam suatu Negara.
Sedemikian pentingnya untuk dimaklumi dan dipatuhi --- oleh siapa pun --- sehingga kita perlu menuangkannya dalam dasar-dasar hukum yang berlandaskan konstitusi bernegara.
Jadi, undang-undang dan segenap peraturan konstitusional adalah keimanan kolektif yang harus kita junjung tinggi, hormati, dan patuhi. Tanpa keraguan, kompromi, negosiasi, atau kesepakatan apa pun.
Inilah persoalan utama bangsa kita hari ini. Dimana-mana, merata pada hampir seluruh lapisan manusianya, terjangkit "iman baru" yang bermutasi sejalan dengan sejarah peradabannya yang keliru: "permisifitas" alias "seni memaklumi kekeliruan".
Tobat sesungguhnya berlangsung seketika. Bukan proses tawar-menawar yang sejatinya cuma untuk menghalalkan yang haram.
Jadi, jika memang ingin menyelenggarakan pertobatan Nasional, pastilah berlangsung "gaduh", kawan!
Mengapa harus galau dengan kegaduhan?
Kita bukan hanya boleh, tapi justru wajib sombong dalam menegakkan keimanan itu. Meski gaduh sekalipun. Khususnya terhadap mereka yang ingin menggugat, melecehkan, bahkan mengelabuinya!