Bukankah lebih pantas, jika mereka yang didahulukan untuk menikmati hasil penggadaian itu, dibanding kita yang terlegitimasi memperdagangkannya?
Sebab "hak" dan "keleluasaan" itu sesungguhnya dikarenakan sistem politik kekuasaan yang selama ini berpihak kepada kita dan tidak bagi mereka, bukan?
Jokowi memang tidak tersurat mengemukakan argumentasi demikian. Tapi yakinlah jika hal tersebut sebagai yang tersirat dan semestinya.
Kalau masih juga tak (cukup) "mengerti", bertanya sajalah pada kecerdasan dan logika paling sederhana yang Anda miliki: bilakah republik ini pernah memiliki suplus anggaran atau hasil (pendapatan) yang lebih besar dibanding ongkos-ongkos yang dikeluarkan?
Pahamkah Anda kalau sebagian besar sumber pendapatan yang selama ini diprioritaskan untuk membangun "kita" terlebih dahulu itu, merupakan hasil pengorbanan panjang yang tak berkesudahan tapi harus diderita mereka yang hidup di pelosok Nusantara?
Sejak merdeka hingga hari ini, setiap tahun kita merapal pembenaran atas pengorbanan yang harus diderita mereka yang hidup di pelosok bumi pertiwi tapi kekayaannya kita perdagangkan itu, melalui indikator-indikator ekonomi makro yang tak sungguh-sungguh dipahami maknanya. Apa sih makna Produksi Domestik Bruto (PDB) bagi penantian panjang mereka akan keadilan harga pasar eceran berbagai kebutuhan pokok seperti BBM, semen, dan lain-lain itu?
Tak usah berfikir rumit. Bukalah data-data perekonomian kita sepanjang Orde Baru yang seketika tak bermakna apapun ketika krisis 1998 menghentak. Perhatikan juga argumentasi yang saling berseberangan hari ini, tentang ekonomi makro yang di satu sisi katanya tetap tumbuh, sementara di sisi lain bertebar fakta mikro yang berkebalikan?
***
Jadi jangan salahkan Jokowi jika mencuat kabar tentang gejolak harga BBM eceran di Papua hari ini. Semoga saja --- berita yg menyebutkan harganya sama dengan pulau Jawa hanya berlangsung saat beliau ke sana dan menyampaikan titah --- hoax belaka!
Tapi seandainya kabar itu benar, tak ada lainnya yang layak dituding selain "petugas pemerintah dan lembaga negara terkait" yang sejatinya bertanggung-jawab mengamankan instruksi Presiden dan Kepala Negara Republk Indonesia itu.
Di atas tadi sudah diterangkan tentang pesan "tersirat" dibalik tekad Joko Widodo itu. Artinya, semua harus bekerja bahu membahu mengupayakannya. Bila perlu tinggalkan semua kemewahan yang menyertai tugas dan jabatan yang diamanahkan. Alihkan semua kenyamanan --- apalagi kepentingan --- pribadi untuk mendukung perwujudan niat yang luhur itu. Sikapilah sebagai bagian dari upaya membayar "hutang" yang sekian lama telah tertunda "pembayarannya" tanpa sanksi dan denda.