Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dilema Wajib Pajak Indonesia

20 Maret 2018   12:33 Diperbarui: 20 Maret 2018   15:12 3012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tahun, menjelang tanggal 31 Maret, para wajib pajak (perorangan) Indonesia kembali dihebohkan urusan melunasi pajak tahunan yang terhutang dan menyerahkan SPT (Surat Pemberitahuan) pribadinya.

Seorang rekan nyeletuk di sebuah grup media sosial, "Tadi di radio disebut jumlah pemilik NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) Indonesia hanya 4,1 juta. Kok sedikit ya?"

Saya tak tahu berapa jumlah persisnya. Tapi diperkirakan pemilik NPWP kita kurang lebih memang berkisar pada angka 4-5 juta. Sebab, sesuai dengan pengetahuan umum yang telah beredar luas, persentase pemiliknya memang berkisar pada angka 10 persen. Tentunya diperhitungkan dari jumlah keluarga. Jika penduduk Indonesia berkisar 260 juta dan jumlah anggota keluarga rata-rata 5 orang, maka memang demikianlah adanya.

Rekan tersebut kemudian bertanya apakah angka tersebut ideal?

Sebetulnya, jika memaklumi angka ketentuan PTKP, yakni (besaran) penghasilan (setahun yang) tidak kena pajak, rasio pemilik NPWP sebesar 10,4 persen dari jumlah keluarga Indonesia itu, tentu cukup wajar. Acuannya pada UMR (Upah Minimum Regional) saja. Tahun 2018 ini, UMR DKI Jakarta pada kisaran Rp 3,6 juta. Jika di-setahun-kan, termasuk tunjangan Hari Raya, pendapatannya hanya Rp 46,8 juta. Masih jauh di bawah PTKP mereka yang masih membujang, yakni Rp 54 juta. Jika sudah menikah, nilai PTKP bertambah Rp 4,5 juta per anggota keluarga.

Sementara ini, seperti sejumlah penjelasan ketika masa heboh Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) tahun lalu, Negara masih melonggarkan masyarakat yang penghasilannya lebih rendah dari ketentuan PTKP, untuk tak memiliki NPWP. Jadi, jika sebagian besar penduduk masih berpenghasilan rata-rata setara UMR, tentulah rasio kepemilikan NPWP itu wajar.

++

Ah, saya jadi teringat harus menyampaikan SPT juga.

Selama setahun kemarin, saya pernah beberapa kali menerima sejumlah honor ketika diundang sebagai narasumber atau pembicara. Panitia penyelenggara biasanya menyerahkan honor dan pengganti ongkos transportasi sesaat setelah acara usai. Sebelumnya mereka tentu meminta saya untuk menanda-tangani formulir tanda terima. Di sana biasanya tertera jumlah honor kotor, potongan pajak, dan jumlah honor netto sesuai dengan yang diserahkan.

Tapi persoalannya, instansi-instansi yang menyerahkan honor tersebut, tak pernah menyampaikan Bukti Potong PPh (Pajak Penghasilan) yang mereka lakukan terhadap honor saya tersebut. Sebagian besar di antara mereka justru instansi pemerintah. Ketertiban yang rajin mereka lakukan, selain menyerahkan honor dan ongkos transportasi yang menjadi hak kita, adalah menagih salinan KTP dan NPWP. Ada juga yang meminta nomor rekening karena pembayarannya dilakukan melalui transfer antarbank. Tapi, berdasarkan pengalaman saya selama ini, tak satu pun instansi itu yang pernah meyampaikan atau menyerahkan Bukti Potong PPh-nya. Saya pernah menanyakan, dijawab akan dikirim, tapi tak pernah terjadi!

Melaporkan penerimaan itu adalah kewajiban saya kepada negara, berapa pun besarnya. Saya harus mencantumkan sumber dan besaran yang diterima pada SPT yang akan diserahkan paling lambat tanggal 31 Maret nanti. Semestinya dengan melampirkan Bukti Potong PPh dari instansi yang memberi saya penghasilan. Sebab, potongan tersebut, bersama dengan bukti pembayaran PPh Masa dan potongan yang lain, akan menjadi pengurang dari jumlah pajak terhutang tahun lalu yang harus saya lunasi.

Maka dilema yang sangat mungkin dialami siapa pun pembayar pajak Indonesia hari ini, segera menerpa saya. Jika saya tak mencamtumkan penghasilan honor dan ongkos transportasi yang diterima tersebut pada SPT, suatu saat sangat mungkin menjadi masalah subversif karena jejak penghasilan itu, sesungguhnya sudah terekam. Jangan lupa, saya sudah menyerahkan identitas termasuk NPWP, mereka telah mencantumkannya pada formulir penyerahan honor dan ongkos transportasi itu, dan saya sudah menanda-tangani dan menerima uangnya.

Tapi tetap mencantumkannya di dalam SPT tahunan, tanpa Bukti Potong PPh yang dikeluarkan instansi yang membayarkan honor dan ongkos transportasi itu, saya tak bisa mengakui bagian PPh 21 yang pernah dibayarkan. Artinya saya tak bisa menggunakan sebagai pengurang dari jumlah pajak terhutang tahun lalu yang harus dibayarkan. Secara pribadi tentu saya dirugikan. Sebab, saya berarti telah membayar pajak lebih besar dari yang seharusnya menjadi kewajiban.

Jadi sesungguhnya negara akan berutang kepada saya yang telah membayar lebih. Kelak jika Bukti Potong PPh tersebut saya terima, mungkin masih bisa dikreditkan atau mengupayakan restitusinya. Ini berarti menjadi urusan tak perlu yang akan menyita waktu dan tenaga yang mungkin jauh lebih mahal. Tapi jika administrasinya tidak dilakukan maka ketentuan perpajakan akan menempatkan saya sebagai pihak yang bersalah.

+++

Tapi rekan yang nyeletuk di grup media sosial tadi, juga pernah beberapa kali menyertakan saya sebagai fasilitator program pelatihan yang diselenggarakannya. Setelah selesai, dia juga selalu mentransfer sejumlah honor ke rekening pribadi saya.

Terus terang, saya hampir lupa pernah menerima pendapatan yang terkait dengan kewajiban pajak pribadi dari rekan tersebut. Mungkin karena sepanjang tahun 2017 lalu, kami hanya melakukannya beberapa kali yang satu dengan lainnya berselang cukup lama. Celetukannya soal kepemilikan NPWP kemudian mengingatkan saya sehingga langsung menghubunginya melalui jalur pribadi.

"Mas, honor yang pernah diserahkan kepada saya sudah dipotong pajak?"

"Belum dipotong kok Mas," jawabnya.

Saya menduga perusahaan yang digunakan untuk mendapat pekerjaan pelatihan tersebut semestinya terkategori PKP atau Pengusaha Kena Pajak kecuali masih tergolong kecil karena omsetnya masih di bawah Rp 4,8 miliar. Saya tak tahu apakah dengan demikian menggugurkan kewajiban untuk memungut PPh 21 dari honor yang diserahkannya kepada saya.

"Kalau gitu, tolong nama perusahaan dan NPWP nya saja mas, biar saya cantumkan di SPT".

Kelihatannya dia keberatan untuk menyerahkan data-data itu. Kilahnya, staf keuangan mereka hanya membukukan sebagai pengeluaran (expenses). Saya kemudian memastikan apakah penerimanya mencantumkan nama dan NPWP pribadi saya. Jawabnya, tidak.

Kasus ini menghadirkan dilema lain bagi pembayar pajak Indonesia seperti saya. Bagaimanapun, penghasilan yang saya terima sebagai honor fasilitator pelatihan tersebut, semestinya tetap dilaporkan. Seandainya belum ada pemotongan apapun, saya tetap bisa memperhitungkan pajak terhutang yang harus dilunasi.

Bagaimana jika saya tak mengakuinya?

Sementara waktu mungkin aman dan belum terlacak. Mungkin hingga suatu saat nanti, kantor pajak melakukan pemeriksaan di perusahaan rekan itu dan menemukan pengeluaran (expenses) yang ditujukan kepada saya. Dari sana kantor pajak akan memiliki bukti permulaan untuk mempertanyakan dan menyelidik dugaan penggelapan pajak yang saya lakukan.

Begitu pula sebaliknya.

Jika saya mencantumkan sebagai pendapatan lain-lain yang menjadi obyek kewajiban pribadi, kantor pajak juga memiliki bukti permulaan untuk menelusuri pembayarnya.

+++

Hal di atas sesungguhnya menjelaskan kebijakan pemberian NPWP yang diprioritaskan kepada mereka yang memiliki penghasilan di atas PTKP adalah sebuah kekeliruan. Sebab NPWP semestinya melekat pada lembaga atau perorangan yang melakukan transaksi apapun. Soal tarif yang membedakan, bahkan 0 persen sekalipun, adalah hal lain.

Begitu pula soal PKP. Tertib pajak dimulai dari sana.

Negara harus "move on". Manfaatkan kemajuan teknologi dan peradaban zaman. Jangan terus terjerembab dengan sistem dan tatanan birokrasi kuno yang sudah ketinggalan zaman. Sebab, ujung dari digitalisasi yang menghadirkan berbagai disrupsi dalam kehidupan kita hari ini, berujung pada demokratisasi yang meletakkan semuanya pada posisi setara: pemerintah maupun rakyatnya.

Jilal Mardhani, 20-3-2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun