Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Demokrasi Pragmatis, Meikarta, dan Museum Planologi

22 Agustus 2017   05:57 Diperbarui: 22 Agustus 2017   21:43 6122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi sesungguhnya, ada kecerobohan serius yang terlanjur terjadi ketika kita begitu saja mengganti sistem demokratisasi pemilihan eksekutif maupun legislatif yang digunakan sebelum Reformasi 1998, dengan yang berlaku sekarang sebagaimana yang digambarkan di atas. Disadari atau tidak, hikmah kebijaksanaan bermusyawarah yang mencirikan keterwakilan seluruh kekayaan bangsa Indonesia yang majemuk -- seperti yang ditegaskan pada sila keempat Pancasila yang kita junjung tinggi itu -- kini telah tersingkir jauh.

Hal yang berlaku sekarang justru ajang unjuk kekuatan dan upaya kompromi yang cenderung bermakna sempit -- bahkan licik dan miskin martabat -- untuk semata memenangkan perebutan suara agar mampu meraih tampuk wakil maupun pemimpin rakyat. Demikianlah nyatanya yang kita alami dan rasakan selama 4 musim pemilihan 5 tahunan yang berlangsung sejak 1999 hingga hari ini.

Hal lain yang lebih memprihatinkan dari sistem demokrasi hari ini adalah ketiadaan hubungan 'sebab-akibat' yang konstruktif antara wakil-wakil maupun pemimpin-pemimpin yang terpilih di tingkat kabupaten/kota, dengan yang duduk di tingkat propinsi maupun nasional. Maka demi marwah dan kepentingan yang sempit dan terbatas, kebijakan bupati atau walikota yang semestinya di bawah kepemimpinan gubernur, maupun gubernur yang seyogyanya perpanjangan tangan presiden di wilayah propinsinya, acap kali berdiri sendiri-sendiri, berjalan masing-masing, dan tidak saling menguatkan satu dengan yang lain.

+++

Demikianlah fenomena yang terjadi di sepanjang pantai utara pulau Jawa yang berada di sisi timur-luar Jakarta -- ibukota Republik Indonesia ysng kita cintai dan banggakan -- akhir-akhir ini.

Atas pertimbangan dan alasan-alasan yang masih banyak diperdebatkan oleh mereka yang memahami dan memperhatikan kearifan tata ruang -- tentunya dalam konteks sistem kota-kota, perwilayahan, dan ke-indonesia-an dalam arti luas -- pemerintah pusat mencanangkan dan bergegas melaksanakan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur sekaligus: jaringan kereta ringan yang menghubungan Bekasi dengan Jakarta (LRT - light rail transit), tol layang untuk meningkatkan kapasitas tampung lalu-lintas Cikarang-Jakarta (elevated toll road), dan kereta cepat yang ditujukan untuk mempersingkat waktu tempuh antara Bandung dan Jakarta (HST - high speed train).

Proyek-proyek yang memang tidak terencana detail dan memadai itu kemudian terseok-seok dalam pendanaan karena semula melibatkan 'ruang' yang tersedia pada APBN (anggaran pendapatan dan belanja nasional). Hingga saat ini, pemerintah masih berkutat dengan sejumlah skenario pendanaan melalui pelibatan swasta-negara (baca: BUMN, badan usaha milik negara) yang -- selain dari obligasi masyarakat dan pinjaman bank -- ujung-ujungnya masih berkait dengan suntikan (peningkatan) modal (PMN, penyertaan modal negara) yang diberikan.

Lalu -- voila -- muncul Meikarta yang menghebohkan itu dengan nilai proyek 10 kali lipat anggaran LRT tapi tak pernah gundah soal kemampuan pendanaannya.

+++

Tak semua yang dilakukan Suharto salah.

Prinsip mengedepankan musyawarah dan mufakat sesungguhnya warisan para pendiri bangsa besar ini. Risalah perbincangan tokoh-tokoh Nasional ketika berembug mempersiapkan kemerdekaan Indonesia -- termasuk merumuskan Pancasila sebagai dasar negara -- dilakukan secara arif dan bijaksana dengan cara tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun