Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kisah Nasi dan Air Putih

25 Juli 2017   15:05 Diperbarui: 27 Agustus 2017   23:16 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Keduanya kebutuhan pokok sehari-hari.

Kini hampir seluruh rakyat Indonesia memakan nasi untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Kecuali segelintir yang ingin menjaga kelangsingan tubuh. Atau mengidap masalah metabolisme yang melarang mereka mengkonsumsi panganan pokok dari beras itu. Misalnya soal kadar gula darah yang berlebih (diabetes melitus).

Keberhasilan me-nasi-kan Indonesia adalah 'prestasi lainnya' dari Suharto dan Orde Baru. Cita-cita swasembada kebutuhan pokok diterjemahkannya melalui kemampuan bangsa memproduksi beras untuk mencukupi konsumsi perut rakyat Indonesia. Indikator kinerja yang masih digunakan setiap pemerintahan yang berkuasa hingga hari ini, termasuk Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Sekitar setengah abad lalu, salah satu ilmu pengetahuan umum yang diajarkan kepada murid sekolah dasar adalah tentang ke-bhineka-an panganan pokok bangsa kita. Tak semua mengkonsumsi beras. Sebagian ada yang memakan jagung (masyarakat Madura). Begitu pula sagu yang menjadi santapan utama masyarakat yang berada di sisi timur Indonesia (Ambon dan Irian). Kini, cita-cita men-swasembada-kan beras mungkin telah menjadikan keragaman panganan pokok itu hanya sebagai sejarah Indonesia masa lalu.

Kesuksesan politik beras juga menghampiri Barack Obama. Mantan presiden Amerika Serikat yang ramah itu demikian kesengsem pada nasi goreng. Menu sarapan tradisional rakyat Indonesia yang asal-mulanya berawal dari pemanfaatan nasi kemarin yang bersisa. Ibu-ibu rumah tangga zaman dulu mengembangkan kreatifitas kuliner dengan menggorengnya bersama sejumlah bumbu racikan. Nasi sisa kemarin yang semula tak layak lagi dimakan, justru menjadi santapan yang nikmat setelah digoreng dengan minyak kelapa.

+++

Maka urusan memenuhi kebutuhan pokok beras ini menjadi alat politik yang paling ampuh -- sekaligus brutal -- dari masa ke masa. Kelangkaan beras memang bisa berujung runyam bagi setiap kekuasaan. Urusannya dengan kelaparan yang bersifat harian. Jika sampai terjadi maka kerusuhan sosial akan sangat mudah terpicu. 

Akal tak mungkin sehat jika perut yang kosong jadi keroncongan berkepanjangan.

Setiap pemerintah berkepentingan menjaga stabilitas pasokan dan jangkauan harga bagi masyarakatnya sehingga anggaran belanja yang dialokasikan untuk hal itu selalu pada prioritas paling atas. Infrastruktur boleh tertunda tapi tak mungkin jika urusan beras. Maka inovasi dan kreatifitas yang berkaitan dengan permasalahan itu selalu berkembang dari zaman ke zaman. Termasuk mereka yang tergiur dengan bermacam peluang yang menyertainya. Tak melulu soal keuntungan ekonomi. Tapi juga politik. Lewat cara halal maupun haram.

Urusan beras yang menjadi komponen utama sembako (sembilan bahan pokok) juga berperan menghentikan langkah Ahok kemarin. Sebab salah satu kampanye negatif yang efektif menjatuhkan perolehan suaranya adalah berita yang dimuat koran Nasional tentang pembagian sembako yang dilakukan pedagang beras yang mendukung calon kepala daerah paling fenomenal sepanjang sejarah itu. Pernyataan lantangnya pada wawancara yang dipublikasikan harian itu beberapa hari menjelang saat pencoblosan suara, lengkap dengan sejumlah nama beken yang turut menyumbang, sedikit-banyak ikut berperan meruntuhkan kepercayaan sebagian pemilih Basuki Tjahaja Purnama.

Almarhum Gus Dur juga digoyang oleh lawan politiknya hingga harus mengakhiri kekuasaan melalui gorengan issue korupsi di lembaga Bulog (Badan Urusan Logistik). Hal yang kemudian menguap begitu saja setelah Megawati yang semula Wakil Presiden naik menggantikan.

Selama pemerintahan Orde Baru pun, Bulog dan beras selalu menjadi wilayah bancakan yang tak pernah sepi. Kasus hukum yang mencuat dari sana tak pernah jemu. Bahkan hampir sepanjang sejarah.

Hari ini -- di era gonjang-ganjing politik radikalisme kontemporer, mega korupsi wakil rakyat dan pejabat negara, kasus narkoba yang semakin merata dan menggila, serta akrobatik bangsa menghadapi kelesuan ekonomi yang terus-menerus merongrong kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla-- kita kembali dihebohkan langkah Kepolisian Republik Indonesia yang menengarai kezaliman pada bisnis yang dilakoni PT Indo Beras Unggul, anak perusahaan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. Pada tayangan berita Kompas TV kemarin (24-7-2017), Kapolri Tito Karnavian menyebut dugaan kerugian yang mencapai triliun rupiah.

Di tengah masyarakat, kasus ini -- sebagaimana beberapa kasus lain -- segera berkembang liar di luar proporsinya. Terlebih karena salah satu dewan komisaris perseroan dijabat oleh mantan anggota kabinet pemerintahan sebelumnya yang juga kader dari salah satu partai politik yang berseberangan dengan kubu pemerintah hari ini.

Sementara kasusnya sendiri telah berkembang menjadi polemik besar. Sebagian mengatakan sebagai persoalan niaga yang jamak. Ada yang mengatakan bahwa barang bukti yang kini disegel karena diduga sebagai beras subsidi itu, sesungguhnya tidaklah demikian. Bahwa bahan baku yang dibeli perusahaan tersebut bersumber dari produksi petani yang mendapat subsidi pupuk maupun bibit dari pemerintah, tak serta merta didefinisikan sebagai beras subsidi. Sebaliknya, definisi yang selama ini digunakan resmi terhadap beras subsidi adalah untuk beras yang dibeli oleh Bulog. Lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah yang kemudian menjualnya ke pasar dengan harga lebih murah sesuai kemampuan masyarakat bawah.

Tulisan ini tak hendak membahas soal kontemporer yang telah masuk di ranah hukum itu.

+++

Sebetulnya, urusan beras dan panganan pokok rakyat ini bisa menjadi wilayah pengejawantahan revolusimental yang paling keren dan moncer. Sebagaimana ajakan moral yang didengungkan Joko Widodo di hari pertama terpilih sebagai Presiden RI 2014-2019 lalu.

Revolusi sesungguhnya bermakna perubahan yang seketika. Jelas berbeda dengan evolusi yang bisa menyiratkan 'alon-alon waton kelakon'. Hal itu adalah prasyarat yang perlu diyakini terlebih dahulu oleh siapapun yang ingin menggagas revolusi.

Revolusi selalu menyertakan korban. Terutama mereka yang berbeda pandangan dan mengganggu cita-cita. Suatu langkah yang perlu dilakukan seketika karena sifat darurat dari situasi yang dipandang tak boleh lagi dibiarkan berkepanjangan.

+++

Selanjutnya, sebelum melancarkan revolusi yang sesungguhnya, rumuskanlah terlebih dahulu strategi yang paling jitu. Belajar dari keberhasilan perkara lain adalah salah satu kiat yang disarankan.

Walaupun tak sama, urusan beras sebetulnya menyerupai air putih. Kebutuhan pokok lain yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari setiap makhluk hidup. Lalu, mengapa urusan pasokan, distribusi, hingga harga ecerannya tak pernah menimbulkan gonjang-ganjing sepanjang sejarah republik ini?

Bukankah penetrasi produksi air putih yang telah melalui proses penyaringan itu, telah berkembang demikian pesat hingga hampir menjadi kebutuhan pokok di setiap penjuru Nusantara?

Maafkan saya jika harus menyimpulkan jawabannya pada ketiadaan peran dan campur tangan pemerintah yang dominan di sana. Selain soal perizinan -- mulai dari izin usaha, pemanfaatan sumber yang digunakan, kawasan produksi, penjualan hingga mungkin sertifikasi halal -- bisnis air putih di negeri ini terbukti bisa berlangsung aman sentosa tanpa keterlibatan pemerintah yang lebih jauh.

Bukankah hal itu mensinyalirkan bahwa ada masalah besar pada bagian campur tangan pemerintah yang memang perlu direvolusi?

Bagaimanapun, hal yang pasti, arena pertandingan pemerintah dan pengusaha tak mungkin dicampur adukkan. Kodrat bisnis sejatinya memang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan ongkos yang sedikit-dikitnya. Sebab hanya kehidupan di surga-lah -- jika memang ada -- yang tak menyertakan untung-rugi maupun ongkos dalam kamus sehari-harinya.

Apa yang kita saksikan hari ini -- pada urusan kebutuhan pokok masyarakat yang dilakoni pemerintah layaknya pengusaha yang malu-malu kucing -- adalah sebuah absurditas. Perwujudan kodratnya justru berkebalikan : mencari untung sekecil-kecilnya, bahkan merugi, dengan ongkos yang sebesar-besarnya!

Bukankah fenomena itu yang tergambar dari kebijakan subsidi pupuk dan benih pada petani yang dapat menjual bebas hasil panen, sementara tangan lain pemerintah sibuk melakukan subsidi pada jual-beli untuk menenuhi kebutuhan masyarakat?

+++

Joko Widodo adalah idola saya.

Sejak lahir hingga hari ini -- alias seumur hidup -- saya tak pernah menyangka Indonesia pernah memiliki pemimpin bangsa dan negara yang begitu sungguh-sungguh, jujur, dan sepenuh hati, bekerja demi rakyatnya. Saya percaya beliau tak akan pernah mengizinkan dirinya, termasuk kerabat dan keluarganya, mengambil kesempatan atau keuntungan sekecil apapun dari keberadaannya sebagai orang nomor satu di republik ini. Demi Allah!

Tapi republik ini memang tak cukup diselesaikan dengan kebaikan dan hati yang bersih semata. Perlu kecerdikan -- bahkan mungkin kelicikan selama masih bisa dipertanggungjawabkan -- untuk menyelesaikan persoalannya yang sudah demikian carut-marut.

Kembali soal arena permainan yang dikemukakan di atas, Joko Widodo harus berani kembali memurnikan peran dan posisi pemerintah. Layaknya seperti cerita Tuhan di surga yang akan bersikap adil dan bertanggung jawab kepada setiap warga negaranya.  Artinya, jauhilah permainan satu arena dengan siapapun yang bukan pantarannya. Termasuk dunia usaha. Sebab sesungguhnya mereka tetap berada di bawah 'perintah' negara.

Pemerintah sesungguhnya mewakili kepentingan rakyat sebagai pemiliktunggal negeri ini. Jadi, pada lakon-lakon yang merupakan peran yang diamanahkan padanya, pemerintah harus mampu mengerjakan secara sempurna dan prima. Sebab pemerintahlah yang mestinya berhasrat, ingin melakukan, dan mewujudkan. Segera tinggalkan istilah agen yang selama ini menyesatkan kita. Hal yang pada akhirnya menyuburkan budaya mediocre di kalangan pejabat-pejabat yang terbiasa mengupayakan celah untuk menguntungkan diri sendiri. Paling jamak adalah lewat komisi, bagi hasil, sogokan, dan berbagai bentuk lain yang memuakkan itu.

Semua memiliki keterbatasan sehingga butuh bantuan yang lain. Termasuk pemerintah. Tapi hal yang disebut bantuan seyogyanya bersifat sementara. Bukan selamanya. Peran investor dan partisipasi swasta untuk mengisi kekosongan boleh dihalalkan. Tapi harus segera diikuti dengan strategi dan upaya menutupinya sehingga pemerintah dapat seutuhnya melakoni tanggung jawab itu.

+++

Adalah kewajiban semua pihak untuk menggali dan mengembangkan nilai-nilai dasar Pancasila yang kita banggakan itu. Pancasila bukan sosialisme. Tidak juga kapitalisme yang di seluruh dunia kini mulai bangkrut. Kita harus menjadi diri kita sendiri, Pancasilais sejati yang sebenar-benarnya.

Mari sama-sama belajar dari metamorfosis budaya yang telah kita lalui bersama melalui nasi dan air putih.

Jilal Mardhani, 25-7-2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun