Jika sekitar 1.100 armada busway pada koridor-koridor yang ada, plus sejumlah rute angkutan perbatasannya yang terintegrasi, hanya mampu melayani sekitar 500-600 ribu penumpang, berapa kira-kira jumlah yang terlayani dengan tambahan sekitar 280 bus tersebut?
Mari kita berhitung sederhana saja.
Hal tersebut belum mempertimbangkan angkutan pengumpan yang dibutuhkan agar memudahkan mereka yang dipaksa beralih ke layanan angkutan umum massal Transjakarta tersebut, menjangkau halte-halte atau tempat-tempat perhentian yang disediakan. Begitu pula dengan buruknya kondisi fasilitas pedesterian dari lokasi asal maupun ke tujuan akhir perjalanan mereka.
Sebanyak 15 ribu atlet dan official yang ingin kita jamu tersebut tentu tak setiap saat berlalu-lalang di jalan-jalan raya yang menerapkan kebijakan ganjil-genap itu. Juga di lintasan khusus yang katannya ingin disediakan pada sejumlah ruas jalan tol. Tidakkah terbayang kedongkolan publik yang menyaksikan ruang-ruang kosong di sana, saat mereka terjebak kemacetan nanti?
Hal kedua, wilayah cakupan kebijakan ganjil-genap yang diterapkan sangat luas dibanding sebelumnya yang hanya di Jalan Sudirman-Thamrin. Rentang waktunya juga sehari penuh, dari jam 6:00 pagi hingga 21:00 malam. Yakni ketika 85% perjalan sehari-hari masyarakat umumnya berlangsung. Pertanyaannya, berapa banyak petugas yang harus ditempatkan di lokasi-lokasi yang agar ketertiban masyarakat mematuhi kebijakan tersebut sungguh-sungguh berlangsung?
Jika tetap dipaksakan, hal yang justru dikhawatirkan adalah berkembangnya "kreativitas nakal" untuk menyiasati. Sulit dihindari jika banyak yang memiliki gagasan untuk mengganti nomor kendaraan (palsu) sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Hal ini tentu sangat merepotkan.
Hal ketiga, adalah ketertiban pada jalan-jalan raya yang tidak diberlakukan kebijakan ganjil-genap. Tapi justru menjadi alternatif lintasan.
Kurang lebih setengah perjalanan sehari-hari masyarakat Jakarta hari ini menggunakan sepeda motor. Kita maklum, dan sehari-hari sudah mengalaminya, persoalan ketertiban para pengendara sepeda motor memang sangat memprihatinkan. Mereka telah membangun berbagai kebiasaan dan perilaku yang sangat bertentangan dengan kaidah maupun prinsip dasar ketertiban berlalu-lintas.
Kepadatan mobil pribadi yang semakin tinggi dan terjadi di jalan-jalan alternatif setelah kebijakan ganjil-genap itu, tentu akan memperparah keadaan. Kehadiran petugas untuk menjaga ketertibannya sangat dibutuhkan. Apakah instansi terkait kelak masih mampu menyediakan dan menanganinya sementara kebutuhan untuk memastikan kebijakan ganjil-genap terlaksana saja sudah demikian besar?
Hal yang mengherankan, justru kebijakan terkait pembatasan pengendara sepeda motor hampir tak disentuh sama sekali. Padahal, inilah salah satu sumber permasalahan transportasi kota hari ini.
Saya tak tahu apakah di balik kebijakan penerapan ganjil-genap bagi kendaraan mobil pribadi tersebut, terselip pertimbangan yang populis. Bagaimanapun, karena mereka tetap terimbas implikasi kebijakan tersebut, sangat mungkin pemerintah juga tak mudah mendapat dukungan dan simpati dari mereka.