Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

1998-1999: Iktikad Sterilisasi KKN, Lalu Lahirlah KPK

20 Oktober 2017   01:25 Diperbarui: 20 Oktober 2017   04:26 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin perlu diingatkan lagi.

Korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) yang begitu dahsyat selama Suharto dan rezim Orde Baru-nya berkuasa, telah memporak-porandakan Indonesia. Dampaknya masih amat terasa hingga hari ini. Bukan hanya soal menguapnya kekayaan negara maupun kebangkrutan ekonomi dan finansial semata. Hal yang paling parah justru pada aspek moral dan adat-istiadat. Prilaku busuk itu nyatanya telah menyebar kemana-mana dan hingga kini masih banyak yang menganggapnya wajar. Bahkan seharusnya.

Bagaimana menyangkal kesimpulan itu ketika drama paling menjengkelkan seperti 'Papa Minta Saham' dan 'e-KTP', sesuka hati dipertontonkan seolah kita suka dan menikmatinya?

Kisah yang membuat kejengkelan manusia waras naik hingga ubun-ubun itu, tak hanya melibatkan 'bintang kambuhan' yang sebelumnya telah malang-melintang di berbagai judul 'drama korupsi' yang tak kalah memuakkan. Sosok yang sama justru menduduki kursi pimpinan lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang semestinya terhormat dan sakral.

Bagaimana mungkin bangsa ini bermimpi tentang karakter, etika, dan moral adiluhung jika kenyataan yang sedemikian absurd berlangsung begitu saja di depan mata tanpa adanya bentuk keprihatinan -- apalagi penyesalan -- yang pantas?

Bahkan koleganya yang duduk di lembaga legislatif itu -- mulai dari tingkat pusat yang berada di Jakarta hingga tingkat I maupun II di daerah -- tak ada yang bergeming untuk berupaya merehabilitasi marwah lembaga mereka dari aib yang sangat memalukan tersebut.

Menghadapi skandal demi skandal yang demikian, mereka justru memilih diam seribu bahasa. Bukan hanya kepada publik luas. Tapi juga terhadap para pemilih yang sebetulnya sedang menanti jawaban maupun penjelasan. Sikap bisu yang justru menggerus 'kepercayaan', 'harapan', dan rasa 'nyaman telah terwakili' oleh mereka. Seolah ingin membiarkan apatisme berkembang hingga menembus batas toleransi terjauh hingga kemudian memicu keputus-asaan massal.

Mungkin ada satu-dua wakil rakyat yang hatinya terluka. Tapi kepedihan itu disimpan dengan begitu rapih. Paling banter hanya tercetus di kalangan terbatas.

Sebagian lain justru mengupayakan yang lebih absurd. Bermanuver dengan cara-cara yang amat tak simpatik. Menggalang opini dan mengupayakan penggugatan moral dan legitimasi KPK. Seperti 'kecongkakan' mutakhir yang didemonstrasikan Panitia Angket KPK di Dewan Perwakilan Rakyat kita.

+++

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah keputusan penting bangsa Indonesia setelah berhasil menghentikan 'paksa' pemerintahan Suharto yang represif dan penuh kolusi-kolusi-nepotisme. Praktek yang tentu tak mungkin dilakoninya sendiri. Tapi harus berjamaah bersama kerabat dan kroni-kroni politisnya.

Keputusan itu konstitusional dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Di sana dinyatakan secara resmi, tegas, dan jelas, bahwa kita membutuhkan KPK karena ragu terhadap efektifitas dan efisiensi lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Dengan kata lain, Undang-undang itu adalah pengakuan terbuka Indonesia tentang ketidak-mampuan dan rendahnya integritas -- termasuk dan tidak terbatas kepada Kepolisian dan Kejaksaan -- dalam konteks upaya pemberantasan korupsi. Sebuah kenyataan pahit yang terpaksa kita terima dan pahami dengan lapang dada. Terlebih lagi oleh lembaga-lembaga yang ditengarai 'tak becus' menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya di bidang pemberantasan korupsi tersebut.

+++

Maka wajar dan sepantasnya jika lembaga-lembaga negara yang resmi diragukan UU 30/2002 itu, segera berbenah diri. Sekuat tenaga membuktikan dirinya dan berupaya meyakinkan Indonesia bahwa mereka adalah yang terbaik. Sebagai institusi terpercaya yang paling efektif dan efisien menjalankan fungsi pemberantasan korupsi.

Bukan dengan jargon dan janji-janji.

Semua itu tentu menjadi tak elok ketika sejak pertama KPK hadir, kasus demi kasus korupsi yang mereka ungkap justru banyak yang berlangsung di lembaga-lembaga yang diragukan tadi. Akibatnya berulang kali berkembang ketegangan yang tak perlu di antara mereka. Sesuatu yang hanya menjadi tontonan antitesa bagi publik luas yang sedang mengharapkan Indonesia mampu bertransformasi ke wujud idealnya, paska Reformasi 1998 dulu.

