Semua itu karena 'internet of things' memberi peluang dan keleluasaan yang begitu luas kepada masing-masing kita, untuk memilih dan menentukan hampir segala-galanya, sesuai selera dan kemampuan. Parameter selera dan kemampuan tersebut pun tak hanya pada hal-hal yang terukur maupun bernilai finansial dan ekonomi, tapi juga mencakup berbagai kecerdasan yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain: intelektual, emosional, maupun spiritual.
Dalam banyak hal, peran 'perantara' yang sebelumnya memiliki kuasa mengarahkan bahkan mendikte, telah diambil alih oleh perangkat-perangkat yang memiliki kecerdasan buatan yang bahkan lebih canggih dari manusia. Contohnya ketika kita perlu memesan kamar hotel atau penerbangan. Aplikasi komputer yang terhubung secara online telah menyingkirkan manusia yang sebelumnya berperan membantu kita untuk menemukan pesanan hotel atau penerbangan yang cocok. Bahkan dengan cara yang jauh lebih mudah, murah, nyaman, dan 'bersahabat'.
Tapi semua kemewahan itu sesungguhnya juga menyebabkan kita menjadi lebih sibuk dan asyik dengan berbagai hal yang bersifat personal. Kemudahan untuk memilih dan menentukan sendiri kamar hotel maupun penerbangan yang akan digunakan, menyebabkan kita menghabiskan waktu lebih banyak berselancar di dunia maya untuk memahami dan meyakinkan diri terhadap pilihan yang ditetapkan. Sebab aneka ragam informasi yang terkait memang tersedia di sana. Sementara itu, pada dasarnya setiap manusia selalu ingin mendapatkan yang terbaik bagi dirinya. Mereka juga tak sudi ditipu maupun tertipu.
Masalahnya, definisi atau hal yang dikategorikan sebagai 'penipuan' tak hanya menyangkut hal-hal yang terukur (tangible). Penipuan juga mencakup rentang nilai relatif dan tak berwujud (intangible) yang sangat lebar jika disangkut-pautkan dengan kapasitas dan kapabilitas kecerdasan yang dimiliki, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual tadi.
Hal yang sama juga terjadi pada prilaku dan kebiasaan mengkonsumsi berita.
Setiap orang kini berkesempatan luas yang hampir tanpa batas, untuk memanjakan beragam minat dan keingin-tahuannya. Pada saat yang sama, Revolusi Industri 4.0 ini juga membuka peluang yang sangat luas bagi siapapun untuk menekuni pemasokan berita atau informasi spesifik yang menarik perhatiannya, dengan pengorbanan yang jauh lebih sederhana, lebih murah, lebih nyaman, dan lebih 'personal', dibanding era media konvensional sebelumnya.
Kedua supply-demand itu kemudian bertemu di 'pasar swalayan' dunia maya yang luasnya hampir tak berbatas. Maka media konvensional yang mempertahankan kepuritannya --- meski sudah latah memasuki dunia digital --- semakin kehilangan peminat.
Sebab, mereka yang mempertahankan gaya, cara, dan pendekatan kuno, sesungguhnya hanya melayani sebagian pelanggan masa lampau dengan segala romantismenya. Sementara dalam perjalanan waktu yang terus-menerus diramaikan kemunculan inovasi dan kreatifitas berbasis teknologi digital, pangsa pasar mereka sesungguhnya semakin tergerus dan tak berarti.
+++
Tanyakanlah kepada mereka yang tergolong generasi Y(milenial, lahir pada era 1980-an dan 1990-an) di sekitar Anda: apakah mereka masih mengikuti berita-berita yang dipublikasikan perusahaan-perusahaan koran atau majalah yang masih beroperasi hari ini, sekalipun telah memiliki edisi versi digital?
Anda akan kesulitan untuk hanya menemukan 1 diantara 10 orang yang menyadari (apalagi aktif mengikuti) karya-karya jurnalistik di media koran maupun majalah konvensional, meskipun dalam versi digital yang umumnya tetap berbayar. Sebab mereka adalah kelompok masyarakat yang terlahir dalam situasi yang bersamaan dengan pesatnya perkembangan teknologi digital dan internet merasuki segala aspek kehidupan. Generasi yang hadir di tengah 'surga kemudahan' untuk melakukan eksplorasi keingin-tahuan, keberanian mencoba sesuatu dan hal-hal baru, serta membangun jati dirinya. Sebagian kalangan bahkan memberi label mereka sebagai generasi spesial yang lebih terlindungi, memiliki perkembangan kepercayaan diri yang tinggi, berwawasan kelompok, tahan terhadap tekanan, dan selalu berorientasi mengejar pencapaian. Singkat kata, mereka adalah generasi yang dicirikan cenderung mementingkan diri sendiri dan hedonis.