Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Money

Properti

0
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berhubungan dengan kekayaan terhadap --- atau hak memiliki atas --- sesuatu. Pengakuan yang diperoleh dari pengorbanan, sebagai hadiah, atau hasil merampas dari yang lain. Tak hanya berwujud fisik seperti tanah, bangunan, kendaraan, dan sebagainya. Tapi juga berupa kekayaan intelektual.

Terkait properti yang berupa tanah dan bangunan, Indonesia hari ini sedang dihebohkan oleh 2 hal : Meikarta dan Reklamasi Teluk Jakarta yang akan melahirkan 17 pulau buatan. Masing-masing mencanangkan ratusan ribu hunian yang kelak sanggup menampung jutaan manusia untuk tinggal maupun beraktivitas di sana.

Keduanya hadir dengan penuh pertentangan yang menyita perhatian berbagai kalangan. Sebab di sana ada kesemerawutan wewenang, kesemena-menaan kekuasaan, kepongahan kapital, dan kekisruhan paham.

Kedua kasus itu sesungguhnya telah menyeret kita kembali jauh ke belakang. Melampaui masa menjengkelkan ketika Orde Baru berkuasa. Sebab ketika itu, kebenaran hampir mutlak di tangan Suharto, Presiden dan Kepala Negara Republik Indonesia yang mengendalikannya. Titah beliau sanggup meredam gemuruh suara yang bertentangan untuk berdamai. Meskipun semata demi kepentingan dan keuntungan kelompok-kelompok tertentu yang berada di sekitar singgasananya.

Baik Meikarta maupun 17 Pulau Reklamasi di Teluk Jakarta, sesungguhnya adalah jejak warisan yang tersisa dari masa kekuasaan Suharto. Tentang kekayaan atau hak milik yang kini 'digugat' meski sebelumnya 'mungkin' diperoleh dengan 'pengorbanan', sebagai 'hadiah', atau hasil 'rampasan'. Hanya saja sempat beralaskan pada ketentuan yang memiliki kekuatan hukum yang meskipun kacau-balau tetap harus dihormati.

Sayangnya, setelah Suharto dan Orde Baru tersingkir, kita tak pernah sungguh-sungguh membenahi kekacauan warisannya. Pekerjaan yang pasti tak mudah. Karena harus mengurai kekusutan tali-temali kekuasaan yang telah berlangsung absurd selama 32 tahun.

Demi sejumlah alasan pragmatis, mereka yang terlibat dalam kekacauan masa lalu, telah begitu saja diterima sebagai bagian dari upaya bersama membenahi kehidupan berbangsa dan bernegara yang disebut Reformasi. Tanpa kesepakatan dan kesepahaman agar bersungguh-sungguh tak mengulangi sikap dan prilaku lancung yang biasa dilakoni sebelumnya. Tanpa syarat perdamaian agar kekayaan atau hak milik yang dikuasai melalui pengorbanan, sebagai hadiah, atau merampas dengan cara 'keliru di masa lalu', tak lagi membebani langkah bangsa ini menapaki masa depannya. Tanpa ancaman serius agar semua tindak-tanduk dan prilaku tak senonoh dan tak semestinya dulu, tak lagi dilanjutkan maupun diulangi.

Mungkin kita terlalu angkuh dalam menyederhanakan gurita persoalan yang diwariskan Suharto dan Orde Baru-nya. Atau terlalu bersahaja menghadapi keculasan yang telah sempat mendarah daging dan menjadi kebiasaan. Atau terlalu gugup --- bahkan kecut dan takut --- untuk mengambil alih persoalan dan memperbaikinya.

+++

Bisnis properti di Meikarta maupun 17 Pulau Reklamasi pasti bukan penggerak utama perekonomian bangsa. Sebab ia hanya bergairah jika sektor-sektor yang menghadirkan nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat menggelinding kencang dan bergemuruh.

Properti sejatinya sektor yang seketika memanaskan ketel ekonomi bangsa dengan ancaman ledakan yang dahsyat memporak-porandakan; jika negara melalui pemerintahannya yang berkuasa tak sungguh-sungguh hadir menengahi dan mengendalikan. Sebab ia adalah urat nadi pertama dari kapitalisme yang memperkokoh kehadiran segelintir di atas kepentingan publik.

Setelah skandal 'subprime mortgage' yang melandanya tahun 2008 lalu, Amerika yang memuja dan bangga terhadap iman kapitalisme itupun bangkrut dan tertatih hingga kini. Menyisakan sakit dan kepedihan tak tersembuhkan yang menggerogoti dirinya dan menjalar ke seluruh pelosok dunia.

Sebab ruang milik bumi tempat bisnis properti itu berada bersifat tetap dan tak tergantikan. Kekayaan yang dipersembahkannya bagi seluruh umat manusia dan mahluk hidup lain yang tinggal dan bercengkrama di sana, agar hidup damai berdampingan.

Sayangnya, manusia yang dianugerahi kecerdasan dan hati nurani jauh lebih sempurna dibanding makhluk lain itu, justru membiarkan dirinya terjebak bagai robot. Mengapa kita begitu kaku terhadap segala kebijakan dan aturan yang pernah disusun sebelumnya?

Padahal, semua itu bisa saja keliru, usang, atau perlu diperbaiki sesuai dengan kearifan terkini yang dibutuhkan untuk menyikapi perkembangan zaman yang sedang terjadi.

Jilal Mardhani, 29-10-2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun