Kita beriman pada pers yang merdeka tapi secara profesional bertanggung jawab terhadap laku, kerja, dan karyanya. Mereka adalah salah satu dari 4 pilar yang menjamin tegaknya demokrasi di tengah kehidupan masyarakat madani.
Tapi, dalam jangka waktu kurang dari 2 dasawarsa yang terakhir, zaman telah mengalami perubahan yang amat pesat. Yakni ketika 'internet of things' melanda dan meluluh-lantakkan prilaku dan budaya yang sebelumnya merupakan bagian dari tradisi kehidupan sehari-hari. Menekuni dan mengaku sebagai profesional di bidang tertentu --- yang sebelumnya perlu melalui proses 'sakral', 'berjenjang', bahkan 'bertele-tele' --- semakin dimungkinkan sekaligus dimudahkan. Dalam kehidupan pasar yang semakin 'terbuka' luas dan sangat 'bebas' sekarang, 'sertifikasi' profesi menjadi semakin tak berperan dan kehilangan makna. Kecuali pada wilayah dimana otorisasi kekuasaan masih memiliki pengaruh yang menentukan.
Fenomena 'disruptif' itu juga berlangsung di dunia jurnalistik. Teknologi digital kini memungkinkan siapapun memainkan peran apapun. Setiap anggota masyarakat 'bisa' melakukan kerja jurnalistik. Meliput dan mengabarkan segala sesuatu yang diinginkannya sehingga jagad raya kita bukan hanya kebanjiran 'informasi', tapi juga 'berita'. Bedanya, mereka tak peka --- bahkan mungkin tak peduli --- dengan prinsip, kaidah, maupun standar profesionalisme jurnalistik yang sebelumnya berlaku, agar marwah sebagai bagian dari pilar-pilar demokrasi tadi, tetap terpelihara.
+++
Di awal tahun 1990-an, 'informasi' dan 'berita' itu dipisahkan tegas oleh jurang 'subversif'. Media televisi swasta pertama Indonesia, RCTI, dilarang Undang-Undang memproduksi dan menayangkan warta berita. Hal yang kemudian terjadi adalah penyiasatan istilah untuk melegalisasi Seputar Indonesia. Tayangan yang memuat 'berita' Tanah Air dan sesekali manca negara tersebut --- mengudara setiap hari selama 30 menit pada jam 18:30 malam --- dengan sebutan 'program informasi'. Oleh sebab itu, awak yang bekerja di sana tak harus mengantongi kartu anggota Persatuan Wartawan Indonesia. Mereka semua seolah bekerja sebagai 'jurnalis abal-abal', karena keberadaannya tak dikukuhkan melalui sertifikasi profesi wartawan yang saat itu resmi diakui Negara.
+++
Kemudahan, kebebasan, dan kemerdekaan yang ditawarkan 'internet of things' telah mendistorsi pemahaman publik tentang definisi maupun makna profesionalisme jurnalistik. Sayangnya, pemangku yang paling berkepentingan di sana, juga 'terjebak' pada zona nyaman masa lalu dan kegamangannya. Mereka tergagap-gagap, tak melakukan persiapan memadai dan semestinya, untuk mentransformasi dunia profesi yang ditekuni. Situasi yang saat itu berkembang memang kikuk dan serba salah. Sejalan dengan euforia demokratisasi yang sedang melanda, segala bentuk yang mengarah ataupun diduga proteksionisme, seolah menjadi musuh bersama dan siapa saja.
Kita semua memaklumi jika hari ini, aneka berita bisa tiba kapan saja, dimana saja, dan bagi siapa saja, melalui perangkat telepon genggam dan berbagai gawai personal lain yang dimiliki hampir setiap masyarakat. Koran dan majalah telah lama menjadi masa lalu dan sedang menuju kepunahan total. Berita di televisi-pun sedang mengalami proses yang sama. Sebab, segala sesuatu yang melatar belakangi kehadiran media-media itu, semakin tersedia di dunia maya dengan cara yang jauh lebih mudah, murah, dan nyaman, sesuai dengan preferensi personal masing-masing.
Tapi yang sesungguhnya paling mengerikan, justru apa yang terjadi pada pergeseran preferensi, prilaku, dan pola 'konsumsi' masyarakat pada karya jurnalistik. Banjir informasi yang kini berlimpah ruah, semakin memungkinkan siapa saja mencari, menemukan, bahkan menyeleksi hal-hal yang sesuai dengan subyektifitas minat pribadinya. Berita yang terkait dengan keberadaan maupun isi 'ruang demokrasi sosial' dimana semua, atau sebagian besar masyarakat penghuninya, bertemu dan mengelola keberagaman dalam kebersamaan, semakin tersisih. Apalagi ketika mereka yang berprofesi memelihara, mengelola, dan mengembangkan 'ruang demokrasi sosial' itu tidak amanah bahkan mengkomersialisasikannya dengan cara berkhianat, menyalah gunakan, dan mengeksploitasi 'ruang' itu, demi kepentingan sempit pribadi maupun golongan atau kelompoknya.
+++
'Internet of things' cenderung menggiring siapa pun, menjadi semakin sibuk dengan dirinya sendiri. Merangsang gairah dan menjadikan insan manusia lebih individualis --- bahkan egois --- dibanding sosok-sosok kehidupan di era teknologi analog lampau.
Semua itu karena 'internet of things' memberi peluang dan keleluasaan yang begitu luas kepada masing-masing kita, untuk memilih dan menentukan hampir segala-galanya, sesuai selera dan kemampuan. Parameter selera dan kemampuan tersebut pun tak hanya pada hal-hal yang terukur maupun bernilai finansial dan ekonomi, tapi juga mencakup berbagai kecerdasan yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain: intelektual, emosional, maupun spiritual.
Dalam banyak hal, peran 'perantara' yang sebelumnya memiliki kuasa mengarahkan bahkan mendikte, telah diambil alih oleh perangkat-perangkat yang memiliki kecerdasan buatan yang bahkan lebih canggih dari manusia. Contohnya ketika kita perlu memesan kamar hotel atau penerbangan. Aplikasi komputer yang terhubung secara online telah menyingkirkan manusia yang sebelumnya berperan membantu kita untuk menemukan pesanan hotel atau penerbangan yang cocok. Bahkan dengan cara yang jauh lebih mudah, murah, nyaman, dan 'bersahabat'.
Tapi semua kemewahan itu sesungguhnya juga menyebabkan kita menjadi lebih sibuk dan asyik dengan berbagai hal yang bersifat personal. Kemudahan untuk memilih dan menentukan sendiri kamar hotel maupun penerbangan yang akan digunakan, menyebabkan kita menghabiskan waktu lebih banyak berselancar di dunia maya untuk memahami dan meyakinkan diri terhadap pilihan yang ditetapkan. Sebab aneka ragam informasi yang terkait memang tersedia di sana. Sementara itu, pada dasarnya setiap manusia selalu ingin mendapatkan yang terbaik bagi dirinya. Mereka juga tak sudi ditipu maupun tertipu.
Masalahnya, definisi atau hal yang dikategorikan sebagai 'penipuan' tak hanya menyangkut hal-hal yang terukur (tangible). Penipuan juga mencakup rentang nilai relatif dan tak berwujud (intangible) yang sangat lebar jika disangkut-pautkan dengan kapasitas dan kapabilitas kecerdasan yang dimiliki, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual tadi.
Hal yang sama juga terjadi pada prilaku dan kebiasaan mengkonsumsi berita.
Setiap orang kini berkesempatan luas yang hampir tanpa batas, untuk memanjakan beragam minat dan keingin-tahuannya. Pada saat yang sama, Revolusi Industri 4.0 ini juga membuka peluang yang sangat luas bagi siapapun untuk menekuni pemasokan berita atau informasi spesifik yang menarik perhatiannya, dengan pengorbanan yang jauh lebih sederhana, lebih murah, lebih nyaman, dan lebih 'personal', dibanding era media konvensional sebelumnya.
Kedua supply-demand itu kemudian bertemu di 'pasar swalayan' dunia maya yang luasnya hampir tak berbatas. Maka media konvensional yang mempertahankan kepuritannya --- meski sudah latah memasuki dunia digital --- semakin kehilangan peminat.
Sebab, mereka yang mempertahankan gaya, cara, dan pendekatan kuno, sesungguhnya hanya melayani sebagian pelanggan masa lampau dengan segala romantismenya. Sementara dalam perjalanan waktu yang terus-menerus diramaikan kemunculan inovasi dan kreatifitas berbasis teknologi digital, pangsa pasar mereka sesungguhnya semakin tergerus dan tak berarti.
+++
Tanyakanlah kepada mereka yang tergolong generasi Y(milenial, lahir pada era 1980-an dan 1990-an) di sekitar Anda: apakah mereka masih mengikuti berita-berita yang dipublikasikan perusahaan-perusahaan koran atau majalah yang masih beroperasi hari ini, sekalipun telah memiliki edisi versi digital?
Anda akan kesulitan untuk hanya menemukan 1 diantara 10 orang yang menyadari (apalagi aktif mengikuti) karya-karya jurnalistik di media koran maupun majalah konvensional, meskipun dalam versi digital yang umumnya tetap berbayar. Sebab mereka adalah kelompok masyarakat yang terlahir dalam situasi yang bersamaan dengan pesatnya perkembangan teknologi digital dan internet merasuki segala aspek kehidupan. Generasi yang hadir di tengah 'surga kemudahan' untuk melakukan eksplorasi keingin-tahuan, keberanian mencoba sesuatu dan hal-hal baru, serta membangun jati dirinya. Sebagian kalangan bahkan memberi label mereka sebagai generasi spesial yang lebih terlindungi, memiliki perkembangan kepercayaan diri yang tinggi, berwawasan kelompok, tahan terhadap tekanan, dan selalu berorientasi mengejar pencapaian. Singkat kata, mereka adalah generasi yang dicirikan cenderung mementingkan diri sendiri dan hedonis.
Jika mereka kemudian beranggapan --- membayar biaya langganan agar dapat mencicipi karya jurnalistik koran dan majalah tradisional meskipun dalam versi digital yang sesuai dengan gaya hidupnya, adalah sebuah pemborosan yang sia-sia --- seyogyanya harus dan perlu dipahami, sekaligus dimaklumi, oleh para pemilik dan pengelola perusahaan-perusahaan media tersebut.
Mengapa demikian?
Pertama, di era 'internet of things' ini, exclusivity berita maupun informasi sesungguhnya hampir tidak bernilai lagi. Terutama untuk hal-hal yang bersangkut paut dengan public domain. Sebab, dalam hitungan detik, kabar-kabar yang dianggap istimewa tersebut, akan segera menyebar dari bermacam sumber lain yang relatif tak mengutip biaya langsung apapun. Jika demikian, mengapa mereka harus membayar untuk hal yang bisa diperoleh secara gratis?
Kedua, meskipun koran dan majalah tradisional itu telah memiliki versi digital, mereka masih terikat dengan ketentuan penjadwalan publikasi (jadwal terbit) yang di era 'internet of things' ini, sesungguhnya sudah tak relevan lagi. Semua itu dimaklumi 'terpaksa' mereka --- Kompas, Tempo, Jawapos, Republika, dan seterusnya --- patuhi karena masih menganggap kehadiran koran atau majalah versi cetakan fisik di pasar, sebagai hal penting dan utama. Anggapan tersebut tentunya sangatkeliru. Sebab, versi cetak kertas koran atau majalah itu, semakin hari semakin tak digubris oleh masyarakat yang telah kenyang dibanjiri oleh berbagai pasokan digital yang hadir setiap saat tanpa jeda, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Ketiga soal literasi terhadap berita yang memenuhi kaidah profesionalisme jurnalistik. Kemudahan memperoleh beraneka ragam berita maupun informasi hari ini, juga mengasah kemampuan dan kedewasaan siapa saja untuk membangun 'sistem redaksi'-nya masing-masing. Bahwa sesungguhnya --- karena perbedaan tingkat 'kecerdasan' yang sebelumnya diungkapkan tadi --- terjadi 'penipuan' pada keyakinan mereka terhadap kebenaran kabar yang disampaikan, adalah soal lain. Jadi, kepuritan koran dan majalah tradisional menjadwalkan publikasi karya jurnalistik profesionalnya, justru membuka peluang bagi mereka yang dengan sengaja dan terencana ingin menyelewengkan kebenaran berita maupun informasi itu. Sebab mereka lebih berpeluang dan leluasa membanjiri pasar yang selalu bebas dan merdeka mengejar kecepatan, kehandalan, dan kemudahan. Dalam hal ini, 'kualitas' memang telah menjadi sesuatu yang sangat subyektif. Kita tentu masih mudah mengingat implikasi pemelintiran kabar penghujatan ayat suci yang menyebabkan Ahok dipenjara kemarin, bukan?
+++
Tempo, Kompas, dan media tradisonal lain yang masih mempertahankan prinsip prioritas utama karya jurnalistik profesionalnya pada jadwal terbit versi cetak, akan berkilah bahwa mereka memiliki layanan website online yang selalu diperbaharui dan dapat diakses publik secara gratis setiap saat.
Sangat disayangkan karena mereka tak memahami bahwa dengan sengaja telah mempopulerkan 'rasialisme jurnalistik' yang sama sekali bertentangan dengan ciri dan karakter generasi milenial.
Jika sebuah lembaga menawarkan 2 produk yang 'sama', tapi yang satu gratis sementara yang satu lagi berbayar, maka dengan mudah akan berkembang anggapan bahwa produk yang perlu mengeluarkan biaya untuk memperolehnya, lebih 'berharga' dibanding yang lain. Bahkan bukan tidak mungkin muncul anggapan bahwa produk yang disediakan cuma-cuma sebagai hal yang tak penting, tidak berguna, bahkan sampah.
Persepsi itu tentunya sangat bertentangan dengan ciri generasi milenial dan masyarakat digital hari ini yang sangat percaya diri, memiliki toleransi tinggi, menyadari hak-haknya, dan narsis.
Maka sesungguhnya, hari ini tak ada pilihan lain dari media tradisonal manapun --- cetak maupun elektronik --- untuk mempertahankan sistem nilai, prinsip dasar, hingga model dan arsitektur produk maupun bisnis kuno yang diyakininya. Jika demikian, kepunahan total mereka sesungguhnya hanya soal waktu yang tak terlalu lama juga. Faktanya memang sudah bertebaran. Bukan hanya di dunia tapi juga di Indonesia.
+++
Terus terang saya tak paham mengapa segerombolan orang yang mengatas namakan agama tertentu, perlu melakukan demonstrasi di kantor Majalah Tempo minggu lalu (16-3-2018). Terlepas dari pemaksanaan persepsi mereka yang menganggap ilustrasi kartun yang pernah muncul pada salah satu edisi majalah itu, sebagai gambar yang melecehkan sosok yang mereka hormati --- tentu saya tak sependapat dengan kesimpulan sembrono ini --- sesungguhnya jumlah masyarakat yang menyadari dan mengetahuinya saya yakini sangat sedikit. Sebab, kartun karya jurnalistik itu muncul pada edisi berbayar yang tak banyak dilanggan masyarakat.
Demonstrasi itu, mudah-mudahan bermanfaat sebagai promosi pemasaran gratis bagi Majalah Tempo, tentang karya-karya jurnalistik mereka yang bersifat exclusive sehingga pembaca harus rela membayar untuk melihat dan membacanya. Walaupun --- mengingat hipotesa yang telah diuraikan panjang lebar di atas --- efektifitasnya tetap saya ragukan.
Jilal Mardhani, 18-3-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H