Hal lain yang lebih memprihatinkan dari sistem demokrasi hari ini adalah ketiadaan hubungan 'sebab-akibat' yang konstruktif antara wakil-wakil maupun pemimpin-pemimpin yang terpilih di tingkat kabupaten/kota, dengan yang duduk di tingkat propinsi maupun nasional. Maka demi marwah dan kepentingan yang sempit dan terbatas, kebijakan bupati atau walikota yang semestinya di bawah kepemimpinan gubernur, maupun gubernur yang seyogyanya perpanjangan tangan presiden di wilayah propinsinya, acap kali berdiri sendiri-sendiri, berjalan masing-masing, dan tidak saling menguatkan satu dengan yang lain.
+++
Demikianlah fenomena yang terjadi di sepanjang pantai utara pulau Jawa yang berada di sisi timur-luar Jakarta -- ibukota Republik Indonesia ysng kita cintai dan banggakan -- akhir-akhir ini.
Atas pertimbangan dan alasan-alasan yang masih banyak diperdebatkan oleh mereka yang memahami dan memperhatikan kearifan tata ruang -- tentunya dalam konteks sistem kota-kota, perwilayahan, dan ke-indonesia-an dalam arti luas -- pemerintah pusat mencanangkan dan bergegas melaksanakan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur sekaligus: jaringan kereta ringan yang menghubungan Bekasi dengan Jakarta (LRT - light rail transit), tol layang untuk meningkatkan kapasitas tampung lalu-lintas Cikarang-Jakarta (elevated toll road), dan kereta cepat yang ditujukan untuk mempersingkat waktu tempuh antara Bandung dan Jakarta (HST - high speed train).
Proyek-proyek yang memang tidak terencana detail dan memadai itu kemudian terseok-seok dalam pendanaan karena semula melibatkan 'ruang' yang tersedia pada APBN (anggaran pendapatan dan belanja nasional). Hingga saat ini, pemerintah masih berkutat dengan sejumlah skenario pendanaan melalui pelibatan swasta-negara (baca: BUMN, badan usaha milik negara) yang -- selain dari obligasi masyarakat dan pinjaman bank -- ujung-ujungnya masih berkait dengan suntikan (peningkatan) modal (PMN, penyertaan modal negara) yang diberikan.
Lalu -- voila -- muncul Meikarta yang menghebohkan itu dengan nilai proyek 10 kali lipat anggaran LRT tapi tak pernah gundah soal kemampuan pendanaannya.
+++
Tak semua yang dilakukan Suharto salah.
Prinsip mengedepankan musyawarah dan mufakat sesungguhnya warisan para pendiri bangsa besar ini. Risalah perbincangan tokoh-tokoh Nasional ketika berembug mempersiapkan kemerdekaan Indonesia -- termasuk merumuskan Pancasila sebagai dasar negara -- dilakukan secara arif dan bijaksana dengan cara tersebut.
Bahwa kemudian rezim Orde Baru yang dipimpin Suharto -- dengan berkedok pada kebijaksanaan musyawarah dan mufakat itu -- menyelewengkan amanah untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai kebijakan represif dan penuh korupsi-kolusi-nepotisme, adalah soal lain.
Terlepas dari kegagalannya hingga kemudian Indonesia terpuruk, pembangunan Indonesia dahulu berada dibawah kendali satu 'orkestrasi' yang menggunakan 'partitur' tunggal. Saya teringat dengan GBHN (garis-garis besar haluan negara) yang memayungi semangat 'Era Tinggal Landas' dan diterjemahkan dalam 5 tahap Repelita (rencana pembangunan lima tahun).