Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi

14 Oktober 2017   13:48 Diperbarui: 14 Oktober 2017   14:23 1926
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

+++

Belakangan ini, berbagai indikator positif tersebut seolah ada yang ingin merobohkannya. Begitu pula kedua indikator negatif yang disebut terakhir. Seakan-akan ada yang ingin mengeksploitasi dan meng-'kapitalisasi'-kannya.

Beberapa waktu lalu, tiba-tiba beredar surat Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada koleganya di kabinet Jokowi-JK --- Ignatius Jonan (ESDM) dan Rini Sumarno (BUMN)--- tentang kekhawatiran gagal bayar PLN terhadap cicilan hutang dan bunga pinjaman yang akan jatuh tempo. Lalu kabar penolakan President Free Port terhadap skema divestasi 51 persen pemerintah terhadap anak perusahaan mereka yang telah beroperasi puluhan tahun di bumi Papua. Padahal sebelumnya --- seusai drama 'Papa Minta Saham' yang dilakoni Setya Novanto yang sakti mandraguna itu --- telah terpublikasi luas bahwa kesepakatan itu telah diaminkan kedua belah pihak.

Lalu hakim PTUN mengabulkan permohonan Setya Novanto untuk membatalkan status tersangka yang disandangkan KPK terkait kasus e-ktp. Jika ada yang melakukan jajak pendapat, mungkin sebagian besar responden tak percaya dan kecewa terhadap keputusan itu. Sebab persoalan kartu tanda penduduk berkait kepada seluruh penduduk dewasa yang memiliki hak memilih. Meski sama-sama absurd, ketidak percayaan dan rasa kecewa masyarakat kemungkinan lebih besar dibanding saat Ahok dinyatakan bersalah melalui keputusan yang berbeda dengan tuntutan yang dibacakan jaksa.

Demostrasi praktek 'keadilan' di atas agaknya semakin menyempurnakan kebingungan publik awam jika disandingkan dengan kehebohan saat Kapolri menggeruduk gudang beras tempo hari dan menuding kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Seolah ingin bersaing dengan dugaan mega korupsi e-ktp. Tapi nyatanya kasus itu kemudian menguap atau terselip diantara berbagai hiruk-pikuk yang tak kunjung reda belakangan ini.

Belum lagi kasus penyiraman air keras yang dialami Novel Baswedan yang pengungkapannya tak kunjung terang hingga sekarang. Alih-alih mengembangkan upaya pengungkapan dan menangkap aktor intelektualnya, DPR-RI malah menggalang Panitia Angket yang mendeskriditkan KPK dan kinerjanya dengan cara-cara 'ajaib' yang membuat banyak pihak geleng-geleng kepala. Sedemikian rupa sehingga terlihat 'keruwetan' masalah yang mereka hebohkan hanya dipahami dan bisa dimengerti oleh segelintir manusia di sana. Sebab begitu banyak 'ketidak-patutan' dan 'ketidak-laziman' logika publik yang mereka pertontonkan.

Tak cukup disana, sekonyong-konyong beredar kabar pejabat KPK yang diperbantukan dari korps Bhayangkara yang menghadiri sidang Panitia Angket KPK yang digelar DPR; tanpa persetujuan pimpinannya. Ia pun kemudian mengajukan tuntutan pencemaran nama baiknya oleh Novel. Hanya gara-gara beredar surat internal tentang keberatan penyidik --- yang setelah disiram air keras beberapa bulan lalu, saat ini masih dalam proses penyembuhan  --- pada proses rekrutmen penyidik komisi anti rasuah tersebut.

Entah disengaja atau kebetulan semata --- di tengah upaya kasat mata pelemahan KPK berjamaah yang sedang berlangsung  --- belakangan beredar pula kabar soal Densus Tipikor di tubuh Polri yang membutuhkan sekian triliun rupiah anggaran.

+++

Survey ISEAS tersebut sesungguhnya mengungkap tingkat kepuasan publik yang cukup tinggi terhadap proyek pembangunan infrastruktur (76 % pada kalangan pedesaan dan 71.8 % di perkotaan). Tapi di sisi lain, kekhawatiran mereka yang paling tinggi terhadap hal yang menghambat proyek-proyek infrastuktur tersebut adalah korupsi (97 persen). Jauh lebih besar dibanding kendala urutan kedua (kelangkaan sumber daya manusia dan sumber pembiayaan, 33.3 %), maupun kendala ketiga (kerjasama dan dukungan pemerintah daerah, 11.1 %).

Issue korupsi memang merupakan persoalan paling penting --- karena berada pada peringkat pertama  --- yang sedang dihadapi Indonesia hari ini (38.8 persen). Jauh mengalahkan kebutuhan infrastruktur (peringkat ke-3 sebesar 24.6 persen), bahkan pengangguran (peringkat ke-8 sebesar 16.3 persen) dan kesehatan (peringkat ke-10 sebesar 9.53 persen).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun