+++
Absurditas sistem demokrasi politik yang telah mengabaikan prinsip dasar kesetaraan hak-kewajiban layaknya sistem pengelolaan layanan kepuasan pelanggan modern itu - sebab ia memang hampir tak menggubris sisi pertanggung-jawaban terhadap suara yang telah "membeli" harapan yang dijanjikan ketika mereka "menawarkan" diri untuk dipilih - pada akhirnya hanya memantapkan habitat bagi kesuburan partai politik sebagai "inang" mereka.
Partai-partai politik sesungguhnya bukan makhluk bernyawa yang dapat merasakan nikmat atau sakit, gembira atau sedih, maupun puas atau kecewa.
Mereka - sekumpulan pecundang yang culas dan licik - telah memperdaya "kita" sehingga menempatkan bahkan mengkultuskan keberadaan partai politik sedemikian rupa hingga menjadi "inang" bagi kehidupannya. Selain yang menguntungkan dan memberi manfaat pribadi maupun gerombolan yang secara subyektif berpihak kepadanya, mereka tak berkepentingan terhadap rupa, martabat, harga diri, maupun kebahagiaan sang inang itu.
Tak perlu rumit membuktikan hipotesa yang baru saja dikemukakan itu. Simak saja dan cobalah cari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
1. Berapa banyak sudah tokoh yang melompat dari satu partai politik ke partai politik lain hanya demi meraih kekuasaan dan kepentingan sesaat?
2. Bagaimana sikap dan laku yang mereka pertontonkan ketika satu per satu sejawatnya digelandang aparat penegak hukum karena ketahuan mencuri atau menyalah-gunakan kekuasaan yang dimiliki?
3. Bagaimana sepak terjang yang selama ini kerap mereka pertontonkan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); yang sejatinya adalah anak kandung Gerakan Reformasi 1998 yang dibentuk dan ditugaskan khusus untuk memberantas korupsi-kolusi-nepotisme; yang menjadi akar soal mengapa Suharto dan rezim pemerintahan Orde Barunya digulingkan karena menyusahkan bangsa?
4. Bagaimana sikap dan reaksi mereka terhadap segala drama diluar kepatutan lewat yang dipertontonkan sepak terjang Setya Novanto, ketua lembaga tinggi negara yang semestinya menjadi tumpuan harapan dan sangat "kita" hormati itu?
+++
Untuk menyikapi gugatan sistem demokrasi itu maka setidaknya kita harus mampu menjawab tiga pertanyaan ini:
PERTAMA, apa guna memilih perwakilan jika sesungguhnya mereka hanya bekerja dan mewakili diri sendiri?
KEDUA, bagaimana mungkin bisa memastikan para wakil yang terpilih, patuh dan tidak berkhianat kepada yang memilihnya?
KETIGA, mengapa harus dipaksakan tetap ada wakil bagi pemilih yang dengan sadar memang sengaja tak mau menetapkan pilihannya?
Kita sekarang hidup di era Revolusi Budaya Digital yang menyertakan fenomena pertumbuhan eksponensial yang amat sulit dan hampir tak mungkin dihindari. Ia telah dan akan terus merasuki segala lini kehidupan di dunia ini. Bukan hanya dalam soal ekonomi tapi juga sosial, budaya, politik, dan ideologi.
Maka semestinya pemanfaatan budaya itu, juga perlu segera "kita" sikapi dengan bijak dan sepenuh hati dengan membongkar dan menulis ulang kembali sistem demokrasi berbangsa dan bernegara yang sejalan dengan masa depan.
Sebab Revolusi Budaya Digital sungguh mengancam segala eksistensi yang kuno dan tak sesuai lagi dengan perkembangan tuntutan zaman.
Jilal Mardhani, 18-11-2017