Kita harus segera mencari jalan keluar untuk mengakhiri kekeliruan yang buas, kejam, dan tak berperikemanusiaan ini. Persoalan pokoknya memang pada ketidak-mampuan, sekaligus keteledoran Negara, menyelenggarakan sistem angkutan umum yang layak dan memadai untuk menunjang kehidupan sehari-hari warganya.
Bukan hanya hari ini. Tapi sejak merdeka dan paling parah justru semasa Orde Baru berkuasa. Memiliki dan menggunakan sepeda motor menjadi "pilihan yang terpaksa" dilakukan. Begitu pun, nyatanya tak juga dihargai, apalagi dihormati, Negara ini.
Ironisnya, sebagian kegiatan operasional pemerintah yang menjadi lembaga eksekutif negara, justru dihidupi oleh kehadiran sepeda motor yang dikatakan mewabah itu. Contohnya Jakarta. Hampir setengah (42 persen) Pendapatan Asli Daerah yang bersumber dari pajak dan retribusi (2016: Rp 31,5 triliun), justru berasal dari pos-pos yang terkait erat dengan keberadaan kendaraan, termasuk sepeda motor.
Walau demikian, lembaga-lembaga kekuasaan negara masih saja kaku berkutat pada sistem dan tatanan birokrasinya yang usang. Meskipun berbagai peluang pernah hadir silih berganti. Mulai dari saat perekonomian kita yang dahulu sempat mewah: ketika minyak mentah yang disemburkan perut ibu pertiwi masih berlimpah ruah dengan harga pasaran yang tinggi.
Hingga kesempatan tak berhingga yang tersedia hari ini: untuk mengembangkan gagasan dan inovasi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital yang ada.
Semua itu dengan mudah kita saksikan melalui drama kehadiran angkutan ojek online yang terakhir ini berkembang. Hal itu sesungguhnya salah satu bentuk persekutuan dari berbagai fenomena yang kita alami dan jelaskan tadi: ketidakmampuan negara menyelenggarakan hak konstitusional warga terhadap transportasi publik, keterpaksaan masyarakat memiliki dan menggunakan kendaraan pribadi terutama sepeda motor, lapangan kerja di lingkungan urban yang semakin sempit, dan kemajuan teknologi digital yang memotori Revolusi Industri 4.0.
+++
Mungkin lebih banyak permakluman yang bisa kita lakukan jika urusan fasilitas pedestrian masih tertangani dengan baik. Berjalan kaki semestinya kegiatan transportasi paling sederhana yang dilakukan siapapun.
Pelayanan angkutan umum sendiri mensyaratkan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan fasilitas bagi para pejalan kaki untuk menuju maupun meninggalkan perhentian-perhentiannya. Tapi hal itu pun tak pernah ditangani dengan sungguh-sungguh. Lebih dikarenakan kesalahan orientasi yang terlalu menganak-emaskan pergerakan kendaraan, khususnya mobil.
Bayangkan saja, dari 6,3 juta meter panjang jalan Jakarta, fasilitas pedestrian yang tersedia hanya 8,6 persennya saja atau 543.000 meter (Statistik Transportasi DKI 2017).
Saya khawatir, almarhum Danarto menyeberangi jalan yang kemudian mencelakakan dirinya, tidak pada tempat yang memang tak pernah disediakan.