Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menggugat Sistem Demokrasi Kita

18 November 2017   13:24 Diperbarui: 18 November 2017   13:44 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

--- untuk menyikapi malapetaka bangsa yang mengintai dibalik drama politik Setya Novanto

Demokrasi kita menggunakan tata cara pemilihan yang "agak" langsung untuk menentukan siapa yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dikatakan "agak" karena tak mesti sosok yang ada dalam daftar calon pilihan yang kelak pasti terpilih. Banyak pemilih yang sesungguhnya tak mengenal siapa yang akan dipilih. Oleh karenanya mereka hanya menjatuhkan pilihan pada Partai Politik yang menaungi calon-calon itu. Itulah sebab mengapa jumlah suara yang dipungut "partai" kerap jauh lebih besar dibanding perolehan kader-kader yang dijagokannya.

Maka selalu ada kemungkinan sosok yang ditetapkan partai untuk mewakili suara kita di lembaga lagislatif Negara itu, berbeda dengan pilihan.

Pertanyaannya, siapakah yang akan mempertanggung jawabkan sikap, prilaku, kerja, dan putusan yang dilakukan oleh wakil pilihan yang ditempatkan partai di DPR?

Jangankan sosok lain yang berbeda dengan pilihan kita. Terhadap mereka yang memang kita pilih langsung dan kemudian duduk di gedung parlemen saja, pertanyaan itu tak terjawab selain penjelasan normatif.

Lalu ada pertanyaan lain yang jauh lebih mendasar: sesungguhnya adakah hak pemilih untuk mempertanyakan kerja, putusan, tindak tanduk, bahkan kepatutan para wakil terpilih membawa diri dan melakoni tugas di parlemen sana?

Bagaimana pula aturan soal kewajiban mereka menanggapi dan menjawabnya?

+++

Sesungguhnya memang terlihat ada yang aneh pada tatanan sistem perwakilan - yang mengerahkan sumberdaya gigantis bangsa - yang tak hanya melibatkan tapi juga "mengorbankan" kita semua itu.

Tak hanya soal materi tapi juga moril. Termasuk waktu yang tersita, hubungan perkerabatan, kualitas silaturahmi, citra pribadi, bahkan emosi, mental, dan mungkin juga kesehatan jiwa. Begitu banyak yang terpancing - selain mereka yang dengan sengaja terlibat dan dengan sadar melakukannya - turun gelanggang karena termotivasi maupun terseret keadaan di sekeliling.

Semua itu berlangsung tak hanya pada saat menjelang maupun proses pemilihan. Tapi juga setelahnya. Ketika kerja dan aktivitas wakil-wakil rakyat terpilih mewarnai dinamika kehidupan sehari-hari. Sebab yang terseret ataupun terserempet - sebagaimana kodrat yang diamanahkan kepada mereka - memang selalu berkait dengan bermacam kepentingan kita. Mulai dari hal yang berhubungan dengan aktivitas bisnis maupun ekonomi, sosial maupun budaya, ketertiban maupun keamanan, hingga iman maupun kepercayaan yang diyakini.

Sebagai pemilih, hingga saat ini kita memang tak bisa langsung bertanya, menuntut penjelasan, maupun meminta pertanggung jawaban dari mereka. Pada sistem demokrasi yang berlaku saat ini, suara yang telah kita serahkan tak mungkin lagi ditarik kembali hingga masa pemilihan berikut yang diselenggarakan 5 tahun kemudian.

Lebih jelasnya begini:

Jika kita menyerahkan suara kepada si A maka belum tentu dia yang terpilih untuk mewakili. Bisa jadi si B yang tak kita kenal maupun ketahui sepak-terjangnya. Apalagi kalau suara yang kita serahkan 'tanpa nama' dan hanya menunjuk lambang partai. Jadi, sekali kita menyerahkan suara, maka untuk sementara waktu selesailah sudah hak kita atas suara tersebut. Setidaknya hingga 5 tahun kemudian. Sementara itu, mereka sama sekali tak perlu - tepatnya tak wajib - khawatir jika suara yang sudah diperoleh itu bakal ditarik lagi.

Apalagi kalau suara yang kita serahkan - bersama dengan suara lain yang berhasil dikumpulkan partai - ternyata kurang dan tak mencukupi ambang batas yang ditetapkan. Nasibnya bakal lebih runyam lagi. Andaipun memungkinkan, paling banter suara kita itu digabungkan dengan suara dari partai lain agar mencukupi persyaratan jumlah untuk menempatkan wakil jenis "cocktail" atau "es campur".

Memang jauh lebih celaka jika suara yang telah kita serahkan dengan sepenuh hati dan segudang harapan itu, ternyata tak bisa dimanfaatkan untuk menempatkan siapapun sehingga bisa duduk menjadi wakil di gedung DPR. Dalam kasus demikian, suara kita sesungguhnya bernasib sama dengan "keping" yang dipertaruhkan di meja judi. Ketika kalah, "kepingan" suara itu begitu saja diraup bandar dengan wajahnya yang tanpa ekspresi. Tak peduli jika setelah itu kita tak punya apapun bahkan sekedar untuk membayar ongkos taksi atau membeli susu anak yang sedang merengek di rumah.

+++

Proses demokrasi sesungguhnya pertarungan gagasan antar pihak - atau kelompok - tentang pemahaman, konsep, serta cara mengelola dan membangun bangsa. Lalu kemudian ditawarkan kepada masyarakat yang berhak untuk menentukan pilihannya. Dengan demikian, pada dasarnya semua pihak sejatinya memiliki maksud dan tujuan yang sama, yaitu membela dan memperjuangkan kepentingan, kewibawaan, dan kejayaan bangsa.

Tapi tatanan sistem demokrasi perwakilan yang masih memiliki sejumlah kelemahan seperti yang baru saja diuraikan di atas tadi - sedemikian rupa - telah "menggeser" ranah persaingan gagasan itu menjadi pertempuran kepenringan diantara "mereka" dan "kami". Tak lagi demi, oleh, dan untuk "kita".

Pada saat proses pemilihan legislatif maupun eksekutif berlangsung, "kami" dan "mereka" terpisahkan antara  satu (kelompok) partai politik dengan yang lain. Masing-masing berjuang mempengaruhi dan merebut hati "kita" agar sudi menjadi bahian "mereka".

Setelah pesta demokrasi itu usai, pihak yang disebut "kami" dan "mereka" itupun segera berubah. Kadang dalam wujud "penguasa gedung parlemen" di satu sisi, dengan "kekuasaan eksekutif pemerintah" di sisi yang lain. Kali lainnya, antara "kelompok kolaborasi penguasa dan pengusaha hitam" dengan "lembaga dan aparat yang putih". Bisa juga menjadi "kelompok yang menguasai modal dan jaringan pengaruh" di satu sisi, dengan "mereka yang lemah dan tak berdaya" di sisi yang lain. Bahkan akhir-akhir ini juga sering mengkristal antara  "kelompok yang seiman dan menganut keyakinan tertentu" dengan "siapapuan selain mereka". Dalam konteks ini, sesungguhnya "kita" memang selalu dimaknai sebagai "obyek penderita". Yaitu "pihak ketiga" yang boleh diajak - tapi boleh juga diabaikan - dalam konteks kepentingan "mereka". Sebab subyeknya memang bukan "kita". Tapi "mereka".

+++

Absurditas sistem demokrasi politik yang telah mengabaikan prinsip dasar kesetaraan hak-kewajiban layaknya sistem pengelolaan layanan kepuasan pelanggan modern itu  - sebab ia memang hampir tak menggubris sisi pertanggung-jawaban terhadap suara yang telah "membeli" harapan yang dijanjikan ketika mereka  "menawarkan" diri untuk dipilih - pada akhirnya hanya memantapkan habitat bagi kesuburan partai politik sebagai "inang" mereka.

Partai-partai politik sesungguhnya bukan makhluk bernyawa yang dapat merasakan nikmat atau sakit, gembira atau sedih, maupun puas atau kecewa.

Mereka - sekumpulan pecundang yang culas dan licik - telah memperdaya "kita" sehingga menempatkan bahkan mengkultuskan keberadaan partai politik sedemikian rupa hingga menjadi "inang" bagi kehidupannya. Selain yang menguntungkan dan memberi manfaat pribadi maupun gerombolan yang secara subyektif berpihak kepadanya, mereka tak berkepentingan terhadap rupa, martabat, harga diri, maupun kebahagiaan sang inang itu.

Tak perlu rumit membuktikan hipotesa yang baru saja dikemukakan itu. Simak saja dan cobalah cari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

1. Berapa banyak sudah tokoh yang melompat dari satu partai politik ke partai politik lain hanya demi meraih kekuasaan dan kepentingan sesaat?

2. Bagaimana sikap dan laku yang mereka pertontonkan ketika satu per satu sejawatnya digelandang aparat penegak hukum karena ketahuan mencuri atau menyalah-gunakan kekuasaan yang dimiliki?

3. Bagaimana sepak terjang yang selama ini kerap mereka pertontonkan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); yang sejatinya adalah anak kandung Gerakan Reformasi 1998 yang dibentuk dan ditugaskan khusus untuk memberantas korupsi-kolusi-nepotisme; yang menjadi akar soal mengapa Suharto dan rezim pemerintahan Orde Barunya digulingkan karena menyusahkan bangsa?

4. Bagaimana sikap dan reaksi mereka terhadap segala drama diluar kepatutan lewat yang dipertontonkan sepak terjang Setya Novanto, ketua lembaga tinggi negara yang semestinya menjadi tumpuan harapan dan sangat "kita" hormati itu?

+++

Untuk menyikapi gugatan sistem demokrasi itu maka setidaknya kita harus mampu menjawab tiga pertanyaan ini:

PERTAMA, apa guna memilih perwakilan jika sesungguhnya mereka hanya bekerja dan mewakili diri sendiri?

KEDUA, bagaimana mungkin bisa memastikan para wakil yang terpilih, patuh dan tidak berkhianat kepada yang memilihnya?

KETIGA, mengapa harus dipaksakan tetap ada wakil bagi pemilih yang dengan sadar memang sengaja tak mau menetapkan pilihannya?

Kita sekarang hidup di era Revolusi Budaya Digital yang menyertakan fenomena pertumbuhan eksponensial yang amat sulit dan hampir tak mungkin dihindari. Ia telah dan akan terus merasuki segala lini kehidupan di dunia ini. Bukan hanya dalam soal ekonomi tapi juga sosial, budaya, politik, dan ideologi.

Maka semestinya pemanfaatan budaya itu, juga perlu segera "kita" sikapi dengan bijak dan sepenuh hati dengan membongkar dan menulis ulang kembali sistem demokrasi berbangsa dan bernegara yang sejalan dengan masa depan.

Sebab Revolusi Budaya Digital sungguh mengancam segala eksistensi yang kuno dan tak sesuai lagi dengan perkembangan tuntutan zaman.

Jilal Mardhani, 18-11-2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun