Ini soal sederhana kok. Tentang cara pandang seseorang memahami dan memaknai amanah tugas maupun jabatannya.
Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia. Di daerah dipimpin Gubernur untuk tingkat propinsi serta walikota atau bupati untuk tingkatan daerah yang kedua. Hari ini, sesuai dengan sistem demokrasi yang kita anut, mereka masing-masing dipilih langsung oleh rakyatnya.
Pemilih walikota atau bupati di suatu daerah juga memilih Gubernur maupun Presidennya. Sementara pemilih Gubernur suatu propinsi belum tentu memilih Walikota atau Bupatinya karena masing-masing memang tak tinggal di daerah yang sama. Begitu pula pemilih Presiden. Sangat mungkin pemilih Joko Widodo sebagai Presiden kemarin tak ikut memilih Gubernur Papua karena yang bersangkutan warga Jakarta, misalnya.
Mereka masing-masing -- Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota -- dibantu sejumlah pejabat yang di-kasta-kan sesuai eselonnya. Di tingkat Nasional, Presiden dibantu sejumlah Menteri dan pejabat setingkatnya yang menduduki pucuk pimpinan lembaga-lembaga pemerintah non kementerian. Begitu juga Gubernur di level Propinsi maupun Bupati dan Walikota di level daerah tingkat II.
***
Jokowi memiliki konsep berfikir dan pandangan paripurna tentang keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan. Dari berbagai media, kita semua bisa mengikuti latar belakang pemikiran sekaligus pesan yang disampaikannya, terkait tarif BBM satu harga, meski di pedalaman Papua sekalipun.
Penjelasannya yang sangat sederhana dan tanpa harus berbelit-belit, telah "menampar" siapapun pejabat yang terkait --- langsung maupun tidak --- soal kekeliruan cara fikir mereka selama ini sehingga harga BBM, semen, dan sebagainya di pedalaman negeri ini, berpuluh kali lipat dibanding pulau Jawa.
Hal itu tidak adil dan harus segera diakhiri, titik!
Lalu sejumlah langkah penting dan strategis dicanangkannya agar "terbuka" jalan yang dapat dilakoni bersama --- alias bergotong-royong --- mewujudkan tekad tersebut. Itulah yang melatar-belakangi gagasan tol laut dan pembangunan berbagai infrastruktur di luar pulau Jawa hari ini. Salah satu maksud yang sangat nyata di sana adalah agar ongkos logistik dan distribusi berbagai kebutuhan pokok itu dapat ditekan sedemikian rupa. Setidaknya mendekati angka keekonomian sehingga --- jika sementara waktu harus disubsidi pun --- biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Disamping itu tentu juga dimaksudkan untuk menarik minat dan gairah investasi dan pertumbuhan agar segalanya tak mesti berkumpul dan bergumul di pulau Jawa atau Sumatera.
***
Warga negara Indonesia, termasuk saya, yang selama ini berleha menikmati subsidi berbagai hal, harus malu dan menundukkan muka oleh cita-cita dan ajakan serius Joko Widodo tersebut. Kita memang tak bisa "menyalahkan" skala ekonomi yang dimiliki masyarakat pedalaman di pinggir Indonesia sana sehingga mereka harus menerima "nasib" untuk memperoleh harga eceran BBM, semen, dan lain-lain yang berlipat-lipat lebih mahal. Mengertikah Anda bahwa sebagian kemewahan yang kita nikmati selama ini --- mulai listrik, BBM, air minum, gas rumah tangga, ongkos pendidikan, layanan kesehatan, dan sebagainya --- bersumber dari rezeki Negara yang sebagian (besar) diperoleh dari rantai ekonomi yang menggadaikan bumi mereka?
Bukankah lebih pantas, jika mereka yang didahulukan untuk menikmati hasil penggadaian itu, dibanding kita yang terlegitimasi memperdagangkannya?
Sebab "hak" dan "keleluasaan" itu sesungguhnya dikarenakan sistem politik kekuasaan yang selama ini berpihak kepada kita dan tidak bagi mereka, bukan?
Jokowi memang tidak tersurat mengemukakan argumentasi demikian. Tapi yakinlah jika hal tersebut sebagai yang tersirat dan semestinya.
Kalau masih juga tak (cukup) "mengerti", bertanya sajalah pada kecerdasan dan logika paling sederhana yang Anda miliki: bilakah republik ini pernah memiliki suplus anggaran atau hasil (pendapatan) yang lebih besar dibanding ongkos-ongkos yang dikeluarkan?
Pahamkah Anda kalau sebagian besar sumber pendapatan yang selama ini diprioritaskan untuk membangun "kita" terlebih dahulu itu, merupakan hasil pengorbanan panjang yang tak berkesudahan tapi harus diderita mereka yang hidup di pelosok Nusantara?
Sejak merdeka hingga hari ini, setiap tahun kita merapal pembenaran atas pengorbanan yang harus diderita mereka yang hidup di pelosok bumi pertiwi tapi kekayaannya kita perdagangkan itu, melalui indikator-indikator ekonomi makro yang tak sungguh-sungguh dipahami maknanya. Apa sih makna Produksi Domestik Bruto (PDB) bagi penantian panjang mereka akan keadilan harga pasar eceran berbagai kebutuhan pokok seperti BBM, semen, dan lain-lain itu?
Tak usah berfikir rumit. Bukalah data-data perekonomian kita sepanjang Orde Baru yang seketika tak bermakna apapun ketika krisis 1998 menghentak. Perhatikan juga argumentasi yang saling berseberangan hari ini, tentang ekonomi makro yang di satu sisi katanya tetap tumbuh, sementara di sisi lain bertebar fakta mikro yang berkebalikan?
***
Jadi jangan salahkan Jokowi jika mencuat kabar tentang gejolak harga BBM eceran di Papua hari ini. Semoga saja --- berita yg menyebutkan harganya sama dengan pulau Jawa hanya berlangsung saat beliau ke sana dan menyampaikan titah --- hoax belaka!
Tapi seandainya kabar itu benar, tak ada lainnya yang layak dituding selain "petugas pemerintah dan lembaga negara terkait" yang sejatinya bertanggung-jawab mengamankan instruksi Presiden dan Kepala Negara Republk Indonesia itu.
Di atas tadi sudah diterangkan tentang pesan "tersirat" dibalik tekad Joko Widodo itu. Artinya, semua harus bekerja bahu membahu mengupayakannya. Bila perlu tinggalkan semua kemewahan yang menyertai tugas dan jabatan yang diamanahkan. Alihkan semua kenyamanan --- apalagi kepentingan --- pribadi untuk mendukung perwujudan niat yang luhur itu. Sikapilah sebagai bagian dari upaya membayar "hutang" yang sekian lama telah tertunda "pembayarannya" tanpa sanksi dan denda.
***
Jika ada pejabat --- baik di kementerian, badan usaha milik negara dan lembaga non kementerian lain, serta daerah --- yang berkilah tentang keruwetan atau ketidak siapan yang terjadi lapangan, entah soal koordinasi, kerjasama, pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, ketersediaan prasarana maupun sarana, dan seterusnya, maka sudah barang tentu merekalah yang pantas dipersalahkan.
Apakah kita mengharapkan Joko Widodo harus terus-menerus berada di pedalaman, Papua misalnya, untuk sekedar memastikan tidak terjadi lagi lonjakan harga BBM eceran?
Pertimbangan hingga tekad Presiden tentang BBM satu harga itu, sudah jelas dan tegas. Bahwa terdapat bermacam kendala --- karena program tersebut merupakan hal baru yang sebelum beliau berkuasa tak pernah disentuh --- tentu saja wajar dan sangat dimaklumi. Pertamina dan lembaga terkait memang harus bekerja keras, untuk menyempurnakan distribusi titik penyalur sehingga ruang gerak pedagang eceran mempermainkan harga, semakin dibatasi bahkan ditiadakan.
Sebelum kondisi itu tercapai maka sikap dan prilaku yang diambil seyogyanya bersifat darurat. Apa boleh buat, dalam situasi yang memang belum normal, langkah-langkah khusus dan diluar kebiasaan harus dilakukan. Bukan saling berbantah dan membela diri masing-masing. Sebab sejatinya mereka semua adalah satu team yang bercita-cita dan memiliki tujuan yang sama : berupaya memberikan pelayanan terbaik dan semestinya bagi saudara-saudara kita yang hidup di pedalaman itu.
Jilal Mardhani, 20 Desember 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H