Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Demokrasi Pragmatis, Meikarta, dan Museum Planologi

0
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita maklum, industrialisasi di pesisir utara pulau Jawa itu dilatar-belakangi kepentingan yang jauh lebih luas (baca: Nasional) dan nilai strategis lokasi yang berdekatan dengan pusat kekuasaan Indonesia, yaitu Jakarta. Ruang-ruang yang berada di wilayah administrasi Jawa Barat itu tak memiliki banyak pilihan untuk menyetujui ataupun menolak.

Demikianlah sesungguhnya akar persoalan berbagai ketimpangan yang berlangsung selama ini. Antara kota dan desa, metropolitan Jakarta dan wilayah sekitarnya, pulau Jawa dengan yang lain, atau Indonesia bagian barat dengan sisi timurnya.

+++

Kearifan tata ruang merupakan disiplin ilmu pengetahuan yang mencermati seluruh aspek kehidupan dalam konteks jangka panjang. Suatu pemahaman tentang implikasi dan permasalahan yang mungkin terjadi di masa depan jika dinamika yang berlangsung hari ini tak dikelola secara bijaksana. Mereka menekuni keahlian untuk menyikapi berbagai kemungkinan yang berkembang sehingga segala sesuatunya tetap berpihak bagi kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat yang hidup hari ini maupun generasi yang meneruskannya. Mereka memang bergelut dengan aneka ragam ketidak-pastian. Tapi di sisi yang lain, mereka juga dituntut untuk mampu meramalkan dan merekayasanya dengan jitu.

Persoalan pertama dan utama yang dihadapi profesi itu adalah pragmatisme (eksternal). Mereka berhadapan dengan kepentingan-kepentingan mikro, jangka pendek, dan lingkup pemikiran lain yang terbatas. Mulai dari politik, sosial, ekonomi, hingga budaya. Upaya meyakinkan yang lain tentang tantangan dan resiko-resiko yang membebani masa depan bukanlah hal yang mudah. Meskipun disertai dengan pemaparan berbagai pengalaman empiris yang nyata dan sudah berlangsung selama ini maupun masa-masa sebelumnya.

Persoalan kedua yang dihadapi pemangku profesi itu pun tentang pragmatisme juga (internal). Seperti anggota masyarakat yang lain, mereka pun harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menghadapi kenyataan demi kenyataan yang terus-menerus 'menggodanya' untuk menyederhanakan tatanan prinsip dan idealisme yang dibutuhkan agar mampu menopang dan mengembangkan keahlian dalam hal kearifan tata ruang. Sedemikian rupa hingga akhirnya terdesak pada pilihan kompromistis yang sayangnya mengaburkan pemahaman mereka sendiri -- dan pada giliran berikut tentunya adalah para pemangku kepentingan tata ruang lain yang mestinya bersandar pada mereka -- tentang implikasi dan permasalahan masa depan akibat dari ketidak-pekaan, ketidak-mampuan, dan ketidak-pahaman menyikapi dinamika yang berlangsung sekarang.

+++

Sistem demokrasi kita hari ini memberi kemerdekaan kepada setiap warga negara yang mempunyai hak untuk memilih pemimpin eksekutif pemerintahan -- mulai dari Presiden, Gubernur, hingga Bupati atau Walikota -- maupun wakil yang duduk di lembaga-lembaga legislatif. Baik yang berada di tingkat pusat (DPR), propinsi (DPRD Tingkat I), dan kabupaten atau kota (DPRD Tingkat II).

Sosok-sosok yang kemudian terpilih memiliki kesempatan 5 tahun untuk mengabdikan diri dan membuktikan janji-janji yang disampaikannya saat masa kampanye. Pada tatanan pemimpin eksekutif pemerintahan yang sama, masing-masing diperbolehkan untuk dipilih kembali 1 periode lagi sehingga memungkinkan duduk di tampuk kekuasaannya selama 10 tahun berturut-turut. Sementara itu, untuk posisi wakil rakyat di tingkat pusat hingga daerah tak ada pembatasan yang demikian. Sepanjang rakyat masih memilihnya (kembali) dan mampu memenangkan kontestasi pengumpulan suara yang diselenggarakan, ia tetap berhak duduk di gedung parlemen yang sejatinya mewakili rakyat itu.

Tapi sesungguhnya, ada kecerobohan serius yang terlanjur terjadi ketika kita begitu saja mengganti sistem demokratisasi pemilihan eksekutif maupun legislatif yang digunakan sebelum Reformasi 1998, dengan yang berlaku sekarang sebagaimana yang digambarkan di atas. Disadari atau tidak, hikmah kebijaksanaan bermusyawarah yang mencirikan keterwakilan seluruh kekayaan bangsa Indonesia yang majemuk -- seperti yang ditegaskan pada sila keempat Pancasila yang kita junjung tinggi itu -- kini telah tersingkir jauh.

Hal yang berlaku sekarang justru ajang unjuk kekuatan dan upaya kompromi yang cenderung bermakna sempit -- bahkan licik dan miskin martabat -- untuk semata memenangkan perebutan suara agar mampu meraih tampuk wakil maupun pemimpin rakyat. Demikianlah nyatanya yang kita alami dan rasakan selama 4 musim pemilihan 5 tahunan yang berlangsung sejak 1999 hingga hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun