Jika mereka kemudian beranggapan --- membayar biaya langganan agar dapat mencicipi karya jurnalistik koran dan majalah tradisional meskipun dalam versi digital yang sesuai dengan gaya hidupnya, adalah sebuah pemborosan yang sia-sia --- seyogyanya harus dan perlu dipahami, sekaligus dimaklumi, oleh para pemilik dan pengelola perusahaan-perusahaan media tersebut.
Mengapa demikian?
Pertama, di era 'internet of things' ini, exclusivity berita maupun informasi sesungguhnya hampir tidak bernilai lagi. Terutama untuk hal-hal yang bersangkut paut dengan public domain. Sebab, dalam hitungan detik, kabar-kabar yang dianggap istimewa tersebut, akan segera menyebar dari bermacam sumber lain yang relatif tak mengutip biaya langsung apapun. Jika demikian, mengapa mereka harus membayar untuk hal yang bisa diperoleh secara gratis?
Kedua, meskipun koran dan majalah tradisional itu telah memiliki versi digital, mereka masih terikat dengan ketentuan penjadwalan publikasi (jadwal terbit) yang di era 'internet of things' ini, sesungguhnya sudah tak relevan lagi. Semua itu dimaklumi 'terpaksa' mereka --- Kompas, Tempo, Jawapos, Republika, dan seterusnya --- patuhi karena masih menganggap kehadiran koran atau majalah versi cetakan fisik di pasar, sebagai hal penting dan utama. Anggapan tersebut tentunya sangatkeliru. Sebab, versi cetak kertas koran atau majalah itu, semakin hari semakin tak digubris oleh masyarakat yang telah kenyang dibanjiri oleh berbagai pasokan digital yang hadir setiap saat tanpa jeda, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Ketiga soal literasi terhadap berita yang memenuhi kaidah profesionalisme jurnalistik. Kemudahan memperoleh beraneka ragam berita maupun informasi hari ini, juga mengasah kemampuan dan kedewasaan siapa saja untuk membangun 'sistem redaksi'-nya masing-masing. Bahwa sesungguhnya --- karena perbedaan tingkat 'kecerdasan' yang sebelumnya diungkapkan tadi --- terjadi 'penipuan' pada keyakinan mereka terhadap kebenaran kabar yang disampaikan, adalah soal lain. Jadi, kepuritan koran dan majalah tradisional menjadwalkan publikasi karya jurnalistik profesionalnya, justru membuka peluang bagi mereka yang dengan sengaja dan terencana ingin menyelewengkan kebenaran berita maupun informasi itu. Sebab mereka lebih berpeluang dan leluasa membanjiri pasar yang selalu bebas dan merdeka mengejar kecepatan, kehandalan, dan kemudahan. Dalam hal ini, 'kualitas' memang telah menjadi sesuatu yang sangat subyektif. Kita tentu masih mudah mengingat implikasi pemelintiran kabar penghujatan ayat suci yang menyebabkan Ahok dipenjara kemarin, bukan?
+++
Tempo, Kompas, dan media tradisonal lain yang masih mempertahankan prinsip prioritas utama karya jurnalistik profesionalnya pada jadwal terbit versi cetak, akan berkilah bahwa mereka memiliki layanan website online yang selalu diperbaharui dan dapat diakses publik secara gratis setiap saat.
Sangat disayangkan karena mereka tak memahami bahwa dengan sengaja telah mempopulerkan 'rasialisme jurnalistik' yang sama sekali bertentangan dengan ciri dan karakter generasi milenial.
Jika sebuah lembaga menawarkan 2 produk yang 'sama', tapi yang satu gratis sementara yang satu lagi berbayar, maka dengan mudah akan berkembang anggapan bahwa produk yang perlu mengeluarkan biaya untuk memperolehnya, lebih 'berharga' dibanding yang lain. Bahkan bukan tidak mungkin muncul anggapan bahwa produk yang disediakan cuma-cuma sebagai hal yang tak penting, tidak berguna, bahkan sampah.
Persepsi itu tentunya sangat bertentangan dengan ciri generasi milenial dan masyarakat digital hari ini yang sangat percaya diri, memiliki toleransi tinggi, menyadari hak-haknya, dan narsis.
Maka sesungguhnya, hari ini tak ada pilihan lain dari media tradisonal manapun --- cetak maupun elektronik --- untuk mempertahankan sistem nilai, prinsip dasar, hingga model dan arsitektur produk maupun bisnis kuno yang diyakininya. Jika demikian, kepunahan total mereka sesungguhnya hanya soal waktu yang tak terlalu lama juga. Faktanya memang sudah bertebaran. Bukan hanya di dunia tapi juga di Indonesia.
+++
Terus terang saya tak paham mengapa segerombolan orang yang mengatas namakan agama tertentu, perlu melakukan demonstrasi di kantor Majalah Tempo minggu lalu (16-3-2018). Terlepas dari pemaksanaan persepsi mereka yang menganggap ilustrasi kartun yang pernah muncul pada salah satu edisi majalah itu, sebagai gambar yang melecehkan sosok yang mereka hormati --- tentu saya tak sependapat dengan kesimpulan sembrono ini --- sesungguhnya jumlah masyarakat yang menyadari dan mengetahuinya saya yakini sangat sedikit. Sebab, kartun karya jurnalistik itu muncul pada edisi berbayar yang tak banyak dilanggan masyarakat.
Demonstrasi itu, mudah-mudahan bermanfaat sebagai promosi pemasaran gratis bagi Majalah Tempo, tentang karya-karya jurnalistik mereka yang bersifat exclusive sehingga pembaca harus rela membayar untuk melihat dan membacanya. Walaupun --- mengingat hipotesa yang telah diuraikan panjang lebar di atas --- efektifitasnya tetap saya ragukan.