Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menggugat Sistem Demokrasi Kita

18 November 2017   13:24 Diperbarui: 18 November 2017   13:44 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua itu berlangsung tak hanya pada saat menjelang maupun proses pemilihan. Tapi juga setelahnya. Ketika kerja dan aktivitas wakil-wakil rakyat terpilih mewarnai dinamika kehidupan sehari-hari. Sebab yang terseret ataupun terserempet - sebagaimana kodrat yang diamanahkan kepada mereka - memang selalu berkait dengan bermacam kepentingan kita. Mulai dari hal yang berhubungan dengan aktivitas bisnis maupun ekonomi, sosial maupun budaya, ketertiban maupun keamanan, hingga iman maupun kepercayaan yang diyakini.

Sebagai pemilih, hingga saat ini kita memang tak bisa langsung bertanya, menuntut penjelasan, maupun meminta pertanggung jawaban dari mereka. Pada sistem demokrasi yang berlaku saat ini, suara yang telah kita serahkan tak mungkin lagi ditarik kembali hingga masa pemilihan berikut yang diselenggarakan 5 tahun kemudian.

Lebih jelasnya begini:

Jika kita menyerahkan suara kepada si A maka belum tentu dia yang terpilih untuk mewakili. Bisa jadi si B yang tak kita kenal maupun ketahui sepak-terjangnya. Apalagi kalau suara yang kita serahkan 'tanpa nama' dan hanya menunjuk lambang partai. Jadi, sekali kita menyerahkan suara, maka untuk sementara waktu selesailah sudah hak kita atas suara tersebut. Setidaknya hingga 5 tahun kemudian. Sementara itu, mereka sama sekali tak perlu - tepatnya tak wajib - khawatir jika suara yang sudah diperoleh itu bakal ditarik lagi.

Apalagi kalau suara yang kita serahkan - bersama dengan suara lain yang berhasil dikumpulkan partai - ternyata kurang dan tak mencukupi ambang batas yang ditetapkan. Nasibnya bakal lebih runyam lagi. Andaipun memungkinkan, paling banter suara kita itu digabungkan dengan suara dari partai lain agar mencukupi persyaratan jumlah untuk menempatkan wakil jenis "cocktail" atau "es campur".

Memang jauh lebih celaka jika suara yang telah kita serahkan dengan sepenuh hati dan segudang harapan itu, ternyata tak bisa dimanfaatkan untuk menempatkan siapapun sehingga bisa duduk menjadi wakil di gedung DPR. Dalam kasus demikian, suara kita sesungguhnya bernasib sama dengan "keping" yang dipertaruhkan di meja judi. Ketika kalah, "kepingan" suara itu begitu saja diraup bandar dengan wajahnya yang tanpa ekspresi. Tak peduli jika setelah itu kita tak punya apapun bahkan sekedar untuk membayar ongkos taksi atau membeli susu anak yang sedang merengek di rumah.

+++

Proses demokrasi sesungguhnya pertarungan gagasan antar pihak - atau kelompok - tentang pemahaman, konsep, serta cara mengelola dan membangun bangsa. Lalu kemudian ditawarkan kepada masyarakat yang berhak untuk menentukan pilihannya. Dengan demikian, pada dasarnya semua pihak sejatinya memiliki maksud dan tujuan yang sama, yaitu membela dan memperjuangkan kepentingan, kewibawaan, dan kejayaan bangsa.

Tapi tatanan sistem demokrasi perwakilan yang masih memiliki sejumlah kelemahan seperti yang baru saja diuraikan di atas tadi - sedemikian rupa - telah "menggeser" ranah persaingan gagasan itu menjadi pertempuran kepenringan diantara "mereka" dan "kami". Tak lagi demi, oleh, dan untuk "kita".

Pada saat proses pemilihan legislatif maupun eksekutif berlangsung, "kami" dan "mereka" terpisahkan antara  satu (kelompok) partai politik dengan yang lain. Masing-masing berjuang mempengaruhi dan merebut hati "kita" agar sudi menjadi bahian "mereka".

Setelah pesta demokrasi itu usai, pihak yang disebut "kami" dan "mereka" itupun segera berubah. Kadang dalam wujud "penguasa gedung parlemen" di satu sisi, dengan "kekuasaan eksekutif pemerintah" di sisi yang lain. Kali lainnya, antara "kelompok kolaborasi penguasa dan pengusaha hitam" dengan "lembaga dan aparat yang putih". Bisa juga menjadi "kelompok yang menguasai modal dan jaringan pengaruh" di satu sisi, dengan "mereka yang lemah dan tak berdaya" di sisi yang lain. Bahkan akhir-akhir ini juga sering mengkristal antara  "kelompok yang seiman dan menganut keyakinan tertentu" dengan "siapapuan selain mereka". Dalam konteks ini, sesungguhnya "kita" memang selalu dimaknai sebagai "obyek penderita". Yaitu "pihak ketiga" yang boleh diajak - tapi boleh juga diabaikan - dalam konteks kepentingan "mereka". Sebab subyeknya memang bukan "kita". Tapi "mereka".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun