Komunikasi yang di "zaman now" telah sangat dimudahkan dan dimurahkan ini, justru berkembang rumit dalam pemaknaannya. Karena setiap yang "mendengar" cenderung mendahulukan prasangka dan dugaan yang berkecamuk di fikirannya. Sementara yang "bicara" ragu bakal didengarkan.
Kita memang telah terkotak-kotak. Berselimut kabut gelap yang menebar teror yang mencemaskan. Perbedaan sama sekali tak mengasyikkan lagi, malah menjadi malapetaka.
Aksi mahasiswa memang sering "nyeleneh", diluar aturan dan tata-krama. Kadang "nakal" dan tidak jarang pula menantang "maut" karena berpeluang subversif. Memang demikianlah kodrat generasinya. Dari zaman ke zaman, sejak memperjuangkan kemerdekaan hingga reformasi 1998 lalu, kehadiran mereka selalu penting dan mewarnai.
###
Ketika insiden mahasiswa yang diberitakan sebagai Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) UI terjadi kemarin, saya menanggapi sejumlah pesan yang berseliweran di group-group sosial media terbatas, dengan himbauan untuk menyikapinya dengan kepala dingin. Sebab, aksi itu terbilang kreatifitas "anak nakal" yang masih wajar. Pasukan Pengamanan Presiden pun tak terlalu repot untuk menertibkannya. Bahwa tindakan itu mencuri perhatian Presiden, pengunjung lain, dan kita semua yang tak hadir tapi terpapar lewat kecanggihan pemberitaan sosial media hari ini, adalah tujuan yang bersangkutan. Baginya : mission accomplished.
###
Himbauan tersebut saya sampaikan sebagai "orang tua" yang telah mempunyai anak-anak seusia mahasiswa yang mengacungkan kartu kuning itu.
Sebagai warga yang pernah berusia seperti dia, menjadi mahasiswa, dan penuh dengan idealisme.
Sebagai masyarakat yang menyaksikan, bagaimana Joko Widodo bekerja keras dan sungguh-sungguh, melakukan begitu banyak hal luar biasa yang serba sulit dan amat rumit, saat mengemban amanat sebagai presiden RI sekarang ini.
Sebagai rakyat yang telah hidup lebih setengah abad dan memahami bahwa sebagian besar persoalan maupun kekacauan yang diwariskan masa lalu, masih menyisakan situasi yang tak kunjung kondusif terhadap segala sepak terjang presidennya yang jujur dan bersahaja. Warisan-warisan itu bahkan terus mengintai dengan berbagai jebakan yang berpeluang menjerat langkah-langkahnya.
Saya juga menghimbau sebagai pembayar pajak patuh yang sepanjang hayat, hidup profesional dan mengais rezeki dari dunia swasta yang tak bersentuhan dengan anggaran pemerintah, tapi selalu mengurut dada setiap kali berurusan dengan penguasa dan birokrasi. Jadi saya paham betul betapa runyam Joko Widodo menggerakkan jajarannya agar seia-sekata. Bukankah fakta tentang laku korupsi-kolusi-nepotisme masih bertebaran di sekitar kita?
Saya juga menghimbau sebagai engineer yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang pendidikannya dibiayai negara tapi tak pernah dimanfaatkan bangsa sendiri. Melainkan oleh bangsa asing yang datang menawarkan bantuan bagi negeri ini demi kepentingannya di sana. Tentu saya paham jika presiden kita tak bisa serta merta memberdayakan sumber daya yang bertebaran dan selama ini hanya diperlakukan sebatas tenaga administrasi, "salesman", "broker", atau "cecunguk" penguasa kapital semata.
###
Satu-satunya yang saya sesalkan adalah kenyataan bahwa Presiden Joko Widodo bukan "superman". Dia tak bisa merdeka sepenuhnya melakoni hal yang harus dan perlu.
Maka wajarlah jika disana-sini terdapat kekurangan, belum tertangani sempurna, atau luput dari perhatiannya. Dia manusia biasa yang hanya punya waktu tak lebih dari 24 jam sehari seperti kita semua. Beliaupun masih membutuhkan sebagian dari waktu tersebut untuk beristirahat dan merenung.
Hal itu tentu bukan sesuatu yang sulit untuk dipahami. Terlepas kebenaran dari 3 hal yang dikemukakan "sang mahasiswa dengan kartu kuning" itu, tidakkah semestinya kita menyisakan sedikit ruang komunikasi kepada dia dan presidennya?
###
Joko Widodo terbukti menanggapi aksi itu dengan bijaksana. Bahkan beliau menyatakan akan "mengajak" --- saya yakin maksud presiden adalah demikian, bukan "mengirim", karena hal itu bermakna perintah yang tak relevan dan boleh mereka abaikan --- mahasiswa itu bersama rekan-rekan BEM UI lainnya (berkunjung) ke Asmat.
Memahami sepak terjang, tutur bahasa, serta gaya dan cara yang ditampilkannya selama ini, Joko Widodo bukan presiden yang gemar menyudutkan, apalagi mempermalukan orang lain.
Jadi, beliau sesungguhnya ingin mengajak sang "mahasiswa pemberi kartu kuning" itu, untuk turut membantu negara yang dipimpinnya dalam menyelesaikan persoalan di sana.
Bukankah memang demikian semestinya?
###
Jokowi sesungguhnya ingin mengajak kita semua menyingsingkan lengan baju, bahu membahu, mengatasi berbagai persoalan yang harus dihadapi. Itu sebabnya, tanpa ragu diajaknya serta TNI yang sudah "kembali ke barak" bergotong-royong membuka lahan sawah baru, dan membangun infrastruktur di berbagai pelosok Tanah Air.
Tapi mungkin adik mahasiswa itu khawatir jika keterlibatan tentara pada kehidupan masyarakat sipil "bisa kebablasan lagi". Sebab kini Joko Widodo sudah menarik mereka lebih jauh sebagai "eksekutif" yang melaksanakan program untuk menangani daerah aliran sungai Citarum yang sudah dan semakin kacau balau sejak puluhan tahun lalu itu, hingga menjadi pelaksana tugas kepala daerah saat Pilkada dilangsungkan pada tahun 2018 ini.
Bukankah kekhawatiran itu sangat wajar jika kita berkaca pada pengalaman buruk rezim Orde Baru dan dwifungsi ABRI dulu?
Bagaimanapun, seandainya terpilih lagi pada tahun 2019 nanti, Joko Widodo tak mungkin bisa berkuasa lebih dari 10 tahun terhitung sejak 2014 lalu, bukan?
Jadi, wajarlah jika hal itu memicu kegelisahan. Sebab seandainya tidak ditangani dan dipersiapkan dengan seksama, hal itu justru bisa menjadi "warisan" Joko Widodo yang berpeluang "liar" bagi masa depan bangsa ini.
###
Akibat dunia intelektual yang berkaitan dengan lembaga ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi terbengkalai selama ini, sebagian kampus-kampus kita memang banyak disusupi paham-paham radikalisme. Selain tak diberdayakan sebagaimana mestinya --- karena rezim pemerintahan yang lalu sibuk mempertahankan kekuasaan sambil mengobral sumber daya alam yang ketika itu masih berlimpah ruah, semata untuk kepentingan kelompoknya --- peluang mengamal baktikan pengetahuan juga tak berkembang.
Jokowi juga menerima warisan demokratisasi dan kebebasan berekspresi yang justru menyuburkan virus radikalisme itu berkembang, dan digunakan oknum-oknum tak bertanggung jawab, merongrong sepak terjangnya. Hal yang justru sering kali menyudutkan dan memancingnya untuk tergelitik menggunakan kekuasaan "bersenjata".
###
Banyak diantara kita terkecoh oleh kelelahan batin hingga membiarkan fanatisme berlebihan turut berkembang pada pikiran dan dirinya masing-masing. Segala sesuatu telah menjadi hitam-putih sehingga tak lagi menyisakan ruang bagi pandangan dan pendapat yang berbeda menemukan kebenaran hakikinya.
Semua itu menyebabkan bangsa ini semakin gamang membawa dirinya pada arus perubahan eksponensial yang sedang menerpa seantero jagad raya. Meski ancamannya tak lagi samar. Tapi semakin nyata dan menakutkan jika kita tak segera berbuat sesuatu untuk mengantisipasinya.
Masih perlu dan relevan kah semua permusuhan itu?
Jilal Mardhani, 4 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H