Kita tentu tak mungkin melupakan kasus 'Cicak vs Buaya'. Proyek simulator SIM. Kemelut penyidik Polri yang di-'BKO (bawah kendali operasi)'-kan kepada KPK. Juga serial upaya 'kriminalisasi' terhadap pimpinan lembaga anti-rasuah itu. Bahkan -- dalam kasus yang terakhir -- sejumlah pimpinan KPK (Abraham Samad dan Bambang Wijayanto) akhirnya 'terpaksa' diberhentikan dan diganti dengan pilihan Presiden, yang kewenangannya terlebih dahulu dipayungi oleh PERPU No. 4 tahun 2009.

+++

Perumusan Undang-Undang KPK (30/2002) memang disusun para wakil rakyat yang terpilih melalui Pemilu Legislatif ulang yang diselenggarakan pada tahun 1999. Mereka menggantikan yang terpilih di era Orde Baru pada 2 tahun sebelumnya (1997).

Kini kita menyadari dan harus mengakui, 'kesalahan' yang dilakukan rezim wakil rakyat pertama era Reformasi itu adalah dalam hal perumusan skenario, strategi, dan rencana aksi yang komprehensif dan terintegrasi, untuk mentransformasikan lembaga-lembaga Negara yang semestinya bertanggung jawab terhadap tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.

Sayangnya, 'kesalahan' tersebut tak hanya dibiarkan berlarut-larut dan berkembang liar. Pembenahan prilaku dan adat-istiadat di lembaga legislator sendiri boleh dikatakan tak terjadi. Padahal, sejumlah pengungkapan dan operasi tangkap tangan kasus korupsi yang dilakukan KPK, justru selalu berlangsung di lingkungan mereka. Hal yang menyebabkan komisi itu terlihat seperti 'anak kandung yang memakan ibunya sendiri'.

Hal tersebut tentu menjadi beban moral yang sama sekali tak mudah. Kita patut bersyukur karena lembaga itu masih selalu dipimpin jajaran putera-puteri terbaik bangsa yang berintegritas, memiliki tekad sungguh-sungguh memerangi korupsi, dan tak pandang bulu.

Sebagaimana yang dihadapinya dengan institusi Polri -- alih-alih menyadari kekeliruan -- lembaga yang mewakili rakyat Indonesia itu justru berulang kali memamerkan 'iktikad' untuk 'mengkebiri' kewenangan dan 'melemahkan' mereka. Hal yang tak jemu diulang-ulanginya sebagaimana yang paling mutakhir dipertontonkan melalui Panitia Hak Angket KPK.

Mungkin gejala apatisme yang mendekat ke 'titik nadir'  -- serta proses terwujudnya keputus-asaan massal -- telah berkembang semakin nyata. Lalu sekonyong-konyong Polri menawarkan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi  (Densus Tipikor) yang membutuhkan dana triliunan rupiah. Konon jangkauan operasinya akan merambah hingga ke desa-desa.

Kita bukan tak menghargai maksud dan cita-cita Kepolisian RI yang ingin segera  mengembalikan kepercayaan terhadap efektifitas dan efisiensi mereka dalam memberantas korupsi. Pada gilirannya -- jika institusi itu memang sepenuhnya telah bertransformasi menjadi lembaga yang sungguh-sungguh 'melindungi dan melayani' masyarakat dan benar-benar terbebas dari prilaku lancung KKN -- Indonesia tentu akan mengamininya.

Tapi tidak sekarang ketika jauh panggang dari api.

Saya khawatir cita-cita Densus Tipikor dan kewenangan yang digadang-gadangnya hanya menyempurnakan 'upaya pembingkaian' dan langkah strategis pihak-pihak yang ingin melumpuhkan KPK.

Marilah selesaikan persoalannya secara satu per satu. Tapi dengan tetap menjunjung tinggi iktikad yang kita canangkan bersama ketika memulai proses Reformasi dulu. Yaitu, menempatkan praktek korupsi-kolusi-nepotisme sebagai musuh bersama dan secara bersungguh-sungguh memerangi hingga ke akar-akarnya.

Maka yang pertama harus dipastikan steril dari bibit penyakit itu adalah lembaga-lembaga Negara yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk memberantasnya. Termasuk dan tidak terbatas pada lembaga Kehakiman, Kejaksaan, dan Kepolisian.

Begitu juga mereka yang terpilih dan duduk di dewan-dewan perwakilan rakyat. Mulai tingkat pusat hingga kabupaten/kota.

Setelah semua itu terbukti nyata, barulah kita pantas dan layak membicarakan kemewahan hak dan wewenang yang sekarang 'dimiliki' KPK melalui UU 30/2002 tersebut.

Bagi yang tak terlibat maupun memahami apa yang berlangsung dan terjadi di Indonesia pada tahun 1998-1999 itu, buka, baca, dan pelajarilah sejarahnya kembali. Sebab semua fakta dan data-datanya tersedia jauh lebih lengkap dan sistematis dibanding peristiwa G30S tahun 1965. Bahkan dibandingkan dengan proses kemerdekaan republik ini pada tahun 1945.

Sebab Revolusi Budaya Digital telah mulai bergulir di penghujung abad 20 itu. Hampir tak ada lagi informasi yang bisa disembunyikan ataupun disesatkan.

Jilal Mardhani, 20-10-2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun