+++
Tapi bukankah Indonesia hari ini tak memiliki keistimewaan di bidang manufaktur?
Ya, walau sangat terlambat, di bawah kepemimpinan Joko Widodo, bangsa ini terlihat nyata ingin membenahi diri. Di sisi lain, kebiadaban budaya korupsi-kolusi-nepotisme memang sedang mencapai puncaknya. Terlepas dari muda dan tertatihnya demokratisasi yang sedang dilalui, bangsa yang besar dan memggiurkan dunia ini sedang melalui berbagai 'sunatullah' untuk membangun dan mencari jati dirinya.
Semula Joko Widodo sudah mengumandangkan sebuah gerakan yang disebut Revolusi Mental. Hal yang sesungguhnya harus dilakoni secara bergotong-royong. Tapi membangunkan kesadaran pentingnya hal itu memang tak mudah. Apalagi di tengah bangsa yang sebagian besar dalam seumur hidupnya telah meyakini kekeliruan korupsi-kolusi-nepotisme sebagai hal yang "wajar" bahkan semestinya.
Sejatinya, Joko Widodo juga tak memiliki waktu lebih lama dari 5 tahun. Soal terpilih lagi untuk periode 5 tahun berikutnya dan terakhir kali, adalah misteri yang penuh teka-teki dan tanpa kepastian. Maka kepastian 5 tahun berkuasa yang dimilikinya sejak 2014 lalu hingga 2019 mendatang, harus dimanfaatkannya secara optimal.
Adalah pembangunan fisik ---utamanya infrastruktur--- yang paling memungkinkan dan leluasa dipastikan keberhasilannya. Dalam hal tersebut, Joko Widodo memiliki keleluasaan untuk menegaskan dan memastikannya, tanpa harus banyak terlibat dengan berbagai kompromi politik yang sering menjebak dan menyesatkan langkah siapa pun.
Presiden Indonesia ke-7 tersebut memberi isyarat kuat tentang tekadnya membangun infrastruktur itu, sejak hari pertama menduduki singgasana. Diputuskannya mengalihkan anggaran subsidi energi yang sangat membebani Negara pada pemerintahan sebelumnya, untuk membiayai pembangunan itu. Alam semesta seakan menanggapinya dengan suka cita karena saat yang sama, harga minyak dunia terperosok sangat dalam.
Bukan hanya mampu meringankan beban rakyat yang tak lagi boleh bermewah-mewah menikmati energi bersubsidi, jatuhnya harga minyak itu juga berkorelasi dengan kelesuan ekonomi dunia. Pada akhirnya tentu juga berimplikasi pada Indonesia. Belum lagi implikasi bermacam disrupsi yang melanda berbagai sendi kehidupan kita akibat terjangan Revolusi Industri 4.0 .
Ikhtiar mulia Joko Widodo itu, tentu tak lepas dari pencermatan para kreditur. Sebab, prioritas pemberian pinjaman berikutnya setelah hal yang berkait langsung dengan produksi (manufaktur) adalah pada segala sesuatu yang berkait dengan kualitas dan kemudahan untuk "kelak" melakukan produksi.
Menggunakan (sebagian besar) pinjaman untuk infrastruktur, artinya menghasilkan modal (asset). Bukan sekadar biaya yang hanya berujung pada laba-rugi (profit and loss). Bagi yang paham membaca neraca, tambahan liability di sisi kanan akan diimbangi oleh peningkatan asset di sisi kiri.
Sementara jika utang-utang itu semata digunakan untuk berbagai biaya (expenses) maka penambahan liability di kanan itu hanya diimbangi dengan peningkatan kerugian di bagian bawah neracanya. Sebab biaya-biaya itu tak berkorelasi dengan pendapatan. Baik karena belum tersedianya sektor manufaktur yang produktif, maupun pengaruh anjloknya harga komoditas yg masih bisa diandalkan di pasar global.