Keputusan itu konstitusional dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Di sana dinyatakan secara resmi, tegas, dan jelas, bahwa kita membutuhkan KPK karena ragu terhadap efektifitas dan efisiensi lembaga-lembaga penegak hukum yang ada. Dengan kata lain, Undang-undang itu adalah pengakuan terbuka Indonesia tentang ketidak-mampuan dan rendahnya integritas -- termasuk dan tidak terbatas kepada Kepolisian dan Kejaksaan -- dalam konteks upaya pemberantasan korupsi. Sebuah kenyataan pahit yang terpaksa kita terima dan pahami dengan lapang dada. Terlebih lagi oleh lembaga-lembaga yang ditengarai 'tak becus' menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya di bidang pemberantasan korupsi tersebut.
+++
Maka wajar dan sepantasnya jika lembaga-lembaga negara yang resmi diragukan UU 30/2002 itu, segera berbenah diri. Sekuat tenaga membuktikan dirinya dan berupaya meyakinkan Indonesia bahwa mereka adalah yang terbaik. Sebagai institusi terpercaya yang paling efektif dan efisien menjalankan fungsi pemberantasan korupsi.
Bukan dengan jargon dan janji-janji.
Semua itu tentu menjadi tak elok ketika sejak pertama KPK hadir, kasus demi kasus korupsi yang mereka ungkap justru banyak yang berlangsung di lembaga-lembaga yang diragukan tadi. Akibatnya berulang kali berkembang ketegangan yang tak perlu di antara mereka. Sesuatu yang hanya menjadi tontonan antitesa bagi publik luas yang sedang mengharapkan Indonesia mampu bertransformasi ke wujud idealnya, paska Reformasi 1998 dulu.
Kita tentu tak mungkin melupakan kasus 'Cicak vs Buaya'. Proyek simulator SIM. Kemelut penyidik Polri yang di-'BKO (bawah kendali operasi)'-kan kepada KPK. Juga serial upaya 'kriminalisasi' terhadap pimpinan lembaga anti-rasuah itu. Bahkan -- dalam kasus yang terakhir -- sejumlah pimpinan KPK (Abraham Samad dan Bambang Wijayanto) akhirnya 'terpaksa' diberhentikan dan diganti dengan pilihan Presiden, yang kewenangannya terlebih dahulu dipayungi oleh PERPU No. 4 tahun 2009.
+++
Perumusan Undang-Undang KPK (30/2002) memang disusun para wakil rakyat yang terpilih melalui Pemilu Legislatif ulang yang diselenggarakan pada tahun 1999. Mereka menggantikan yang terpilih di era Orde Baru pada 2 tahun sebelumnya (1997).
Kini kita menyadari dan harus mengakui, 'kesalahan' yang dilakukan rezim wakil rakyat pertama era Reformasi itu adalah dalam hal perumusan skenario, strategi, dan rencana aksi yang komprehensif dan terintegrasi, untuk mentransformasikan lembaga-lembaga Negara yang semestinya bertanggung jawab terhadap tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.
Sayangnya, 'kesalahan' tersebut tak hanya dibiarkan berlarut-larut dan berkembang liar. Pembenahan prilaku dan adat-istiadat di lembaga legislator sendiri boleh dikatakan tak terjadi. Padahal, sejumlah pengungkapan dan operasi tangkap tangan kasus korupsi yang dilakukan KPK, justru selalu berlangsung di lingkungan mereka. Hal yang menyebabkan komisi itu terlihat seperti 'anak kandung yang memakan ibunya sendiri'.
Hal tersebut tentu menjadi beban moral yang sama sekali tak mudah. Kita patut bersyukur karena lembaga itu masih selalu dipimpin jajaran putera-puteri terbaik bangsa yang berintegritas, memiliki tekad sungguh-sungguh memerangi korupsi, dan tak pandang bulu.