re : Harian Kompas, 7-8-2017, Analisa Ekonomi, 'Benarkah Daya Beli Menurun?'
Masyarakat diduga cenderung menabung untuk berjaga-jaga. Mengerem belanja karena persepsi konsumen terhadap prospek ekonomi.
Mungkinkah persepsi negatif muncul jika fakta sehari-hari yang dirasakan bertentangan?
Tentu tidak!
Persepsi adalah rangkuman pemikiran dan dugaan berdasarkan citra dan kesan yang terbangun dibenak kita sesuai kenyataan yang disaksikan dan dialami.
+++
Untuk menanggapi tantangan 'persepsi' itu -- sebagai strategi pamungkas jangka pendek --pemerintah seyogyanya konsisten meneruskan upaya pembangunan infrastruktur. Rasio hutang Indonesia terhadap PDB (28%) sebetulnya relatif rendah dibanding negara lain. Obama pun memperlebar defisit APBN nya ketika pemerintahannya diterpa kelesuan ekonomi.
Tapi mengapa sekarang Donald Trump berbalik 180 derajat terhadap semangat liberalisasi ekonomi yang selama ini diagungkan kapitalisme yang dijunjung bangsanya? Bahkan ia terang-terangan mengumandangkan kepada dunia tentang sikap dan kebijakan proteksionisme untuk mengatasi defisit perdagangan ratusan miliar dollar dengan negara-negara mitra dagangnya, terutama Cina.
+++
Langkah Obama melonggarkan defisit anggaran untuk memompa perekonomian sehingga mampu menopang tingkat konsumsi masyarakat adalah satu hal. Tapi semua itu ternyata tidak mewariskan kemampuan dan daya saing perekonomiannya. Alih-alih menyebabkan dampak negatif yang berkepanjangan, yakni defisit neraca perdagangan negaranya sendiri.
Tapi Amerika memiliki bermacam keunggulan komparatif yang memungkinkan mereka 'memaksakan kehendak' seperti proteksionisme itu.
Pertanyaannya, hal apa yang sudah dan akan kita miliki sehingga merdeka 'memaksakan' kehendak demi kepentingan bangsa dan negara ketika permasalahan serupa (kelak) kita hadapi?
Negosiasi alot yang masih berlangsung dalam kasus Freeport adalah salah satu contohnya. Begitu pula dengan segala 'keajaiban' yang menyertai persalinan Meikarta, kota baru gigantis yang terang-terangan memetik manfaat sejumlah proyek infrastuktur 'penting' yang sekarang sedang mati-matian diupayakan Indonesia.
Ketika anak usaha group Lippo itu sumringah menjanjikan (memasarkan) kehebatan dan keistimewaan hunian ultra modern berbiaya hampir 300,triliun rupiah tersebut -- konon telah disambut ribuan konsumen -- Indonesia masih tertatih dengan rencana-rencana skema membiayai infrastruktur yang mendukung mereka.
Jadi, pembangunan infrastruktur yang sesungguhnya memang sudah sangat terlambat itu -- karena ketidak mampuan pemerintahan sebelumnya -- tetap perlu. Sebagai stimulasi kelesuan hari ini sekaligus persiapan kebangkitan masa depan.
Tapi jauh lebih perlu mempersiapkan antisipasi untuk memanfaatkan dan mendaya-gunakannya. Hal tersebut adalah pekerjaan jauh lebih besar dan kompleks yang sesungguhnya. Perencanaan yang komprehensif dan terintegrasi mulai dari yang paling mendasar.
Jilal Mardhani, 7-8-2017
(catatan menjelang peringatan hari kemerdekaan 'kita' yang ke 72)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H