Bahwa kemudian rezim Orde Baru yang dipimpin Suharto -- dengan berkedok pada kebijaksanaan musyawarah dan mufakat itu -- menyelewengkan amanah untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai kebijakan represif dan penuh korupsi-kolusi-nepotisme, adalah soal lain.
Terlepas dari kegagalannya hingga kemudian Indonesia terpuruk, pembangunan Indonesia dahulu berada dibawah kendali satu 'orkestrasi' yang menggunakan 'partitur' tunggal. Saya teringat dengan GBHN (garis-garis besar haluan negara) yang memayungi semangat 'Era Tinggal Landas' dan diterjemahkan dalam 5 tahap Repelita (rencana pembangunan lima tahun).
Disana memang ada 'idealisme' yang dicanangkan untuk kejayaan Indonesia. Walaupun disana juga ada 'pragmatisme' yang menyuburkan budaya KKN demi melanggengkan kekuasaannya.
Sementara buah yang kita petik dari sistem demokrasi hari ini hanya menyisakan 'pragmatisme' yang semakin sempit dan terkotak-kotak. Salah satunya justru menyingkirkan keniscayaan peran obyektif dari profesi yang mengawal kearifan tata ruang bagi seluruh Nusantara sehingga proyek-proyek infrastruktur raksasa seperti LRT, HST, elevated tollway, dan Meikarta tak hadir tergagap-gagap.
Jilal Mardhani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H