Selasa 10-4-2018 sore kemarin, kendaraan kami baru saja meninggalkan komunitas yang terletak di jalan Salihara, merayap menuju Bandung. Mas Goen yang duduk di depan, membaca pesan yang masuk lewat telpon genggamnya, lalu berkata, "Mas Danarto ditabrak sepeda motor!"
Kami hampir tiba di kediaman Mas Endo yang terletak di Bandung Utara, sekitar 6 jam kemudian. Lalu diterimanya kabar yang lain: seniman Danarto telah mengembuskan nafasnya yang terakhir.
+++
Sejak lama, berulang kali saya mengumandangkan kekhawatiran terhadap wabah sepeda motor yang melanda keseharian kita. Jenis kendaraan yang bertambah begitu pesat sehingga menguasai jalan-jalan raya. Di Jakarta, jumlah yang tercatat (14 juta unit) melebihi penduduknya (10 juta jiwa).
Saat ini, dari 50 juta perjalanan yang setiap hari berlalu-lalang di Ibu Kota, diperkirakan sekitar 70 persen di antaranya menggunakan sepeda motor. Mereka adalah penghuni jalan raya yang "diabaikan". Sebab, hingga kini ruang gerak dan lintasannya di sana tak kunjung pernah difikirkan. Bahkan setelah menjadi pengguna terbanyak.
Mereka yang ada tapi tak diacuhkan itu, akhirnya terpaksa menggusur yang lain. Mendirikan tata krama dan adat-istiadatnya sendiri. Lalu memaksakan sekaligus mengukuhkan peradaban baru. Meskipun chaos dan liar.
Menyusul dari sisi kiri seolah menjadi hal yang seharusnya. Melawan arah dari arus lalu-lintas yang padat adalah hal biasa. Membonceng lebih dari satu penumpang, atau tidak menggunakan pelengkap keselamatan, seolah wajar saja.
Membawa anak kecil, berbelok sembarangan, melintas di atas trotoar, dan berhenti di sembarang tempat, bukan sesuatu yang berdosa. Bahkan mengangkut muatan berlebih yang bukan hanya berbahaya bagi pengemudinya, tapi juga kendaraan lain, tak lagi dipahami sebagai hal yang salah.
Para pengendara sepeda motor hari ini justru sering berang ---bahkan kadang beringas--- jika ada yang menegur, mengingatkan, atau menghalangi kebiasaan-kebiasaannya yang tak senonoh itu. Meskipun sesungguhnya demi kebaikan diri mereka sendiri dan pengguna jalan raya yang lain.
+++
Wabah sepeda motor itu telah terlalu sering memakan korban. Kadang mematikan, seperti yang dialami Mas Danarto. Konon ia ditabrak saat hendak menyeberang jalan raya di dekat rumah kontrakannya di Ciputat.
Kita harus segera mencari jalan keluar untuk mengakhiri kekeliruan yang buas, kejam, dan tak berperikemanusiaan ini. Persoalan pokoknya memang pada ketidak-mampuan, sekaligus keteledoran Negara, menyelenggarakan sistem angkutan umum yang layak dan memadai untuk menunjang kehidupan sehari-hari warganya.
Bukan hanya hari ini. Tapi sejak merdeka dan paling parah justru semasa Orde Baru berkuasa. Memiliki dan menggunakan sepeda motor menjadi "pilihan yang terpaksa" dilakukan. Begitu pun, nyatanya tak juga dihargai, apalagi dihormati, Negara ini.
Ironisnya, sebagian kegiatan operasional pemerintah yang menjadi lembaga eksekutif negara, justru dihidupi oleh kehadiran sepeda motor yang dikatakan mewabah itu. Contohnya Jakarta. Hampir setengah (42 persen) Pendapatan Asli Daerah yang bersumber dari pajak dan retribusi (2016: Rp 31,5 triliun), justru berasal dari pos-pos yang terkait erat dengan keberadaan kendaraan, termasuk sepeda motor.
Walau demikian, lembaga-lembaga kekuasaan negara masih saja kaku berkutat pada sistem dan tatanan birokrasinya yang usang. Meskipun berbagai peluang pernah hadir silih berganti. Mulai dari saat perekonomian kita yang dahulu sempat mewah: ketika minyak mentah yang disemburkan perut ibu pertiwi masih berlimpah ruah dengan harga pasaran yang tinggi.
Hingga kesempatan tak berhingga yang tersedia hari ini: untuk mengembangkan gagasan dan inovasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital yang ada.
Semua itu dengan mudah kita saksikan melalui drama kehadiran angkutan ojek online yang terakhir ini berkembang. Hal itu sesungguhnya salah satu bentuk persekutuan dari berbagai fenomena yang kita alami dan jelaskan tadi: ketidakmampuan negara menyelenggarakan hak konstitusional warga terhadap transportasi publik, keterpaksaan masyarakat memiliki dan menggunakan kendaraan pribadi terutama sepeda motor, lapangan kerja di lingkungan urban yang semakin sempit, dan kemajuan teknologi digital yang memotori Revolusi Industri 4.0.
+++
Mungkin lebih banyak permakluman yang bisa kita lakukan jika urusan fasilitas pedestrian masih tertangani dengan baik. Berjalan kaki semestinya kegiatan transportasi paling sederhana yang dilakukan siapapun.
Pelayanan angkutan umum sendiri mensyaratkan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan fasilitas bagi para pejalan kaki untuk menuju maupun meninggalkan perhentian-perhentiannya. Tapi hal itu pun tak pernah ditangani dengan sungguh-sungguh. Lebih dikarenakan kesalahan orientasi yang terlalu menganak-emaskan pergerakan kendaraan, khususnya mobil.
Bayangkan saja, dari 6,3 juta meter panjang jalan Jakarta, fasilitas pedestrian yang tersedia hanya 8,6 persennya saja atau 543.000 meter (Statistik Transportasi DKI 2017).
Saya khawatir, almarhum Danarto menyeberangi jalan yang kemudian mencelakakan dirinya, tidak pada tempat yang memang tak pernah disediakan.
Selamat jalan, mas Danarto. Mudah-mudahan Indonesia bergegas mengambil hikmah dari "pelajaran" yang sangat mahal ini.
Jilal Mardhani, 11 April 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H